Chapter 15

1238 Kata
Wina duduk di sofa ruangan Kevan. Lelaki itu sedang membaca jurnal dan tetap fokus pada kegiatannya. “Tadi Mira ke rumah sakit.” Tidak ada yang pernah bisa mendistraksi fokus Kevan kecuali panggilan darurat, obrolan mengenai keluarga, dan informasi apapun itu tentang Ananta Mira. Ia langsung melepas kacamatanya dan berpindah tempat menuju sofa. “Kemari?” tanya Kevan penuh semangat. Wina menghela napasnya. “Sebenarnya aku ingin langsung menghampiri Ananta dan menamparnya. Tapi sayang dia sedang mengoperasi sekarang.” Kening Kevan mengernyit. “Apa yang terjadi?” Wina yang awalnya menyandarkan tubuh sepenuhnya ke sofa pun kini menegakkan tubuhnya. Mengambil minuman kemasan gelas dari meja dan meminumnya. “Asli aku benar-benar ingin mencakar Ananta sekarang,” ucap Wina. Kevan memegang tangan Wina. Merasa sangat penasaran. “Astaga. Cepat bilang apa yang terjadi?!” Wina tersedak karena Kevan terlalu agresif menuntut penjelasan. Ia berhenti minum dan kemudian menarik tangannya agar lepas dari pegangan Kevan. Kebetulan sekali suasana sedang sepi jadi mereka bisa berbincang tentang ini sepuasnya. “Aku tadi sempat berbincang dengannya. Mira datang kesini untuk membawakan Ananta makan siang Dan tahu apa alasannya?” tanya Wina. Jika ekspresi istrinya itu sudah menggebu-gebu seperti ini, tandanya sesuatu yang sangat seru telah terjadi. “Apa?” Wina meletakkan minuman kemasan gelas itu di atas meja. Tidak cukup menimbulkan bunyi untuk mewakili kemarahan dalam dirinya. Tapi cipratan airnya cukup membuat meja itu sedikit basah. “Karena dia khawatir Ananta tidak menjaga kesehatan. Mira khawatir kalau Ananta masih merasa bersalah sedih karena pasiennya meninggal seminggu yang lalu. Dia tidak bertemu Ananta seminggu ini. Dan sahabatmu yang bodoh itu bisa-bisanya tidak bilang kalau dia pergi ke Semarang untuk simposium, bersama Sarah.” “What the…” Kevan kehabisan kata-kata. Soal Ananta pergi ke Semarang itu, ia mendengar informasinya saja. Bukan Ananta yang mengatakan sendiri. “Terus kamu bilang apa ke Mira?” tanya Kevan penasaran. “Ya apa? Pura-pura nggak tahu lah. Aku nggak mau Mira tahu dari orang lain. Biar Ananta yang bilang sendiri meski harus aku cakar dulu dia.” Kevan pun menghela napasnya. “Ananta bilang ini pernikahannya itu hanya kontrak dan dia minta kita tidak ikut campur. Hei! Kalau dia memang suka sama Sarah kenapa nggak ceraikan Mira saja sih. Lagi pula kenapa Ananta harus jadi tidak bermoral begitu. Tidak ada yang berani menegurnya karena rumah sakit ini milik keluarga Syailendra. Tapi sungguh aku mulai tidak terima melihatnya semakin tidak tahu diri begitu,” geram Wina. *** Keberadaan Kevan dan Wina di ruangannya dengan tatapan tajam begitu sudah cukup membuat Ananta merasakan hawa tidak menyenangkan. “Ada apa?” tanya Ananta terus terang. Ia sedang tergesa saat ini agar bisa segera pulang. Operasi berjalan lebih lama dari perkiraan dan Ananta punya janji yang harus ditepati. Ia harus pulang untuk bertemu Mira di rumah. “Kami ingin bicara untuk memastikan otakmu tetap waras,” ucap Kevan. “Aku tidak ada waktu,” sahut Ananta. Kevan langsung bangkit dan menyilangkan tangannya di depan d**a. “Hei, Dude. Kami tidak seharusnya ikut campur tapi kami tidak bisa diam saja melihatmu salah jalan.” Kening Ananta mengernyit. “Kalian ini kenapa?” tanya Ananta bingung. Wina juga kini ikut berdiri. “Kamu yang kenapa, Ananta?! Bisa-bisanya pergi ke Semarang bareng Sarah tanpa kasih tahu Mira.” “Kami sudah diam selama ini. Dan sebagai sahabat-” Ananta langsung memotong ucapan Kevan. Ia masih fokus pada kalimat yang Wina katakan tadi. “Wait. Mira?” tanya Ananta. “Iya. Tadi aku ketemu Mira.” “Dia tahu soal ke Semarang?” tanya Ananta terlihat panik. “Kenapa? Takut ketahuan selingkuh?” desak Wina kesal. Ananta berdecak. “Apa saja yang kamu bilang ke Mira, Win?” tanya Ananta dengan nada meninggi. “Jangan teriak ke Wina!” pekik Kevan kesal. Ananta menghela napasnya. Ia menatap Wina dan Kevan seraya bergantian. Dua sahabatnya itu kini mulai ikut campur terlalu jauh. “Baiklah. Karena Wina mulai dekat dengan Mira sekarang. Aku akan beritahu kalian semuanya. Karena aku akan butuh bantuan kalian,” ucap Ananta. Kevan dan Wina pun saling menatap. “Pertama-tama katakana padaku dulu apa saja yang kamu bicarakan dengan Mira?” tanya Ananta. Kevan langsung menginterupsi. “Wait. Apa yang sebenarnya kamu rahasiakan?” Ananta pun menatap sahabatnya itu. Ia kemudian terkekeh. “Kalian ternyata tidak benar-benar mengenalku selama ini ya,” sindir Ananta. “Sialan. Cepat jelaskan!” pinta Wina kesal. Ananta kemudian memberi kode kepada Wina dan Kevan agar mendekat. Supaya perbincangan ini hanya mereka bertiga yang mendengar. Kevan dan Wina pun kemudian merangkul pundak Ananta. Mereka membentuk lingkaran dimana hanya telinga mereka saja yang mendengar bisikan itu. “Kalian pikir aku benar-benar selingkuh dengan Sarah? I mean, kalian berpikir aku suka dengan Sarah?” bisik Ananta. *** Ananta menghela napasnya saat melihat panggilan masuk dari Andika. Kakak sulungnya itu sepertinya tidak akan berhenti. Ananta terpaksa mengangkat teleponnya kali ini. “Apa?” tanya Ananta ketus. Perjalanan menuju rumah terasa begitu lama ditambah dirinya masih cukup lelah jadi emosinya sedang berantakan. Ditambah telepon dari Andika. Emosinya jadi tersulut. “Sahamnya. Kapan akan kau serahkan?” Ananta kemudian terkekeh. Ia menatap sang supir yang sudah mengusahakan agar mobil bisa lebih cepat membawanya sampai ke rumah. “Bukannya sudah aku bilang, Kak?” tanya Ananta. “Kau masih tetap tidak mau menyerahkannya?” “Semuanya akan tetap seperti pembagian dari mama dan papa.” Ananta kemudian mematikan sambungan telepon. “Tamak,” gumam Ananta kesal. *** “Terima kasih, Pak.” Ananta langsung bergegas memasuki rumah setelah mengucapkan terima kasih kepada supirnya. Jam makan malam jelas sudah lewat tapi asisten rumah tangganya mengatakan bahwa Mira masih menunggu dengan santai di meja makan. Begitu Ananta memasuki ruang makan, ia bisa melihat Mira duduk menunggu sambil menatap tabletnya. “Maaf aku terlambat,” ucap Ananta dengan napas terengah. Aku harus memberi penjelasan pada dua sahabat yang salah menilaiku itu Mira mendongak dan kemudian memberikan senyuman. “Tidak apa-apa.” “Aku akan mandi dengan cepat,” ucap Ananta. Mira tidak suka aroma tubuhnya setiap kembali dari rumah sakit. Sedangkan Mira sudah menunggu cukup lama di meja makan. “Santai saja, Ananta. Tidak perlu terburu-buru. Tenangkan saja dulu napasmu.” Mira tersenyum kemudian kembali fokus menatap tabletnya. “Baiklah. Tunggu sebentar aku mandi dulu.” Mira mendongakkan kepala dan menatap Ananta yang telah berlalu. Ia lanjut mencari informasi mengenai akun sosial media Sarah. Berada di rumah sakit tadi benar-benar memberinya banyak informasi baru. Setidaknya Mira bisa tahu kalau Ananta sempat pergi ke Semarang bersama Sarah. Mira kemudian menghela napasnya saat mengingat pembicaraan perawat tadi. Rasanya menyakitkan juga mendengar Ananta seperti itu. Mira merasa dikhianati meski dari awal ia sudah berasumsi bahwa Ananta berselingkuh dengan Sarah. Akan tetapi tetap saja rasanya menyakitkan jika itu benar. Bahkan meski Mira tidak ada perasaan apapun untuk lelaki itu. ‘Kamu bilang ingin mempertahankan pernikahan ini, Ananta. Tapi kenapa kamu membiarkan Sarah hadir di tengah-tengah pernikahan ini.’ Rasanya kebencian Mira semakin menjadi kepada lelaki itu. Mulai dari rencana jahatnya menghancurkan semua milik Mira. Hingga berselingkuh. Ananta benar-benar b******k. Bahkan lebih buruk dari Danu yang ‘membuang’ Mira begitu saja. Tidak lama kemudian Ananta sudah kembali ke meja makan. Lelaki itu tetap saja tergesa. “Ayo makan,” ajak Ananta. Mira menganggukkan kepalanya. Ia mengambilkan piring untuk Ananta. “Aku berniat datang lebih sering ke rumah sakit,” ucap Mira. “Kenapa?” Mira memberikan senyumannya. Agar semakin cepat menemukan cara menghancurkanmu "Aku ingin agar kita bisa lebih cepat dekat," ucap Mira kemudian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN