Pagi ini aku terbangun dengan pemandangan pertama dua lelaki tampan di sampingku. Yang satu dewasa dan yang satu balita. Ayah dan anak yang kini mewarnai hari-hariku.
Oke akan kuceritakan kenapa akhirnya aku tertidur dengan keduanya. Dan yang perlu digaris bawahi adalah ini kamarnya Gestazh bukan kamarku.
Semalam Gestazh mengunciku di kamarnya setelah itu dia meninggalkanku entah kemana. Dan kepenasaranku terjawab kala dia kembali dengan Rezka dalam gendongannya. Dasar Dokter jahil!
"Isssh!" Aku meringis ketika tangan kekarnya itu menimpaku dengan keras. Ett jangan berburuk sangka dulu. Jarak kami dibatasi oleh Rezka yang berada di tengah.
"Bagaimana? Ini adil kan?" Dia sudah bangun?
"Ya aku sudah bangun dari tadi. Mungkin sebelum kau bangun." Sudahlah! Nanti lagi aku takkan mengeluarkan suara. Cukup berpikir saja dia sudah tau dan menyahut.
"Camat pagi, Daddy!" Suara parau anak kecil menyelah pembicaraan kami. Rezka keluar dari selimutnya dan mengecup pipi Gestazh dengan gemas. Aku jadi iri.
"Cium juga tantenya dong." Aaah Gestazh mengerti aku. Ingatkan aku untuk menraktirnya jika aku banyak uang.
"Aissh! Kau akan mentraktirku jika kau banyak uang? Kapan?" cercanya menyombongkan diri. Bagus! Gestazh sombong huh!
"Camat pagi, Mommy!" Aku dan Gestazh sama-sama menegang ketika Rezka mengecup pipiku lembut seraya mengucapkan seperangkat kalimat yang membuat hatiku terperanjat juga bahagia. Ini mimpiku. Mimpiku untuk dipanggil Mommy. Ya Tuhan, tanggal berapa sekarang? Akan kukenang hari ini.
"Rezka jangan seperti itu!" Gestazh menegur anaknya. Ya aku mengerti pasti dia tak sudi jika anaknya memanggilku ibu. Huhhh, baru saja aku terbang dan sekarang terempas sekeras mungkin.
"Nggak papa, Daddy! Leska kangen cium Mommy," lirihan itu menohok hatiku. Apalagi Gestazh yang di seberang sana.
"Leska kangen Mommy, Daddy! Leska pen ketemu Mommy." lirihan itu terus saja mengalun. Menyayat hatiku semakin dalam. Perih.
"Nanti yaa ... Rezka pasti ketemu Mommy," ucapku menenangkannya. Gestazh hanya menatapku tajam seolah mengatakan 'apa yang kau katakan, takkan sudi aku membiarkan Rezka bertemu dengan ibunya, sudah telat rasanya memberi kesempatan Naura memberi kasih sayang pada Rezka'!
"Rezka mandi yuk! Biar tante mandikan," ajakku. Anak itu mengangguk lucu. Ahhh penurut sekali anak ini.
Aku menggendong Rezka dengan semangatnya. Membiarkan Gestazh yang masih tenggelam dalam pikirannya.
******
Pagi ini Gestazh sudah rapi dengan setelan dokter yang membuatnya semakin gagah. Tadi, dia memberitahuku jika dia harus visit salah satu pasiennya pasca operasi. Mengenai aku, aku kini sedang disibukkan dengan si tampan Rezka. Rezka ingin aku mendandaninya karena dia akan ikut dengan ayahnya ke rumah sakit.
Keberadaan Gestazh di depanku dengan pandangan menilai membuat laju jantungku tiga kali lebih cepat. Apa yang dia pikirkan?
"Aku mengawasimu. Kenapa memangnya?" Isshh! Menyebalkan sekali makhluk satu ini.
Aku hanya diam. Malas untuk menyahut dokter tengil bin ajaib namun tampan ini.
"Rezka sudah selesai dan sekarang giliranmu. Tak mungkin kan jika kau ikut dengan piyama seperti itu?," ujarnya.
"Kenapa harus? Memangnya aku mau kemana? Aku takkan ikut padamu. Silakan saja pergi," sahutku ketus.
"Aah tante ikuut.. Kata Daddy, nanti cepulang dali lumah cakit Daddy au ajak leska cama tante buat jalan-jalan." Setelah mendengar ucapan lucu Rezka aku menatap Gestazh tajam. Dia yang sepertinya mengerti hanya mengangkat bahunya tak acuh. Ishh!
"Cepatlah, Audi! Tak ada penolakan!" Gestazh dengan santainya melenggang pergi dari kamarku dengan Rezka dalam pangkuannya. Bagus. Ada panggilan baru untuknya, Dokter Pemaksa.
Baiklah yang waras mengalah…
Aku membuka lemariku. Huffftt, di sini hanya ada segelintir baju yang Gestazh belikan tempo hari. Aku harus pakai baju yang mana?
Yasudahlah!
Kujatuhkan pilihanku pada perpaduan baju sekasual mungkin. Terserah jika Gestazh mengkritikku atau bahkan malu jika aku disampingnya. Aku sungguh tak peduli.
Tapi...
