Reyhan sang Sosiopat

1218 Kata
Reyhan membuka pintu rumahnya. Ia masuk dan bergegas ke lantai 2 untuk ke kamarnya. “Reyhan?” tegur Eva, mama Reyhan. Cowok itu berbalik dan menatap Eva. “Kenapa, Ma?” tanya Reyhan. “Nggak apa-apa. Tumben udah pulang. Nggak ngumpul dulu sama temen-temenmu?” tanya Eva. “Nggak. Reyhan ke atas dulu, Ma,” jawab Reyhan dengan nada bicara datar seperti biasanya. “Oke. Nanti turun lagi, ya. Kita makan malam bareng, soalnya Papa juga bentar lagi pulang,” ucap Eva. Reyhan bergumam seraya melanjutkan langkah menaiki tangga. Eva menatap punggung Reyhan dengan sorot sendu. Wanita itu merasa semakin hari sang putra semakin dingin, apalagi sejak kematian Riyan, sikap dingin Reyhan semakin menjadi. “Assalamualaikum, Ma!” seru Juan. “Waalaikumussalam, Pa,” jawab Eva seraya menghampiri Juan dan mencium punggung tangan pria itu. “Reyhan udah pulang, Ma?” tanya Juan. “Udah, Pa. Baru aja pulang,” jawab Eva. Juan mengangguk paham. Ia pun beranjak ke kamar untuk membersihkan diri sementara Eva bergegas ke atas untuk memanggil Reyhan agar turun untuk makan malam bersama. Eva mengetuk pintu kamar Reyhan. Tak berselang lama, pintu pun dibuka. “Kenapa, Ma?” tanya Reyhan. “Turun, yuk! Kita makan malam. Papa baru aja pulang,” ucap Eva. “Oke,” gumam Reyhan seraya keluar dan menutup pintu kamar. “Duduk, Rey. Biar Mama ambilin makanannya,” ucap Eva. “Iya, Ma,” jawab Reyhan singkat. “Eh, anak Papa udah pulang. Gimana sekolah barunya?” tanya Juan seraya duduk di kursi dan mengambil piringnya. Reyhan tersenyum sekilas, lalu menjawab pertanyaan Juan. “Baik, Pa.” “Udah punya banyak teman belum di sana?” lanjut Juan. “Papa gimana, sih? Reyhan, kan, temennya emang banyak,” sahut Eva. “Iya juga, Ma,” kata Juan. Eva menggeleng pelan, lalu menyerahkan piring Reyhan dan Juan yang telah terisi nasi dan lauk-pauknya. Setelah itu, Eva duduk dan mengisi piringnya sendiri. Mereka pun mulai makan malam bersama. “Rey!” tegur Juan. “Kenapa, Pa?” tanya Reyhan tanpa menatap Juan. “Weekend kamu ada acara?” tanya Juan. Reyhan menghentikan kegiatan makannya sejenak. Ia tampak seperti sedang berpikir. Tak berselang lama, ia pun kembali menyuapkan makanan. “Kenapa, Pa?” tanya Reyhan. “Kamu mau, nggak, jenguk mamamu?” tanya Juan hati-hati. Reyhan bukanlah anak kandung Eva dan Juan. Cowok itu merupakan putra dari Linda, sahabat Eva. Saat ini Linda sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Linda sudah berada di sana sejak Reyhan masih kelas 2 SMP. Sejak saat itu pula, Eva dan Juan memutuskan untuk mengadopsi Reyhan. “Rey?” tegur Eva seraya menepuk bahu Reyhan yang ada di sampingnya. “Aku ada acara sama temen-temen,” jawab Reyhan. Setelah itu, Reyhan pun menyudahi makan malamnya. Cowok itu berdiri, lalu meninggalkan ruang makan. Eva dan Juan kompak menghela napas pasrah ketika menyaksikan sikap Reyhan yang masih sama; dingin dan selalu menghindar setiap kali mereka membahas Linda. Mereka sangat paham akan apa yang Reyhan rasakan setiap kali mereka menyebut nama Linda atau Adam—papa Reyhan. Reyhan benci pada kedua orang tuanya, itulah kenyataan yang Eva dan Juan harus terima. “Pa, jangan paksa Reyhan untuk ketemu sama Mbak Linda,” ucap Eva. “Tapi, Ma, Mbak Linda pengin ketemu Reyhan. Kemarin, dia nelepon aku dan kelihatannya kondisi Mbak Linda juga udah membaik,” jawab Juan. “Tetap aja, Pa. Papa nggak lupa, kan, apa yang menimpa Reyhan karena Mbak Linda dan Mas Adam?” tanya Eva. Bagaimanapun juga Eva tak bisa menampik kenyataan bahwa perubahan sikap yang terjadi pada Reyhan disebabkan oleh Linda dan Adam. Dahulu, saat seharusnya anak seusia Reyhan asyik bermain dengan teman-temannya, Reyhan justru harus selalu menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya. Bahkan, Reyhan pernah memergoki Adam bersama selingkuhannya. Sejak saat itu, Reyhan yang ceria berubah menjadi pribadi yang dingin, apalagi setelah Adam memutuskan untuk meninggalkan Linda dan menyebabkan wanita itu mengalami gangguan jiwa. Setelah kejadian itu, Reyhan divonis mengidap gangguan mental sosiopat yang membuatnya menjadi pribadi yang dingin, cuek, tak memikirkan perasaan orang lain, dan bahkan bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Dahulu, saat awal-awal gejala itu muncul, Eva pernah membawa Reyhan pada psikiater. Namun, akhirnya Reyhan malah membuat sang psikiater menyerah untuk mencoba mengobatinya. Kini, yang bisa Eva lakukan hanyalah mencoba memahami perasaan Reyhan dan memberinya ruang untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan. Namun, setelah kematian Riyan, Reyhan malah semakin menenggelamkan diri. “Jangan terlalu dipikirkan, Ma. Papa yakin Reyhan pasti akan kembali jadi Reyhan yang kita kenal,” ucap Juan meyakinkan Eva. *** “Pagi, Ca!” sapa Reyhan dengan suara datarnya. Caca terlihat terkejut saat melihat Reyhan sudah di depan rumahnya, tetapi detik berikutnya cewek itu mencoba bersikap biasa saja. “Lo ngapain di sini?” tanya Caca. “Jemput lo. Ngapain lagi? Nih!” jawab Reyhan seraya menyodorkan helm di tangannya pada Caca. Caca menerima helm tersebut tanpa protes. Setelah itu, ia memakai helmnya dan menaiki motor Reyhan. “Tumben nurut,” kata Reyhan, sedikit heran dengan sikap Caca mengingat apa yang kemarin terjadi di antara mereka. “Gue nggak mau kesiangan ke sekolahnya,” jawab Caca. Reyhan tersenyum simpul, lalu mengendarai motornya, meninggalkan kompleks perumahan Caca. Jika biasanya Reyhan mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, kali ini berbeda, Reyhan mengendarai motornya dengan kecepatan sedang karena di belakang ada Caca yang duduk manis. Namun, tiba-tiba ada dua motor ninja yang melaju di sisi kanan dan kiri Reyhan. “Woi! Berhenti lo!” teriak si cowok. “s**t!” maki Reyhan, kemudian melajukan motornya dengan cepat. “Reyhan, pelan-pelan!” teriak Caca. “Pegangan, Ca!” seru Reyhan. “Reyhan, jangan aneh-aneh, deh! Gue nggak mau mati muda!” balas Caca seraya berpegangan pada tas Reyhan. “Woi! Berhenti lo! Kita masih ada urusan, ya! Berhenti, nggak, lo!” Dua cowok itu terus mengejar Reyhan dan Caca sembari berteriak di jalan raya hingga membuat beberapa pengendara tampak terganggu dengan mereka, sementara Reyhan masih terus menambah laju kecepatan motornya, membuat Caca memejamkan mata, takut. Tiba-tiba, Reyhan menghentikan motor secara mendadak hingga menimbulkan bunyi decit rem yang cukup nyaring. Caca membuka mata dan akhirnya tahu penyebab Reyhan menghentikan motornya secara mendadak. Ternyata, di depan mereka ada seorang nenek-nenek yang tengah menyeberang. “Tuh, kan! Hampir aja! Makanya kalau—” “Mau ke mana lo? Mau lari lagi?” Ucapan Caca terpotong oleh kedatangan dua cowok yang kini menghadang dirinya dan Reyhan. “Turun lo!” titah salah satunya. Reyhan berdecak. “Rey, udahlah. Nggak usah diladenin,” kata Caca. “Lo diem di sini! Jangan ke mana-mana!” titah Reyhan. Reyhan turun dari motor dan melepas helmnya. Sudut bibir Reyhan terangkat dan menampakkan senyum remehnya saat tahu dua cowok itu adalah Dion dan Vigo, anggota geng Triton. “Bebasin bos kita!” seru Dion. “Lo harus bebasin bos kita kalau lo masih mau hidup!” ancam Vigo. “Woi!” teriak Vigo pada Reyhan yang tak menggubris ancamannya dan hanya mengulas senyum remeh. Tiba-tiba, Reyhan meraih helmnya, lalu berjalan menghampiri Dion dan Vigo dengan langkah santai. “Lo mau gue bebasin Ado?” tanya Reyhan dengan suara datarnya. “Iya! Lo harus bebasin Bos Ado. Dia masuk penjara gara-gara ulah lo,” jawab Dion. Ado ditahan oleh polisi sebab Reyhan yang melaporkan cowok itu atas tindakan pembunuhan terhadap Riyan. “Lo ... mau gue bebasin Ado?” “Reyhan!” teriak Caca.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN