Pergi

1094 Kata
“Malam ini lo harus mati di tangan gue!” geram Reyhan. Sekali lagi, Reyhan menghunjamkan tinjunya pada wajah sang korban yang sudah babak belur itu; bibir robek, mata bengkak, pelipis berdarah, dan tulang lengan yang patah. “Ampun, Rey!” teriak si korban. Reyhan berjongkok di depan si cowok yang kini terlihat sudah tak berdaya. “Sekarang lo minta ampun. Lo pikir gue bakal kasih ampun setelah lo bunuh Riyan?” geram Reyhan. “Gue minta maaf, Rey. Gue nggak tahu kalau anak-anak Triton bakal senekat itu.” Bibir Reyhan mengulas senyum remeh. Matanya menatap nyalang pada sosok yang masih punya nyali untuk memohon ampun setelah membuat sahabatnya terbunuh itu. Reyhan berdiri. Ibu jarinya terangkat guna mengusap ujung bibirnya. “Lo minta ampun sama gue?” tanya Reyhan. Cowok itu mengangguk lemah. “Ampun, Rey. Gue minta maaf. Gue janji gue nggak bakal khianatin lo sama anak-anak Archer lagi. Kalau perlu ... kalau perlu gue bakal jadi mata-mata di Triton biar lo bisa bales mereka.” “Lo mau jadi mata-mata? Mati aja lo! Gio b*****t!” teriak Reyhan seraya menendang perut cowok bernama Gio itu. Kaki Reyhan terus menendangi tubuh Gio yang sudah terkulai lemah. Kemarahannya semakin meletup-letup saat melihat Gio masih mampu membuka mata meski sudah ia hajar hingga babak belur dan hampir mati. “Reyhan, stop! Lo mau bunuh dia?” teriak cowok dengan nama Raffa pada name tag seragamnya. Entah dari mana Raffa tahu tentang keberadaan Reyhan, yang pasti sekarang cowok itu sudah berlari menghampiri Reyhan dan menjauhkannya dari Gio. “Lo gila? Lo bisa bikin dia mati, Rey!” tegur Raffa. “Minggir! Emang itu tujuan gue, b*****t!” teriak Reyhan seraya berusaha melepaskan diri dari cekalan Raffa. “Rey, sadar! Lo nggak boleh kayak gini. Riyan udah mati! Berapa kali pun lo hajar si b*****t itu tetap aja nggak akan bisa bikin Riyan hidup lagi,” ungkap Raffa. Reyhan terdiam, tetapi matanya masih menatap Gio dengan sorot penuh marah dan kebencian. “Rey, jangan jadi orang yang bodoh. Lo bisa bales dia dengan cara apa pun tanpa harus ngotorin tangan lo sendiri,” ungkap Raffa. Setelah mendengar perkataan Raffa, cowok itu langsung melepaskan diri. Ia kembali menghampiri Gio yang sudah terkapar di atas tanah becek di dalam g**g. Reyhan berjongkok di depan Gio. Cowok itu meludahi wajah Gio yang sudah penuh dengan darah. “Lo ... nggak akan bisa lepas dari gue! Inget itu baik-baik, b*****t!” geram Reyhan. Setelah itu, Reyhan berdiri dan meraih kaki kiri Gio. Tanpa pikir panjang, cowok itu menyeret tubuh lemah Gio menyusuri g**g sempit tersebut. “Rey, lo mau bawa dia ke mana?” tanya Raffa khawatir. “Pinggir jalan. Biar ada orang g****k yang mau nolongin, nih, setan b*****t,” ungkap Reyhan. “Tapi, nggak gitu juga, Rey. Kasihan anak orang,” ucap Raffa. Reyhan menghentikan langkahnya dan berbalik seraya menatap bengis pada Raffa yang berdiri di belakangnya. “Ck! Lo bisa diem, nggak? Masih untung, nih, anak nggak gue habisin,” gerutu Reyhan. “O-oke. Sori, Rey,” ucap Raffa takut. Kemudian, Reyhan kembali berjalan sembari menyeret tubuh Gio untuk keluar dari g**g. Kini, mereka sudah berada di pinggir jalan raya. Reyhan melepaskan cekalannya pada kaki Gio. Ia memberi isyarat agar Raffa mendekat dan tanpa protes sama sekali Raffa pun mendekat. Ternyata, Reyhan menyuruh Raffa mendekat hanya untuk menjadikan baju Raffa sebagai