Menyenangkan Diri Sendiri 2

1416 Kata
“Bu maaf saya lama ya?” ucap Rena yang baru saja memasuki mobil Aurora.   “Tidak kok, memangnya kamu habis apa?”   “Kebelet Bu,” ucap Rena sambil memperlihatkan deretan giginya dan Aurora tertawa.   “Ren, kamu saya antar ya. Habis itu kemasin pakaian kamu juga. Saya sedang ingin ditemani malam ini. Dari pada saya keluar sendirian mending kamu yang saya culik ke apartemen.”   “Jadi saya nginep di apartemen Ibu? Apa tidak apa-apa? Kalau saya bangun siang bagaimana Bu?”   “Saya tinggal siram pakai air,” jawab Aurora sambil fokus dengan stir mobilnya.   “Hahaha, Ibu bisa saja bercandanya.”   “Ya lagian kamu lucu. Bangun siang juga tidak apa-apa. Di apartemen juga ada yang masak kalau pagi orangnya datang juga untuk bersih-bersih terus ada catering juga kalau memang tidak mau repot-repot. Kamu tinggal makan tidur saja. Tidak perlu memikirkan yang aneh-aneh, memangnya saya mau makan kamu apa?”   “Ya saya kan hanya tidak enak Bu. Apa lagi Ibu atasan saya.”   “Kalau di kantor saya atasan kamu. Kalau di luar kantor kamu teman saya bukan?”   “Ah iya … baiklah kalau itu maunya Ibu.”   “Jangan panggil saya Ibu. Memangnya saya sudah tua ya?”   “Ya tapi kan saya—“   “Tidak usah tapi-tapian. Panggil saya Rara saja.”   “Baik Bu. Eh, Rara.”   “Nah gitu kan lebih manis.”   Rena tersenyum dan ia baru menyadarinya. “Bu, eh salah lagi Ra, biar saya saja yang menyetir.”   “Tidak apa-apa. Nanti saja dari apartemen kamu ya.”   “Baik Bu. Eh salah lagi.” Aurora tertawa dan ia memilih menyalakan musik lebih dulu untuk menghindari rasa kantuknya.   “Pelan-pelan saja. Nanti juga terbiasa kok.”   “Iya.”   Aurora langsung memarkirkan mobilnya di parkiran apartemen Rena lalu mereka berdua turun bersama dan Aurora cukup nyaman berada di apartemen milik sekretarisnya itu.   “Apartemen kamu enak juga suasananya.”   “Iya …, tapi saya rasa tidak cocok untuk Ibu.”   “Kenapa tidak cocok? Apa karena saya atasan kamu? Saya juga sama saja kok, saya juga biasa hidup di tempat seperti ini.”   “Iya Bu, hanya merasa kurang pas saja.”   “Rara Ren, ingat Ra-ra,” ucap Aurora lembut.   “Iya Ra.”   Aurora dan Rena masuk ke dalam lift bersama. “Kamu tidak takut tidur sendirian?”   “Tidak kok. Memangnya kenapa? Kan terang banyak cahaya lampu. Apa kamu takut jika tidur sendirian?”   “Kadang-kadang saja. Di saat saya merasa kesepian, saya akan merasa sangat takut sekali,” ucap Aurora pelan dan ia jadi mengingat kedua orang tuanya yang pergi meninggalkannya begitu cepat. Semua ini masih seperti mimpi saja.   “Ayo Ra keluar, kamu mau di dalam lift terus?” tanya Rena saat melihat Bosnya masih diam mematung.   “Ah iya,” ucap Aurora lalu ia keluar dari lift.   “Di sebelah sini,” ucap Rena sambil memberikan Aurora jalan.   “Kamu saja duluan, saya tidak tahu yang mana unit kamu.”   “Eh iya ya,” ucap Rena lalu ia berjalan di samping Aurora.   “Yang ini Ra, jangan kaget ya kalau lihat dalamnya berantakan. Saya belum membereskannya.”   “Sudah biasa,” jawab Aurora santai lalu ia masuk ke dalam apartemen sekretarisnya itu dan melihat ruangannya yang cukup simpel dan bersih.   “Bagus juga kok,” ucap Aurora sambil melihat sekelilingnya.   “Silahkan duduk. Mau minum apa?” tanya Rena sambil membereskan beberapa buku yang masih berantakan di atas meja.   “Apa saja yang kamu punya keluarkan saja,” jawab Aurora sambil melihat foto Rena saat masih kecil.   “Baik Bu …, eh salah Ra,” ucap Rena sambil menepuk keningnya.   Aurora menggelengkan kepalanya dan Rena segera mengambilkan minuman untuk Bosnya ini.   “Ya nggak ada apa-apa. Ah ada s**u, ibu kan suka sama s**u,” gumam Rena lalu ia menghangatkan susunya.   Rena mencari camilan yang ada dan ia menyiapkannya. Rena menuang susunya ke dalam gelas lalu ia membawa s**u dan camilannya keluar.   “Ra, minum dulu sama ini ada cookies, dimakan dulu ya. Aku beresin pakaian dulu.”   “Iya, nggak usah buru-buru santai saja. Di luar juga masih macet.”   “Iya, anggap saja rumah sendiri ya,” ucap Rena lalu ia menuju kamarnya.   Aurora melihat keluar jendela. Ia selalu suka melihat pemandangan dari gedung yang tinggi seperti ini. Ia merasa hal ini sangat menyenangkan sekali karena ia bisa melihat beberapa tempat yang sedikit jauh.   Aurora melihat layar ponsel yang ada digenggamannya. Ia melihat sebuah pesan masuk lalu membacanya. Aurora tersenyum saat melihat foto sang Bibi yang sedang menikmati tehnya sambil menjaga bunga milik Aurora yang ditinggalkan di rumahnya sana.   Entah berapa banyak jasa yang Bibi Cahaya berikan untuknya. Aurora merasa bersyukur karena memiliki Bibi yang begitu mencintainya dengan tulus. Aurora tersenyum dan tiba-tiba bayangak Kevin datang menghampiri dirinya.   Senyuman di wajah Aurora memudar saat ia mengingat Kevin. Entah keputusan apa yang akan diambil Kevin nantinya. Ia hanya bisa berserah kepa Tuhan saat ini. Aurora selalu mengharapkan jika pernikahan ini tidak akan pernah terjadi, tetapi jika Tuhan berkehendak lain. Apa yang bisa ia lakukan. Manusia hanya bisa berencana tapi Tuhan yang akan menentukan jalannya.   Aurora memejamkan kedua matanya dan ia mencoba membuang bayang-bayang wajah Kevin yang begitu tampan tapi ia sama sekali bukan tipe Aurora.   “Kenapa kita harus dipertemukan jika semua ini hanyalah permainan saja. Kevin, kamu itu seorang lelaki harusnya bisa jauh lebih tegas dari pada aku. Aku hanya seorang wanita lemah. Aku—“ ucap Aurora pelan dan ia tidak melanjutkan lagi ucapannya saat mendengar suara langkah kaki Rena yang menghampirinya.   “Lho belum diminum? Bukannya kamu suka s**u?”   “Ini mau diminum. Pemandangannya indah banget di sini. Pantas saja kamu betah di sini.”   “Hmmm, sebenarnya bukan karena pemandangannya saja. Tapi biayanya murah sekali di sini,” ucap Rena yang sudah berdiri di samping Aurora.   “Bu, eh maksud saya Ra. Apa saya boleh bertanya sesuatu?”   “Katakanlah.”   “Saya dengar kamu akan menikah dengan Kevin. Apa kamu mencintainya? Maaf, bukannya saya ingin ikut campur, hanya saja saya tahu ibu tidak mencintainya dan saya pikir tidak ada salahnya juga menolak pernikahan ini.”   “Entahlah, saya hanya manusia biasa. Saya juga tidak ingin pernikahan ini terjadi, tapi saya paling tidak bisa tidak menjalankan amanat kedua orang tua saya. Walau mereka sudah tiada saya yakin mereka akan sedih di atas sana jika saya tidak bisa menjalankan permintaan terakhirnya. Kadang kita harus membuang ego kita hanya untuk kebahagiaan orang lain. Bahkan kadang saya merasa jika hidup saya ini hanyalah sia-sia saja. Jika kamu di posisi saya, apa yang akan kamu lakukan?”   “Kalau saya sudah kabur saja deh. Saya pasti tidak sanggup melewatinya.”   “Tapi saya tidak bisa kabur dan saya hanya bisa mengiyakannya saja. Saya tahu kalau saya bodoh. Padahal saya bisa saja mendapatkan laki-laki lain selain Kevin. Kamu sudah lama mengenalnya karena beberapa kali bertemu dengannya.”   “Iya, saya tahu dia memang baik. Tapi—“   “Tapi dia sudah beristri bukan?” tanya Aurora yang sudah tahu pikiran Rena dan Rena menganggukan kepalanya dengan cepat.   “Tapi apa kamu tahu kalau publik menutup semua ini?”   “Saya tahu kok. Makanya saya mencemaskan kamu.”   “Terima kasih atas kekhawatiran kamu. Yuk kita kembali saja. Saya ingin sekali menghabiskan malam ini dengan seorang teman. Saya takut tidak ada orang di apartemen saya malam ini. Saya benar-benar sangat ketakutan sekali.”   “Tidak perlu takut lagi. Ada saya yang menemani kamu. Saya rasa kamu akan tertawa puas saat melihat saya tidur sambil membuka mulut.”   “Hahaha.” Aurora tertawa sambil membayangkannya.   “Kalau gitu kamarnya jangan dikunci biar saya bisa kasih garam.”   “Hahaha, kamu bisa saja, nanti saya keasinan.”   “Tidak apa-apa. Nanti saya akan memotretnya dan memasukannya ke dalam sosial media.”   “Yah jangan dong. Mana kunci mobilnya? Biar saya yang menyetir. Tapi habiskan dulu susunya.”   Aurora tersenyum lalu ia mengangguk dan meminum susunya hingga tak tersisa. Aurora meletakan gelasnya sambil mengusap perut ratanya.   “Kenyang juga.”   Rena tersenyum lalu mereka berdua keluar dari apartemen dan menuju parkiran mobil.   “Ren, kalau saya tidur kamu bangunkan saja ya. Nanti malam temani saya minum. Sudah lama sekali saya tidak minum.”   “Hmmm, baiklah. Sudah lama juga saya tidak minum. Untung besok libur, kalau masuk kantor bisa kesiangan sampai kantor.”   Aurora tertawa lalu ia memejamkan kedua matanya saat sudah berada di dalam mobil. Dan Rena dengan hati-hati membawa mobil milik bosnya itu.   Bersambung  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN