6. Dad & Son Goals

1141 Kata
Aku terdiam mematung menyaksikan pemandangan tercela yang pernah ada sepanjang hidupku. Tepat di depanku, di layar kaca itu, dia mengungkapkan kebenaran narasi berita yang mengatakan jika pernikahannya dengan wanita perebut suami orang itu akan digelar satu bulan lagi! Double s**t! Dia akan menikah setelah mencoba membunuhku? Terkutuklah kau, Nico! Aku tak sendiri. Di sampingku, Gestazh tertunduk lemas setelah mendengar serentetan kata menyakitkan yang keluar dari mulut kedua b*****h di layar kaca. Siapa lagi jika bukan Nico dan Naura. "Mommy?" Pekikan girang Rezka tiba-tiba memenuhi ruangan luas ini. Gestazh terperanjat melihat jagoannya melompat-lompat kegirangan di depan televisi. Melihat Naura yang tersenyum penuh arti di sana. Anak yang malang. Amarah Gestazh memuncak. Dengan sekali sentakan remote televisi yang tadi ia genggam terbanting keras setelah sebelumnya jemari Gestazh menekan tombol power-off guna mematikan televisi yang aku yakini sangat Gestazh murkai sekarang. "Daddy!!! Jan dimatiin! Leska pen liat mommy!" racau Rezka yang kini sedang menghentak-hentakkan kakinya. "Itu bukan mommy-nya Hero." "Itu mommy, Daddy! Nyalain lagih! Leska pen liat mommy! Leska kangen mommy!" "TIDAK ADA MOMMY-MU! MOMMY REZKA SUDAH MATI!" Aku tak pernah menyangka jika Gestazh akan membentak Rezka dengan intonasi setinggi itu. Rezka yang tadi berani melawan, kini menunduk takut dengan tangisan yang sendu. "Pak Dokter! Jang__," "Aaarggh!!!" Tanpa mendengar nasihatku, Gestazh beringsut pergi meninggalkanku dan juga Rezka yang sedang terisak. Semakin jauh langkahnya, tangisan anaknya pun semakin keras. "Daddy...," lirih Rezka. "Dad..dy!! Ma...ma...afin...les...les...leskaa...," ucapnya dalam tangis. Dia memandangku. Aku takkan pernah tega melihat makhluk kecil menggemaskan terisak di depanku. Tadi aku diam saja bukan berarti aku tak peduli pada Rezka, namun aku takut jika terlalu mencampuri urusan Gestazh. Dia sedang hancur, mana bisa aku ikut campur? Bisa-bisa dia melemparku dari rumah ini. Kuhampiri Rezka dengan senyuman yang kuanggap bisa menenangkannya. "Tante, Dad...daddy..malah..cam..cama..leska?" tanyanya diiringi isakan. Aku menggeleng pelan. Membawanya ke dalam pelukanku. "Rezka sayang, heronya Daddy, Daddy tidak marah padamu, Sayang. Mungkin Daddy-nya lagi capek kan habis kerja. Rezkanya jangan nakal ya," bujukku selembut mungkin. Rezka melingkarkan tangannya di ceruk leherku. Memberiku celah untuk menggendongnya. Malang sekali anak ini. Masih berumur balita tapi sudah jadi korban keegoisan orang tua. Naura! Terkutuklah kau! Dasar tukang selingkuh! Aku benar-benar tak habis pikir dengan mereka berdua. Terutama pada Naura. Kenapa dia bisa terbersit ingin memiliki Nico? Sedangkan yang di rumah saja sudah mendekati kata sempurna. Suami tampan, mapan, siaga, sayang pada anaknya. Begitupun anak yang tampan dan funny. Apalagi yang kurang, Naura bodoh!? Isakan Rezka sudah mereda. Helaan nafas teratur dapat aku rasakan. Kubawa dia ke kamarku. Aku yakin Gestazh masih emosi. "Eungg.." gumam Rezka dalam tidurnya. "Cup cup sayang. Bobok lagi, sayang," ujarku sembari mengelus rambutnya yang wangi. "Daddy... hiks." Sedang tidurpun dia masih mengingat Daddy-nya. Aku salut pada ikatan batin duo tampan yang kini menjadi penyemangat hidupku. Kubaringkan Rezka dalam ranjang. Menyelimutinya dengan selimut hangat sebatas leher. Air matanya mengering di area pipi. Rambutnya yang sebelumnya berjambul, kini menjadi tak karuan. Anyway, tampan sekali bocah satu ini. Sama seperti ayahnya. "Sudah tidur?" Aku tersentak mendengar suara berat Gestazh yang tiba-tiba datang. Dia sama berantakannya dengan Rezka. Kedua kancing kemeja teratasnya terbuka. Memperlihatkan d**a putih dan bidangnya yang selalu nyaman dipeluk. Hihihi aku mengakui itu. Dia terduduk disamping Rezka yang sedang tertidur. Wajahnya dicondongkan dan cup! Kecupan hangat seorang ayah- Rezka rasakan di dahinya. Boleh aku menangis karena haru? Kenapa mereka mengharukan sekali? "Essshhh...," gumamnya pelan sembari