kain lap untuk tangannya. “Yah, Rey! Lo tega banget, sih,” gerutu Raffa. Namun, sama seperti sebelumnya, cowok itu langsung menutup rapat mulutnya saat Reyhan menatap dengan tajam. Setelah selesai membersihkan tangannya menggunakan baju Raffa, Reyhan pun kembali berjalan meninggalkan Gio yang terkulai lemah juga Raffa yang masih berdiri mematung. Sadar Raffa tak mengikuti dirinya, Reyhan pun berhenti. Ia berbalik untuk melihat Raffa. “Motor lo di mana?” tanya Reyhan. Raffa mengerjapkan matanya. “Hah? Mo-motor? Oh, iya, motor! Di sana!” seru Raffa. Raffa berjalan menyusul Reyhan. Sesekali, cowok itu menoleh ke belakang untuk melihat Gio yang mereka tinggalkan. Akhirnya, mereka sampai di sebuah emperan toko yang telah tutup. Di sanalah Raffa memarkirkan motornya. “Mana kuncinya?” tanya Reyhan. “Rey, gue aja, deh, yang nyetir. Lo, kan, habis—” “Ck! Buruan!” potong Reyhan. Raffa menyerahkan kunci motor sportnya dan Reyhan langsung mengambil kunci motor tersebut. Reyhan menstarter motor, lalu menaikinya diikuti oleh Raffa. “Rey, pelan-pelan aja, ya. Gue takut,” bujuk Raffa. Pada saat sedang kalut, Reyhan pasti akan mengendarai motor dengan sesuka hatinya, seolah di jalan raya hanya ada dirinya seorang. “Berisik!” gerutu Reyhan. Tentu saja dugaan Raffa benar. Kini, mereka sudah berada di jalan raya dengan kecepatan tinggi. Semoga saja setelah ini Raffa masih bisa melihat dunia ini. Kira-kira itulah isi hati Raffa ketika dibonceng Reyhan. *** “Jawab saya, Reyhan!” titah Pak Hamka, Kepala Sekolah SMA Nusa Bangsa. Reyhan sudah duduk di depan Pak Hamka. Ia dipanggil untuk menghadap pria paruh baya itu tepat saat kakinya berpijak di dalam kelas. “Jawab apa, sih, Pak?” tanya Reyhan dengan santai. Pak Hamka memijat pelipisnya, lalu kembali berkata, “Gio masuk rumah sakit. Semalam dia ditemukan pingsan di pinggir jalan dalam keadaan babak belur. Kamu yang memukuli Gio, kan?” Pak Hamka bertanya seperti itu bukan tanpa alasan. Karena sehari sebelumnya, cowok itu mengamuk di acara pemakaman Riyan dan berteriak mencari Gio. “Iya. Emang kenapa, Pak?” Reyhan balas bertanya seraya menyilangkan kedua kakinya. “Reyhan, kamu sadar, nggak, sih? Apa yang kamu lakukan itu sudah termasuk tindakan kriminal,” ungkap Pak Hamka. “Terus kenapa? Yang penting Gio masih hidup, kan, sekarang?” balas Reyhan. Cowok itu tak tampak takut atau merasa bersalah meski sudah ketahuan menghajar Gio hingga babak belur dan masuk rumah sakit. “Reyhan, sekarang juga Bapak mau kamu minta maaf sama Gio dan orang tuanya. Itu adalah satu-satunya cara supaya kamu bisa tetap sekolah di sini,” jelas Pak Hamka. “Kalau saya nggak mau?” tanya Reyhan diiringi mimik wajah yang menantang. “Bapak akan memberitahukan masalah ini pada papa kamu,” jawab Pak Hamka. “Silakan! Saya nggak peduli, Pak. Kalau perlu sekalian aja Bapak keluarin saya dari sekolah ini,” ungkap Reyhan seraya tersenyum remeh. Reyhan berdiri, lalu berjalan menuju pintu ruangan Pak Hamka. “Reyhan!” bentak Pak Hamka. Reyhan berbalik seraya menatap Pak Hamka dengan sorot tajamnya. “Mulai hari ini kamu bukan lagi siswa SMA Nusa Bangsa!” seru Pak Hamka. Reyhan tetap tak peduli. Ia justru keluar dan meninggalkan sang kepala sekolah sekaligus meninggalkan SMA Nusa Bangsa. “Gue nggak akan pernah sudi ke sekolah ini lagi!” geram Reyhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN