"Kau berbicara dengan siapa?" Kulihat Gestazh sedang memandangku takut di ujung pintu sana. Apa sekarang aku terlihat gila di matanya?
"Ya, kau terlihat gila. Kau berbicara dengan siapa?"
"Hah?" Aku gelagapan, lalu terdiam sejenak dan menjawab, "Dengan adikmu!" Tawaku pecah melihat wajahnya yang seketika pucat ketakutan. Hei! Selain, m***m dan tukang modus, dia juga dokter penakut.
"Sembarangan! Aku tidak takut, hanya... sedikit parno!" ucapnya sewot yang semakin mangundang tawa kerasku.
"Hahaha ya ampun Babang Gestazh-mu memalukan, Glory!" Aku kembali menyapu pandanganku pada Gloria yang memandang tak percaya pada Gestazh. Kulirik Gestazh yang mengalihkan tatapannya juga ke arah Glory karena melihatku berbicara ke arah sana.
"Babang Gestazh kenapa? Dia terlihat kurus dan sedikit tak terurus. Apa dia terlalu frustrasi dengan pengkhianatan Naura? Ah dasar Naura norak! Kucekik kau sampai mati!" Gloria meracau tak jelas. Wajah hantunya tak kentara jika seperti ini. Dia lucu. Semoga aku bisa menyesuaikan diri dengan makhluk semacamnya.
"Heh! Menyesuaikan diri dengan mereka apanya, Audi?! Kenapa kau tau adikku Golry dan panggilannya padaku ‘Babang’? Wah wah wah.." Tangannya berada di kedua sisi kepala, memandangku dengan dramatis. Dia dokter apa aktor?
"Ya aku tau dari adikmu, Glory, dia ada di depanku," jawabku sekaligus mencoba menahan tawa.
Glory bangkit dan hendak melangkah mendekati Gestazh. Aku jaili saja dia.
"Pak Dokter! Aku tidak bohong, Glory adikmu mengarah padamu dengan tangan yang siap menjewer!"
"Hah?! Dimana? Dimana? Ah Glory, Glory! Jangan ya. Babang tau, Babang punya hutang janji padamu, tapi nanti!" Dia berlari ke arahku dengan langkahnya yang lucu. O my god, jika pasiennya melihat, hilang sudah wibawanya sebagai seorang dokter.
"Ah Bang Gestazh! Kok malah menjauh!" rengek Glory di ujung sana.
"Tuh, Glory merajuk karena kau menjauh. Sini, Glory!"
"Dee.. Jangan gila, please. Glory, pergi! Kau yang tenang di sana. Kenapa ganggu Babang? Babang salah apa?" Uuuh lucu sekali dokter satu ini. Bayangkan, dengan posisi meringkuk di bawah selimut dan mata yang mengintip sedikit. Wajahnya pucat dan itu benar-benar lucu! Kalian harus lihat ini!
"Hahaha Glory, stop! Biarkan Babangmu tenang dulu. Nanti saja jika dia tidur kau boleh mengganggunya!" titahku di tengah tawaku.
"Kau tega, Audi!" teriak si dokter tampan itu dari balik selimut. Lagi-lagi mengundang tawaku.
Tiba-tiba sosok kecil yang tampan mendekati Glory. Kenapa dia memandangku sengit?
"Glory, dia anakmu?" tanyaku hati-hati.
"Audi! Hentikan omong kosongmu itu! Kau pasti bercanda kan? Ya tuhan, apa sewaktu operasi ada yang salah dengan sarafnya? Tidak! It's imposible!" Suara pengganggu muncul lagi. Di saat aku gugup dilihat sosok kecil berwajah pucat dan menyeramkan.
"Glory! Anakmu kenapa?"
"Jason! Kau menakuti tante itu!" Glory mensejajarkan wajahnya dengan wajah anaknya. Membujuk agar Jason berperilaku baik terhadapku.
"Ahahah lalalala lalalala," tanpa menghiraukan ucapan Glory, Jason pergi dengan nyanyian yang sialan menyeramkan, diikuti Glory di belakangnya.
"Hentikan, Audi!" Dia bangkit dari tidurnya, melipat kakinya di hadapanku, memandangku garang. Kubalas saja tatapan garangnya itu. Kau pikir aku takut?
"Jangan berlelucon lagi. Sekarang aku mau kau menceritakan semuanya. Bersikaplah transparan padaku," katanya. Lelucon dia bilang? Rupanya dia masih menyangka aku berbohong.
"Pak Dokter! Aku tidak bohong! Glory memang ada di sini dengan anaknya, Jason! Dia bercerita jika dia meninggal sewaktu melahirkan Jason setelah beberapa bulan ditinggal mati suaminya yang masuk jurang. Dan kau, kau adalah duda yang dikhianati istrimu yang bernama Naura. Darimana aku tau itu semua jika bukan Glory yang bercerita?! Mau mengelak lagi, eh?" Mulut Gestazh tampak menganga tak percaya. Terdiam kaku dengan perubahan wajah yang kembali pucat.
"Jadi kau benar-benar__,"
"Iya. Aku bisa melihat para makhluk halus itu. Aku saja baru menyadarinya sekarang. Karena Sharen tak memiliki kemampuan ini. Semenjak tragedi naas penghangusan diriku, aku sudah melihat makhluk seperti itu. Dan dugaanku saat itu benar, jika yang menyeretku keluar dari gedung tua itu benar-benar hantu. Mereka menyelamatkanku," jelasku. Wajahku berubah menjadi sendu kala mengingat nasib naasku kala itu.
Segelibat bayangan suamiku datang. Di satu sisi aku sangat merindukannya, di sisi lain aku sangat membencinya. Nico, kenapa kau melakukan itu padaku?
"Hah? Aku tak salah membaca pikiranmu, Dee? Kau sudah bersuami? Nico? Nico Jeremias?" Oh s**t! Kenapa aku harus berpikir? Dia lagi-lagi membaca pikiranku. Tapi tunggu, darimana dia tau nama lengkap suamiku? Yang bernama Nico tidak hanya satu kan?
"Jadi Nico Jeremias benar-benar suamimu? Dia yang mengakui punya istri setelah istrinya mati karena bunuh diri. Yang dia maksud itu dirimu? Kau tidak bunuh diri kan? Sharen, jawab aku sejujur-jujurnya! Apa yang terjadi sebenarnya?" Apa aku harus bercerita? Bukannya masih terlalu awal jika dia tahu kehidupanku sebelumnya?
"Jadi begitu balasanmu terhadap kebaikanku selama ini?" Dia memandangku sengit dan menuruni ranjang hendak pergi. Perkataannya tepat menusuk uluh hati. Seolah-olah aku adalah orang yang paling tak tau diri di dunia ini.
"Pak Dokter, tunggu! Baiklah aku akan bercerita. Asal kau juga mau bercerita perihal hidupmu." Tubuhnya masih mematung di dekat pintu. Dengan langkah cepat, dia berbalik ke arahku dan menarik tanganku. Eh dia mau membawaku kemana?
"Ikut saja!"
******
"Itu!" Gestazh menunjuk ke arah ... oh ini sakit! Teramat sakit untukku. Tak pernah kusangka Gestazh akan membawaku ke sini, ke tempat terkutuk ini. Oh tuhan! Kuatkan aku. Air mata berdesakkan di pelupuk mata. Sesekali kutinju dadaku sekeras mungkin untuk menghilangkan rasa sesak di sana. Melihat dia yang masih menjadi suamiku sedang berbahagia bersama wanita yang sama dengan wanita kala itu.
"Kau lihat di sana!" Gestazh menunjuk lagi ke arah dua insan yang baru saja keluar dari gedung salah satu production house yang terpandang di negeri ini. Mereka memasuki mobil yang sama yang tak lain itu adalah mobil suamiku. Perih mata dan hati ini. Ingin rasanya aku berteriak pada dunia jika Nico masih memiliki istri. Dan akulah istrinya. Istri yang dibuangnya.
"Wanita yang sedang dirangkul oleh aktor sialan itu adalah istriku. Mantan lebih tepatnya. Wanita yang dulu aku cintai, ibu dari Rezka. Bahkan kita saja baru genap dua bulan resmi bercerai, dia sudah berani terang-terangan begitu." Seketika aku menoleh. Jadi benar Naura mantan istri Gestazh adalah Naura yang sama?
"Naura Vananiersa?"
"Ya dia mantan istriku, bersama Nico Jeremias si perebut istri orang!" Apa Gestazh tak menyadari Nico adalah suamiku? Bahkan belum menyandang gelar 'mantan'. Apa Gestazh tak menyadari air mataku mengalir sederas ini? Gelar perebut juga menyandangi nama Naura, heh! Perebut suami orang!
Angin malam ini menusukku. Pemandangan ini menusukku. Sungguh sengsara aku malam ini.
"Dia berselingkuh di belakangku. Bayangkan saja, aku pulang larut dengan tubuh yang lelah. Dan sewaktu aku pulang yang aku lihat di rumah hanyalah kehampaan dan yang aku dengar kala itu hanya tangis Rezka dari arah kamar. Ternyata Rezka sendiri di rumah. Kemana Naura? Semakin lama aku semakin curiga. Belum lagi melihat berita jika istriku sering kali terlihat mesra dengan aktor sialan itu. Bagaimana perasaanku? Aku berjuang demi membahagiakannya, sedangkan dia seenaknya padaku.
Aku tak peduli dengan ketidakpeduliannya padaku belakang ini, aku hanya ingin dia lirik Rezka. Anaknya sendiri diterlantarkan seperti ini. Dan tanpa ingin capek-capek berdebat masalah kepengurusan anak, dia malah memberikannya secara sukarela padaku. Aku tak butuh kasih sayangnya, Rezka yang membutuhkannya. Karena bagaimanapun Naura itu ibunya. Semua ini gara-gara aktor sialan itu!" Aku menangis dalam diam di belakang Gestazh yang sedang menjambaki rambutnya sendiri. Punggung lebarnya tampak bergetar. Ternyata nasib kita sama. Kenapa mereka berdua jahat sekali? Dan kenapa kebetulan ini terjadi?
Aku hampiri Gestazh. Kupeluk tubuh kekarnya dari belakang. Terserah dunia akan mengataiku wanita agresif, nyatanya pelukan ini yang aku butuhkan. Aku butuh tubuh seseorang untuk menopang tubuhku yang lemas tak berdaya. Tangisku pecah. Aku lelah jika harus menangis dalam diam. Hatiku hancur, ya Tuhan! Mati saja kau, Sharen! Percuma hidup pun tak pernah merasakan kebahagiaan yang tahan lama. Kau terkutuk di dunia ini, Sharen! Aku memekik dalam hati yang terasa sesak.
Gestazh berbalik badan. Menenggelamkanku dalam d**a bidangnya. Tangannya mengeratkan pelukan kami. Isakannya juga terdengar olehku. Walau hanya lirihan semata, tetapi cukup membuatku merasa sesak mendengarnya.
Selang waktu beberapa menit, Gestazh melepaskan tubuhku. Kupandangi wajahnya. Wajah tengil dan jailnya yang selalu aku lihat semenjak pertemuan pertama tergantikan dengan wajah penuh akan kesedihan. Matanya basah, bahkan bulu matanya yang lentik, menyisakan air matanya yang masih mengalir. Dia tak malu menangis di depanku?
"Maafkan Naura sudah merebut suamimu," ucapannya membuatku menegang. Darimana dia tau?
"Aku membaca pikiranmu tadi," Jawabnya. Kenapa aku selalu lupa dia memiliki kemampuan yang sialan luar biasa?
"Aku mencintainya, Sharen. Sangat mencintainya. Tapi lihatlah! Apa balasannya? Apa ini balasan rasa cinta tulusku? Kenapa begitu sakit!" Gestazh mengerang tak jelas sembari menendangi kehampaan di udara. Dia begitu terlihat frustrasi.
"Pak Dokter__,"
"Sabar? Aku cukup sabar selama ini. Aku selalu menampilkan wajah baik-baik saja, namun semakin aku memaksakan diri, di sini begitu sakit!" Gestazh memotong ucapanku. Dia menunjuk dadanya kasar. Aku bisa merasakannya, Gestazh. Kita sama.
Terdiam sejenak...
Tiba-tiba Gestazh menghampiriku. Menggenggam kedua tanganku dengan tatapan lembut yang membuat wanita mana saja meleleh akan pesonanya. Naura! Kau bodoh melepaskan pria satu ini!
"Aku saja yang hanya segini sakitnya serasa diirisi belati. Bagaimana denganmu? Hati seorang wanita yang lembut. Bagaimana denganmu, yang dibuang dengan cara naas? Kuatlah, Sharen! Kau masih punya aku di sini. Aku siap untukmu. Kita berjuang bersama. Teman?" Dia tersenyum padaku. Tangannya merentang, memancingku untuk kembali pada peluknya.
Kekehan mengiringi kami ketika tubuh kami saling merapat. Memberikan kehangatan dalam dinginnya malam. Memberikan kekuatan satu sama lain.
"Teman!" ucapku tegas. Kurasakan usapan kepala yang lembut. Dia begitu tulus. Memang cukup singkat pertemuan kita ini, namun ntah mengapa ketulusannya ini sangat meneduhkan jiwaku. Terima kasih, Gestazh, telah datang tepat waktu kala aku sengsara dan sendiri di dunia ini. Terima kasih.
"Sama-sama!" sahutnya pelan. Ah dia membaca pikiranku lagi. Aku kan jadi malu.