"Darimana saja?"
"Umm... heum... Aku mengajak Rezka jalan-jalan sebentar. Maaf," ucapku lirih dan berhati-hati. Aku menyadari jika aku terlalu lancang dan terlalu menyelami kehidupan rumah tangga mereka.
"REZKA!"
"Tante, takut," ujar Rezka parau di belakangku. Aku mengisyaratkan agar Gestazh jangan membentaknya terus menerus.
"Kenapa? Aku ayahnya. Dia harus mendapatkan pelajaran dari semua ini, Audi!" Dia membaca pikiranku lagi. Huffft lama-lama aku jengah.
"Tapi dia anak kecil, Pak Dokter yang terhormat!" kataku penuh penekanan. Jujur aku merasa ini bukan Gestazh yang aku kenal. Emosinya menyelimuti seluruh raganya. Tak bisakah mengontrolnya sedikit?
"Justru itu, dia masih kecil. Aku akan mengajarinya sesuatu yang harus dia lakukan dan dia ambil, jangan sembarangan seperti tadi. Aku sengaja menerapkannya dari kecil, agar besar nanti dia tak melunjak."
"Apa yang salah dari kejadian tadi? Wajar menurutku Rezka seperti itu, dia punya hati dan dia rindu ibunya. Kemana hati nuran__."
"Kau terlalu ikut cam__."
"OKE! AKU IKUT CAMPUR! KENAPA SALAH? AKU DISINI SEBAGAI PELINDUNG REZKA. AKU TAKKAN DIAM SAJA KAU MELAKUKAN KEKERASAN PADA ANAK SEKECIL INI!"
"HEH! KAU PIKIR KAU SIAPA? BERANINYA MENCERAMAHIKU!" Aku terdiam mematung. Dia benar, aku siapa? Kenapa aku begitu tak tau diri?
"Maaf," sahutku melembut. Kutundukkan kepala seolah menghindari tatapan tajamnya. Aku takut, aku takut kala dia emosi. Semua iblis berkiprah padanya.
"Tante, bawa Leska pelgi dali cini, Tante..," bisik Rezka padaku.
Gestazh membuang nafas kasarnya sampai pipinya sempat mengembung. Dengan sekali sentakan cepat, dia bangkit dari duduk angkuhnya dan hendak menghampiri kami. Mungkin lebih tepatnya melangkah ke arah Rezka.
"Sini!!!" Gestazh menarik lengan Rezka kasar.
"Gestazh, jangan!"
"Tante! Cakit, Tante! Tangan Leska cakit," adunya padaku.
"Sini!"
Aku segera meraih tubuh Rezka dan mencoba merebutnya dari rengkuhan Gestazh.
"Lepas!"
"Tidak!"
"Lepas, Audi!"
"Aku tidak mau!"
"Tante, Leska benci Daddy! Tante, tolong Leska!" Rezka masih terus mencoba melepaskan diri.
Oh Tuhan keterlaluan!
Gestazh meraih tulang selangka Rezka dan mengangkatnya lalu menyeretnya ke arah sofa. Hey! Bagaimana jika tangannya patah?
"Gestazh! Awas tangannya patah!"
"Daddy, cakit!!! Hiiks huhuhu tante... Tante tolong!" Tangisan Rezka menyayat hatiku.
Dia membanting Rezka ke sofa lagi dan lagi. Ini keterlaluan!
Kuhampiri keduanya dan PLAK!
Kutampar wajah tampan di hadapanku dengan emosi yang menyelimuti. Sadar, Gestazh!
"Berani kau menamparku? Dasar wanita tak tau diri. Kau harusnya malu! Kau ini siapa? Kau bukan siapa-siapa tanpa aku! Kemana balasan budimu kepadaku! Tak tau terima kasih. Aku sudah banyak membantumu, jangan lupakan itu!" Aku tersentak mendengar ucapannya. Tak menyangka Gestazh akan mengucapkan seperangkat kalimat yang mampu memeras hatiku. Sakit, Gestazh! Hatiku sakit!
Tanpa kusadari air mataku terjatuh dengan sendirinya. Perkataannya membuatku sadar. Baiklah, setelah ini, aku akan pergi.
"Sadar, Gestazh! Kau bukan Gestazh yang aku kenal! Ini anakmu! Kau takkan menyesal, heh?! Aku tak menyangka kau segitu kejinya ya jika emosi. Sekarang kau mau aku bagaimana? Pergi? Baiklah aku akan pergi setelah ini," makiku bersahutan dengan tangisan sendu Rezka.
"Awww aww tanteee... Tante jan pelgi, kalau pelgi Leska ikut!" Tangisnya semakin sini semakin mengeras. Aku membawa Rezka dalam gendonganku dan melenggang pergi meninggalkan Gestazh yang masih mematung dengan wajah yang sedikit melemas.
Aku harap kau sadar, Gestazh!
******
Aku menidurkan Rezka di kamarku. Di bawah tadi, Ibu Lita, Ibunya Gestazh, menanyaiku 'kenapa aku pulang hanya berdua saja? Mana Gestazh?'. Aku hanya menjawab Gestazh ada urusan lain. Dan untungnya Rezka tidur dalam gendonganku dengan menyembunyikan wajahnya di bahuku, jadi grandma-nya takkan curiga melihat mata Rezka yang banjir akan air mata.
"Rezka sayang... Kamu jangan takut ya, Nak! Kamu jangan benci Daddy-mu. Daddy orang baik. Tadi hanya sedang emosi saja. Nanti jika tante pergi, Rezka jangan nangis dan jangan bandel ya, Daddy pasti tidak akan marah."
Kuusap rambutnya lembut. Bocah tampan ini tampak berantakan. Rambutnya yang tadi kutata rapi kini tak tentu arah. Bekas air mata yang mengering di pipinya membuatku ikut meneteskan air mata. Malang. Kenapa anak ini merasakan hal semenyakitkan itu? Di sisi lain, kejadian ini mengingatkanku pada masalaluku juga.
"Ibu... Jangan pergi!" Aku peluk lutut wanita yang kucinta, menahan ibuku agar tak pergi dari sini.
"Lepaskan, Sharen! Ayahmu sudah tak menginginkan Ibu tinggal di sini lagi."
"Ayah, jangan biarkan ibu pergi!" Aku berlutut memohon pada ayahku yang menatap ibuku dengan penuh kebencian.
"Sekalipun kau akan bersimpuh dan menangis darah bersujud padaku, aku takkan menerimanya di rumah ini lagi. Sudah, Sharen. Sini sayang sama Ayah. Ibumu w***********g! Tak mau bersabar dengan perjuangan Ayah menyelamatkan perusahaan. Pergilah, Clara! Kau lebih memilih lelaki kaya itu dibandingkan aku yang ada dalam ambang kebangkrutan! Pergi! Dan jangan kembali!"
"Ayah… kumohon!"
"Baik aku akan pergi!" Tanpa mengucapkan sepatah katapun untukku, Ibu melangkah dan disambut dengan lelaki simpanannya yang merusak hubungan orang tuaku. Ibuku memang keterlaluan! Tapi aku tak munafik, aku membutuhkan keduanya.
Ayah memegang dadanya dan mencoba menghirup oksigen dengan rakus. Seperti kesulitan.
Oh tuhan!
Mataku membulat dan aku segera berlari ke kamar Ayahku, mencari alat itu. Aha! Ini dia. Kubawa alat satu-satunya yang membantu Ayah kembali normal dari penyakit asmanya yang terkadang datang tak tentu kapan waktunya. Syukurlah, setelah memberikannya alat ini, Ayah dapat kembali merasakan nikmatnya bernafas.
"Sharen jangan tinggalkan Ayah. Janji? Ayah tak mau sendiri. Cukup ibumu yang meninggalkan ayahmu ini."
"Iya Ayah. Sharen janji!"
Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, kulalui kehidupan kelam dan mandiri ini bersama ayahku. Memberikan semangat di belakangnya sampai akhirnya kebangkrutan yang hampir menelan kami; terselamatkan. Perusahaan ayahku kembali jaya.
Aku bahagia dan bangga menatap punggung lebar ayahku yang perlahan terlihat rapuh termakan usia. Ya Tuhan, jangan ambil ayahku dulu.
Namun doa hanya tinggallah doa. Doaku tak dikabulkan. Sewaktu ayahku ada penerbangan ke oxpord, terjadi kerusakan mesin pada burung besi yang ayahku tumpangi. Ditambah lagi cuaca yang tak terdeteksi tiba-tiba memburuk. Ayahku berpulang kepadanya. Meninggalkanku dan secarik pesan penitipan hartanya padaku melalui orang kepercayaannya.
Disitulah hidupku dimulai. Mulai mencari jati diriku. Aku harus buktikan jika aku bisa sehebat Ayah. Aku janji padamu Ayah!
Nico, dia datang dalam hidupku. Dengan sosok yang mengibakan.
Aku bertemu dengannya dan juga keluarganya di depan ruko kala hujan. Mereka membawa barang-barang berat yang membuatku bertanya-tanya. Mereka ternyata adalah korban penyitaan bank karena tak mampu membayar hutang.
Dan untuk seterusnya kalian tau sendiri. Nico mendekatiku dan melamarku dengan kata-kata cinta palsunya. Bodohnya aku percaya begitu saja.
Kugelengkan kepalaku, menyadarkan diri agar tidak terlalu tenggelam di masa lalu.
"Bbbbrrrr..." Ha? Rezka menggigil. Kenapa? Kusentuh dahinya dan___ O, Tuhan, dia demam.
"Tante ... dingin ... peluk Leska!" Jangan sakit jangan sakit, aku mohon! Kalau dia sakit, mana tega aku pergi dan meninggalkannya. Belum lagi jika Gestazh tak memperdulikan Rezka. Ahhh tapi tidak mungkin, Gestazh sangat mencintai anaknya.
"Iya, sayang. Tante peluk ya."
"Dingin..."
"Mimi obat dulu ya, sayang," bujukku.
"Nggak auuu. Pahit!" Ck, tak ada obat yang enak, Rezka ganteng!
"Tapi biar sembuh dong, Sayang."
"Nggak auu." Keras kepala seperti ayahnya. Dia memeluk leherku erat dan dengkuran halusnya membuatku tenang. Bobok yang nyenyak, Sayang.
******
Senja telah datang. Aku terbangun masih dengan posisi Rezka dalam dekapanku. Kusentuh dahinya kembali dan ya ampun! Panasnya semakin parah. Duhh, aku harus membawanya ke dokter. Eh? Daddy-nya kan dokter juga.
"Rezka, Rezka sayang..." Kuguncang tubuh mungilnya pelan.
Lho? Kok dia tak bangun-bangun sih? Duh, bagaimana ini?
"Rezka! Rezka bangun, Sayang."
"Rezka bangun!"
"Rezka!!"
Ceklek. Kudengar suara pintu terbuka. Gestazh dengan wajah cemasnya mendekat ke arah kami.
"Ada apa? Rezka?"