Makan malam itu telah berakhir. Hanya ada perbincangan ringan. Tentang Ananta yang menanyakan kegiatan Mira selama satu minggu terakhir. Ananta kemudian diam untuk mempertimbangkan segala sesuatunya. Ucapan Budiman membuat Ananta berniat untuk memberitahu semuanya kepada Mira.
“Besok shift pagi atau bagaimana?” tanya Mira.
Pertanyaan yang berhasil menghentikan lamunan Ananta.
Ananta kemudian tersenyum.
“Besok jam sepuluh aku sudah harus ada di rumah sakit,” sahut Ananta.
Mira mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan mengambil tablet.
“Kalau begitu istirahatlah sekarang. Selamat malam, Ananta.”
Perempuan itu sudah berlalu namun Ananta masih merasa bimbang. Ia kemudian langsung bangkit berdiri dan memanggil istrinya.
“Mira. Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Langkah Mira terhenti. Perempuan itu membalikkan tubuhnya dan kemudian menatap Ananta.
“Bisa tolong ikut ke ruang kerjaku?” pinta Ananta.
Mira jadi penasaran. Ditatapnya Ananta yang menunjukkan ekspresi serius. Ia kemudian mengangguk.
Mereka lantas menuju ruang kerja Ananta. Tempat yang jarang Mira masuki. Ia tidak punya kepentingan untuk masuk kesini. Bahkan saat berusaha mencari tahu kelemahan Ananta, Mira tidak berniat mencarinya di ruangan ini. Karena Mira pikir itu pasti bukan hal yang akan Ananta letakkan di tempat mudah diakses seperti ruangan ini. Bagi Mira satu-satunya jawaban adalah di rumah sakit tempat lelaki itu bekerja.
Ananta langsung meletakkan kursi di depan meja kerjanya. Ruang kerja yang Mira tahu lebih seperti ruang belajar dengan rak dipenuhi buku cabang ilmu kedokteran.
“Silahkan duduk disini,” ucap Ananta.
Mira mengucapkan terima kasih. Ia jadi berdebar. Ananta benar-benar terlihat terlalu serius untuk ini semua.
Apa dia akan menceraikanku?
Bukankah lelaki itu baru pergi ke luar kota bersama Sarah. Mungkin saja Ananta akhirnya memilih untuk menceraikan Mira sekarang. Jika begitu maka Mira akan kehilangan kesempatan untuk membalas dendamnya.
“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Mira.
Ananta menatap Mira. Mempertimbangkan untuk terakhir kalinya apakah ia cukup yakin untuk mengatakan semua ini.
“Apa tidak ada yang ingin kamu tanyakan tentang Sarah?”
Pertanyaan yang tidak pernah Mira duga. Ia menatap Ananta. Berusaha menerka apa yang akan lelaki itu bicarakan dengan awal topik seperti ini.
“Sarah? Dokter Sarah?” tanya Mira.
Ananta menganggukkan kepalanya.
“Aku yakin seharusnya banyak yang ingin kamu tanyakan tentang dia.”
Mira berdebar. Berpikir kemungkinan Ananta tahu apa yang dilakukannya. Bahkan lelaki itu tahu saat Danu menemuinya begitu tiba di Indonesia. Ananta benar-benar mengerikan.
“Kenapa?” tanya Mira. Berusaha tetap bersikap pura-pura tidak tahu.
Ananta pun kemudian tersenyum.
“Aku tidak apakah memang karena kamu tidak peduli atau kamu memang terlalu percaya padaku. Banyak orang menganggapku berselingkuh dengan Sarah.”
Seharusnya ini menjadi momentum yang tepat untuk menggali informasi tentang Sarah. Akan tetapi dari cara Ananta membicarakan tentang Sarah, Mira tidak yakin. Ini bukan saat yang tepat.
“Sebelum kamu salah paham. Biar aku jelaskan,” ucap Ananta.
Mira memilih untuk diam. Ia tidak tahu penjelasan apa yang akan Ananta berikan. Entah akan seberapa jauh penjelasan itu mempengaruhi rencananya. Jadi daripada Mira salah bertindak, lebih baik ia diam dan mengawasi saja dulu untuk saat ini.
“Sarah menyukaiku. Sejak kami mengenal di kampus. Tapi sejak saat itu hingga hari ini, aku hanya menganggapnya sebagai teman.”
Itu bukan informasi yang bagus karena tandanya Sarah bukanlah kelemahan Ananta. Sorot mata lelaki itu juga terlihat tegas. Menunjukkan bahwa Ananta tidak berbohong.
“Keluarga Sarah terpaut dengan keluarga dalam bidang bisnis. Bisa dibilang beberapa persen saham perusahaan keluargaku dimiliki oleh keluarganya Sarah.”
Mira hanya akan diam dan sabar mendengarkan.
“Sebenarnya aku sejak awal menganggapnya sebagai teman baik. Bahkan meski aku tahu dia menyukaiku, aku selalu berharap kami bisa tetap berteman. Hingga saat dimana dia tiba-tiba menyerangmu. Menghancurkan semuanya.”
“Menyerangku?” tanya Mira terkejut.
Ananta membuka laci mejanya. Mengeluarkan berkas dari sana. Meletakkannya di atas meja dan memberikannya kepada Mira.
“Perusahaan ayahmu sengaja dibuat nyaris bangkrut karena dia.”
Mira masih tidak paham. Ia langsung membuka semua berkas itu.
“Kau mungkin tidak tahu banyak karena saat itu memusatkan perhatian pada ibumu. Tapi dari proses hukum yang berlangsung, bisa dilihat bahwa hampir semua kecurangan yang dilaporkan adalah manipulasi. Korupsi itu juga seolah sudah direncanakan bukan karena uang tapi hanya untuk menghancurkan perusahaan.”
Mira menatap semua berkas itu. Ia memang tidak banyak mengurus proses hukum karena sedang berduka kala itu ditambah harus memberi perhatian ekstra kepada ibunya yang depresi berat. Kondisinya sangat sulit kala itu. Ananta bilang bahwa ia yang akan mengurus semuanya. Yang Mira tahu hanyalah semua urusan beres dan begitu perusahaannya dapat suntikan dana maka semua baik-baik saja.
“Apa maksud semua ini?” tanya Mira kesal.
“Sarah yang melakukannya. Satu-satunya alasan aku masih tetap dekat dengannya adalah memastikan dia bertanggung jawab untuk semua ini.”
Mira masih tidak mengerti. Bahkan meski Ananta mengatakannya dengan jelas.
“Maksudmu yang membuatku hidupku seperti di neraka saat itu adalah dia?”
Ananta mengangguk.
Mira kembali melihat semua berkas itu dengan teliti. Pikirannya kini terasa terbagi pada dua informasi yang bertolak belakang.
Tama bilang bahwa Ananta lah yang menghancurkan semuanya. Akan tetapi sekarang Ananta tiba-tiba mengatakan bahwa Sarah pelakunya.
“Kenapa kamu baru mengatakannya?” ujar Mira.
Mira masih terlalu terkejut dan sekarang debaran jantungnya tidak terkendali. Sambil menahan emosi, ia berusaha berpikir dengan jernih dan menjaga sikap. Memastikan bahwa dirinya tidak boleh dikuasai emosi hanya karena semua kenangan menyakitkan masa itu seketika muncul di pikirannya.
“Aku minta maaf, Mira. Saat itu kondisi kita sama-sama sulit. Terlalu banyak hal yang terjadi. Mamaku sakit begitu juga mamamu. Lalu seperti yang kau tahu setelah mamaku meninggal. Aku sengaja menyibukkan diri.”
Mira menatap Ananta tajam.
“Tapi tetap saja kenapa kamu menyembunyikannya?”
Mira masih merasa tidak terima. Selain itu ia masih merasa belum bisa mempercayai Ananta. Apalagi lelaki itu tiba-tiba mengatakannya saat ini. Disaat ini. Kenapa baru sekarang? Saat Mira sedang menyusun rencana untuk membalas dendam dan menghancurkannya. Mira masih lebih mempercayai ucapan Tama yang jelas-jelas sudah dikenalnya selama ini.
“Aku sudah mengatakannya tadi. Keluarga Sarah memegang saham perusahaan keluargaku. Persentasenya cukup besar karena termasuk pemegang saham mayoritas. Aku ingin membuat dia bertanggung jawab tapi aku ingin pastikan saham itu menjadi milikku dulu. Maka dari itu aku menjelaskannya kepadamu. Semua orang menganggap aku berselingkuh dengannya. Yang aku lakukan hanya tetap berada dekat dengan Sarah. Supaya kemudian aku bisa manfaatkan dia agar saham itu berpindah ke tanganku.”
Mira tidak menduga bahwa itu yang Ananta pikirkan dan rencanakan selama ini.
“Apa kau yakin dia pelakunya?” tanya Mira.
Ananta menganggukkan kepalanya. Ia kembali mengambil berkas dari lacinya.
“Lebih lengkapnya disini.”
Mira hanya melirik sekilas ke berkas yang baru diletakkan di atas meja tersebut. Ia kembali menatap Ananta dengan tajam.
“Kenapa dia melakukannya? Dia bahkan tidak mengenalku. Aku juga tidak mengenalnya.”
Ananta mau tidak mau harus mengatakannya. Rahasia yang ia pegang hingga saat ini. Yang tidak bisa ia ucapkan pada Mira. Yang menjadi alasan kenapa Ananta tidak pernah mau menceraikan perempuan itu.
“Karena dia tahu aku mencintaimu.”