Aku peduli akan harga diriku. Di sini bukan Sharen yang dulu lagi yang selalu percaya diri dengan keadaan dan penampilan sesederhana mungkin. Di sini aku menjadi sosok Claudia Prillyameca. Aku harus buktikan pada dunia jika aku tak semenjijikan yang mereka bilang sewaktu aku buruk rupa. Gestazh dengan baik hatinya memperbaiki semuanya, masa aku dengan seenaknya mempermalukannya. Ayolah, Audi, tahu diri!
Aku menatap alat-alat makeup wanita dalam meja rias yang tentunya Gestazh pula yang menyediakan. Dulu alat makeup ini sungguh tak pantas dipoleskan pada wajahku. Bahkan Nico saja menyebutku seperti badut ancol sewaktu pertama kali aku menggunakannya. Padahal dalam hal berdandan aku tidak terlalu bodoh. Baiklah, salahkan wajah buruk rupaku itu.
Oke, Audi! Kita mulai!
******
Aku gugup...
Gestazh memadangku lekat dengan tatapan yang ntahlah aku tak bisa mengartikannya. Ada yang aneh? Baiklah aku mengaku ini memang aneh.
"Tidak. Kau cantik, Audi!" Hah? Itu barusan siapa yang berbicara.
"Awwww!" pekikku ketika jari lentiknya menyentil dahiku dengan teganya.
"Kau pikir di sini ada siapa lagi selain aku, hah?" Tanpa dapat kuduga, Gestazh menarik tubuhku melekat dengan tubuhnya. Aih, aku semakin gugup dengan posisinya.
"Ya maaf ... Gestazh lepaskan! Nanti Rezka lihat."
"Baju sederhana tapi terlihat bagus dipakai olehmu," katanya. Menggombal, heh?
"Ciyeee Daddy cama tante pacalan, ciye ciye... Bilangin Mommy loh Daddy," ucapan anak kecil itu membuat Gestazh sontak melepaskan rengkuhannya.
Gestazh mengisyaratkan dengan matanya agar aku segera memasuki mobil. Yaa mau bagaimana lagi, mau tak mau aku harus menurutinya.
Hening.
Sudah sedari tadi kita bertiga sama-sama membisu. Duh aku bosan. Menilik Gestazh, ia sibuk dengan si bulat setir, melihat Rezka, anak itu sibuk dengan ipad-nya. Buat apa aku ikut? Dan anehnya, kenapa terasa lama untuk sampai ke rumah sakit?
Tiba-tiba...
"Tante tante ... Leska bental lagi kayak gini kan?" Aku menoleh. Mengikuti arah telunjuk Rezka yang menunjuk ke arah si persegi canggih yang ia pegang.
Aku tersenyum melihat gambar anak kecil tampan dengan seragam sekolahan lengkap. Kualihkan kembali pandanganku pada wajah menggemaskannya.
"Tentu. Rezka mau sekolah?"
"Iya Leska mau cekolah. Bisa diantel Mommy, yeaay!" pekikan bocah tampan ini lagi-lagi membuat aku memandang nanar padanya. Kutolehkan pandanganku pada Gestazh yang seketika menegang. Rahangnya mengeras, menandakan jika ia sedang meredam emosinya.
"Sabar...," bisikku sembari mengelus lengan kekarnya. Dia hanya tersenyum dan kembali memfokuskan dirinya pada jalanan.
"Daddy, Mommy bakalan antel Leska ke cekolah kan?"
"Iya. Nanti Mommy anter Rezka," ujar Gestazh dengan lemas. Aku tau dia hanya menjawab seadanya.
"Sudah sampai. Ayok!"
Aku mengenggam tangan mungil Rezka yang hangat dengan keceriaan yang sama dengan anak itu. Aku bahagia. Bahagia bisa sedekat ini dengan makhluk yang bernama anak-anak.
"Pasangan serasi ya."
"Waah Dokter Gestazh sudah ada gantinya."
"Jangan-jangan wanita itu yang jadi alasan pisahnya Dokter Gestazh dan Naura."
"Bisa jadi tuh! Wah dasar perebut suami orang!"
"Jangankan pada Dokter Gestazh, dia juga cari muka pada Rezka."
"Tapi tak heran dia cantik. Lebih cantik dari mantan istrinya Pak Dokter."
"Iya juga sih!"
"HENTIKAN!" Bentakan Gestazh membuat suster-suster penggosip itu terdiam. "Tak ada perebut istri orang di sini! Tak ada pasangan kekasih di sini. Dia hanya temanku, dia sahabatku. Awas saja, sekali saja terpergok kalian membuat gosip yang tidak-tidak, tunggu saja apa yang akan saya lakukan pada kalian semua!"
Gestazh menarik tanganku cepat tanpa memperhatikanku yang juga menggenggam tangan Rezka. Langkahnya tergesa-gesa. Punggung lebarnya juga terlihat naik turun. Padahal kan aku yang dipandang jelek, kenapa dia yang marah?
Bruk!!! Braak!!!
Gestazh menabrak seseorang. Membuat sebuah amplop dokumen terjatuh, dan dengan baik hatinya, Gestazh mengambilkannya. Sebuah hasil USG. Itu yang aku lihat dari dokumen itu. Kutolehkan pandangku pada orang yang barusan kami tabrak. And wait, what??!
"Maafkan say__." Ucapan Gestazh terhenti. Matanya melebar tak percaya. Begitupun juga aku.
"Mommyyy!!! Leska kangeen!"