memijiti pelipisnya. "Pak Dokter, kau baik-baik saja?" "Aku salah, Audi! Harusnya aku dapat mengendalikan emosiku. Maafkan Daddy ya, sayang. Maafkan keegoisan Daddy!" Gestazh kembali menciumi wajah Rezka dengan pelan. Rasa sayangnya sangat besar. Apakah Naura tak merasa sesayang ini pada anaknya? Harusnya hati seorang ibu lebih tau dan mengerti anaknya. "Terimakasih, Audi, sudah membujuk Rezka. Aku titip sebentar, ya? Aku mau membersihkan diri dulu." Seperti biasa, tanpa mendengar sahutanku, Gestazh sudah menutup pintu rapat-rapat. Ishh! ****** Malam ini aku ditemani Rezka di tempat tidur luas yg kini kami tempati. Rasanya hatiku membuncah bahagia. Dari dulu aku ingin sekali tertidur bersama seorang anak, terlebih jika itu anakku. Dan ternyata itu hanya mimpi dan khayalan semataku saja. Pada kenyataannya, suamiku, Nico, jarang sekali pulang. Percayalah kalian, selama pernikahan ini genap dua tahun, kami hanya melakukan hubungan suami istri masih bisa dihitung dengan jari. Satu kali kah? Atau dua? Ntahlah! Itupun masih dengan wajah tak acuhnya. Ceklek! Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Siapa lagi jika bukan Gestazh yang berani mengusikku. Dan bodohnya aku, selalu lupa untuk menguncinya. "Audi," Panggilan itu masih berlaku? "Akan selalu berlaku. Lupakan Sharen. Biasakan dengan nama Audi." "Tapi kenapa?” ucapku dengan penuh penekanan. "Oke, terserah kau saja mau bagaimana. Yang penting aku akan selalu memanggilmu Audi. Karena menurutku nama itu lebih cantik dibandingkan Sharen. Ayolah biasakan diri menerima panggilan Audi. Toh semua yang ada di rumah ini taunya kau adalah Audi bukan Sharen!" ucapnya tanpa harus memandang wajahku. Dia hanya fokus pada wajah tampan Rezka yang kini memeluk leherku dengan erat. "Sudah malam. Sana ke kamarmu!" titahku. "Aku kan kesini mau bawa Rezka," sahut Gestazh. "Tidak. Biarkan Rezka di sini. Kasihan jika harus diusik. Tidurnya nyenyak sekali," bujukku. Jujur aku ingin seperti ini sampai pagi. Please, jangan mengganggu kesenanganku, Pak Dokter! "Tapi Rezka selalu menangis jika orang asing yang menemani tidurnya," kilahnya. Orang asing? Bagus! Mari kita buktikan. "Oke memang aku orang asing di sini. Tapi kita coba saja. Biarkan Rezka disini dan besok pagi kita buktikan apa aku seasing itu di mata Rezka?" Dia menggeram pelan. "Ayolaah, Dee!" "Huustt!!! Sana tidur!! Bukannya besok kau harus ke rumah sakit pagi-pagi," ujarku. Ha! Kenapa aku jadi seolah-olah tau jadwalnya. "Sok tau sekali. Besok aku libur." Benarkah? "Heuum.. Pokoknya Rezka di sini!" Tetap bersikeras, ayo, Audi! Eh, kenapa aku memanggil diriku dengan sebutan itu juga? Ouh baiklah, aku akan membiasakan diri. Toh orang-orang disini taunya aku Audi. "Kenapa hanya Rezka yang diajak tidur di sini? Ayahnya tak diajak memang? Harus adil dong. Di mana ada Rezka, di situ pula ada Gestazh!" Hell! Berharap sekali! Sial, selalu saja senyum m***m itu yang tertampang. "Ayolah, Pak Dokter ... keluar! Jangan ganggu aku tidur dengan kekasihku," kataku sembari mencium dahi Rezka dengan sayangnya. "Apa? Kekasihmu? Kau wanita p*****l kah? Bahkan kau lebih pantas dengan ayahnya. Bagaimana jika aku saja yang tidur di situ!" What?! Aku bangkit dari tidurku. Berjalan ke arah belakang Gestazh dan mencuil sedikit kerah belakangnya. "Eh eh eh Audi! Kau kira aku kucing?" "Aku tak bilang seperti itu. Ayolah, keluar! Rezka bersamaku saja." "Tapi kau memperlakukanku seperti aku ini kucing. Lepaskan! Baik aku keluar sekarang," katanya. Oke, buktikan! "Tapi bersamamu!" "Aaaaa, Gestazh, turunkan akuu! Gestazh! Kau mau mem__ mppphh!" Gila! Bukannya keluar kamar sendiri, dia malah menggendongku dan membawaku keluar kamar juga. Dan sekarang apa? Dia membekap mulutku. Lalu Rezka bagaimana? Dia tidur sendiri? "Kau berisik sekali! Huussst!!! Nanti orang menyangka aku berbuat yang iya-iya!" Tangannya masih membekapku, bagaimana caranya aku mau melawan? Apa dia seperti ini juga pada pasiennya? Wah kekerasan ini namanya. Hah? Kamarnya? Dia membawaku ke kamarnya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN