Di depan gerbang sekolah Caca tengah menunggu Fandi sembari memainkkan ponselnya. Mereka akan berangkat mencari sponsor untuk acara sekolah.
Reyhan: Udah pulang?
Reyhan: Naik taksi, kan?
Dua pesan dari Reyhan baru saja masuk. Namun, Caca memilih mengabaikannya. Dalam hati, cewek itu bersyukur karena hari ini Reyhan tak bisa mengantarnya pulang sehingga dia bisa merasa bebas.
“Ca? Caca?” tegur Fandi.
“Ha? Iya?” ucap Caca terkejut.
Caca memasukkan ponselnya, kemudian memakai helm dan naik motor Fandi.
“Mikirin apa, sih, Ca?” tanya Fandi heran.
“Bukan apa-apa, Fan,” jawab Caca.
“Beneran?” tanya Fandi.
“Iya. Udah mending kita berangkat sekarang. Nanti keburu sore,” kata Caca. Fandi mengangguk, lalu ia pun melajukan motornya.
“Ca, laper, nggak?” tanya Fandi seraya fokus menyetir.
“Kenapa? Lo mau beliin gue makanan?” tanya Caca.
Fandi tersenyum di balik kaca helmnya. Tak berselang lama, cowok itu menghentikan motornya di depan sebuah warung mi ayam di pinggir jalan, warung yang biasanya menjadi tempat makan favoritnya bersama Caca.
“Isi baterai dulu, yuk!” seru Fandi.
“Lo yang bayar, ya,” ucap Caca memastikan.
“Iya, iya. Biasanya juga gue yang bayar,” jawab Fandi.
Mereka memasuki warung dan memesan menu mi ayam kesukaan mereka. Setelah pesanan datang, Caca dan Fandi pun langsung melahap mi masing-masing.
“Ca?” panggil Fandi di sela-sela aktivitas makannya.
Caca menatap Fandi sekilas. “Kenapa, Fan?” tanya Caca.
“Lo jadian, ya, sama Reyhan?” tanya Fandi. Caca langsung tersedak setelah mendengar pertanyaan Fandi. Fandi pun menyodorkan minuman kepada Caca.
“Pelan-pelan makannya, Ca,” kata Fandi.
“Lagian lo juga, sih, nanyanya nggak nyantai banget,” jawab Caca. Cewek itu meminum es tehnya hingga sisa setengah gelas.
Fandi meletakkan sendok dan garpunya. Ia meminum es tehnya untuk memudarkan rasa mi ayam yang masih tertinggal di dalam mulut. Setelah itu, atensinya kembali tertuju pada Caca yang kini tampak menatap layar ponsel dengan pandangan gusar.
“Ca, gue boleh ngomong?” tanya Fandi dengan nada serius.
“Ngomong aja, Fan. Biasanya juga lo kalau mau ngomong nggak perlu minta izin dulu sama gue,” jawab Caca tanpa menatap Fandi.
Sadar tak diperhatikan, Fandi mengetuk pelan meja mereka. Lalu, Caca langsung mengalihkan atensinya pada Fandi.
“Ca, gue ngomong gini sebagai ketua OSIS sekaligus rekan satu tim lo yang selama ini selalu ngabisin waktu sama lo.”
“Maksud lo apa, Fan?” tanya Caca.
“Kalo emang lo nggak pacaran sama Reyhan, sebaiknya lo jauhin dia. Karena kedekatan kalian udah menimbulkan rumor nggak baik tentang lo dan OSIS,” jelas Fandi dengan nada tenang.
“Sori, Fan ... gue bener-bener nggak mikir sampai situ,” gumam Caca, merasa bersalah.
Ponsel Caca kembali berdenting, menampilkan pesan masuk dari Reyhan.
Reyhan: Lo pulang sama Fandi?
Caca menunjukkan pesan tersebut pada Fandi. “Lo lihat? Dia bener-bener keras kepala dan nggak bisa diajak kompromi. Dia tukang paksa, Fan,” kata Caca diiringi mimik wajah frustrasi.
Akhirnya, Fandi pun paham bahwa temannya itu memang sedang berada dalam posisi sulit. Fandi mengangguk, lalu berdiri dan membayar mi ayamnya.
“Yuk! Masalah ini kita bicarain lagi besok,” kata Fandi.
Caca mengangguk, lalu mengikuti Fandi keluar warung. Cewek itu mulai memakai helmnya, sementara Fandi sudah berada di atas motor.
“Fan, i-itu Reyhan bukan, sih?” tanya Caca dengan suara bergetar.
Belum sempat Fandi menjawab pertanyaan Caca, tiba-tiba sebuah motor sport berhenti di depan mereka. Pemilik motor itu turun dan melepas helmnya. Dengan langkah cepat, ia berjalan menghampiri Fandi.
“b*****t!” teriak Reyhan. Reyhan mengibaskan tangannya setelah berhasil meninju wajah Fandi hingga jatuh tersungkur bersama motornya. Setelah itu, ia beralih menarik Caca dan melepas helm yang ada di kepala Caca. Cowok sosiopat itu membuang helm tersebut dengan mudahnya.
“Ikut gue!” titah Reyhan.
“Lo nggak bisa bawa Caca gitu aja!” seru Fandi seraya berdiri dan menahan tangan Caca.
“Gue nggak mau ikut lo!” seru Caca marah.
“Ikut gue, Ca!” geram Reyhan.
Fandi menarik Caca agar berdiri di belakangnya. “Gue masih ada urusan sama Caca. Bisa nggak, sih, lo pengertian sedikit?” ucap Fandi setenang mungkin.
“Urusan apa? Hah? Bilang aja lo mau racunin otak Caca!” seru Reyhan penuh marah.
“Racunin otak Caca? Maksud lo apa?” tanya Fandi.
“Lo pikir gue nggak tahu? Lo nyuruh Caca buat jauhin gue, kan? Dasar picik!” ucap Reyhan marah.
Tiba-tiba, Fandi maju dan menarik kerah seragam Reyhan.
“Picik? Lo yang picik? Lo yang bukan siapa-siapa dan tiba-tiba datang buat rusak hidup Caca. Lo bikin reputasi Caca jadi jelek di mata orang-orang,” geram Fandi.
“Fandi, Reyhan, udah. Jangan ribut di sini!” seru Caca, berusaha melerai dua cowok itu.
“Kenapa diam? Baru sadar kalo lo itu picik?” kata Fandi dengan nada sinis.
Reyhan menyunggingkan senyum setannya, lalu tanpa aba-aba mendorong tubuh Fandi hingga kembali tersungkur ke atas aspal.
“Reyhan!” pekik Caca.
Reyhan menulikan telinganya. Ia tak mau mendengarkan teriakan Caca. Cowok yang bersurai hitam pekat itu terus mendaratkan tinjunya di wajah Fandi.
“Reyhan, stop!” seru Caca.
Reyhan tak menggubris perkataan Caca. Ia terus memukuli Fandi sampai Fandi babak belur.
“Reyhan, stop!” teriak Caca seraya menahan tangan Reyhan yang sudah bersiap kembali melayangkan tinjunya.
“Please, gue mohon ...,” ucap Caca lirih. Air matanya menetes tanpa aba-aba.
Cowok itu menatap Caca dengan sorot dinginnya.
“Gue akan ikut lo. Tapi, tolong jangan pukulin Fandi lagi,” ungkap Caca dengan suara bergetar.
Reyhan berdiri, lalu beralih menggenggam tangan Caca dan berjalan menjauh dari Fandi yang masih telentang di atas aspal dengan wajah babak belurnya. Ia memakaikan helm yang ia bawa pada kepala Caca.
“Naik!” titah Reyhan.
“Sori, Fan,” gumam Caca, kemudian menaiki motor Reyhan dan meninggalkan Fandi seorang diri.
Motor sport Reyhan melaju dengan kecepatan tinggi. Tak lama motor itu berhenti di depan sebuah taman yang cukup sepi.
Reyhan turun dari motor dan melepas helmnya begitu pula Caca. Selama beberapa saat mereka hanya berdiri diam dengan posisi Reyhan yang membelakangi Caca. Tangan cowok itu terlihat terkepal dan bahunya naik turun. Sepertinya, Reyhan sedang berusaha keras menekan marahnya.
Setelah sepuluh menit berlalu, Reyhan berbalik lalu menghampiri Caca yang menatap takut ke arahnya. Ia memeluk Caca dengan gerakan lembut.
“Maaf, ya, Ca,” ucap Reyhan. Tangan kanannya meraih ponsel Caca yang ada di saku almamater, lalu meretasnya tanpa sepengetahuan Caca.
“Jangan gitu lagi, Rey ...,” ucap Caca lirih.