Chapter 14

1161 Kata
Sudah satu minggu berlalu dan tidak ada bekal roti lapis seperti biasanya. Sudah selama satu minggu juga Mira tidak bertemu dengan Ananta. Lelaki itu tiba-tiba saja menjadi sibuk. Pola yang sama seperti setelah kematian ibunya. Mira menganggap bahwa Ananta sengaja mencari kesibukkan agar melupakan rasa sedihnya. Minggu lalu lelaki itu terlihat terpukul dan merasa gagal menyelamatkan pasien yang kecelakaan. Kini Mira melangkah memasuki ruangan Ananta di rumah sakit. Ada seorang dokter disana yang kemudian keluar. Entah karena canggung atau memang ada urusan. Jadi kini hanya ada Mira. Ia menatap ke sekeliling ruangan itu. Menunggu entah kapan Ananta akan masuk kemari. Mira sengaja tidak memberi tahu bahwa dirinya akan datang. Setengah jam kemudian ruangan itu masih tetap sama. Tidak ada yang datang atau pun pergi. Hingga kemudian terdengar suara obrolan dari luar dan pintu terbuka. Mira berdiri dari duduknya dan memberikan senyum. Ini dia. Tepat sekali. Ananta dan Sarah memasuki ruangan. Mereka nampak terkejut melihat keberadaan Mira. “Hai, Dokter Sarah.” Ananta terkejut karena Mira terlihat cukup akrab. Ia kemudian menatap ke arah Sarah. “Ah ternyata ada tamu. Kalau begitu kita bisa bicarakan itu nanti. Aku permisi ya, Dokter Ananta. Mira aku permisi ya ke ruanganku.” Mira mengangguk. Ia tadinya berpikir mungkin akan menyenangkan menahan Sarah disini. Akan tetapi ia akan membiarkannya saja. Lagi pula Mira ingin bicara berdua dengan Ananta. Sarah kemudian bergegas keluar. Sementara Ananta kini melepas jubah dan stetoskopnya. “Kenapa tidak bilang kalau datang?” tanya Ananta. “Memangnya kenapa?” Mira ingin melihat akan seperti apa reaksi Ananta yang seolah baru ketahuan selingkuh. Meski Mira tidak yakin apa sudah bisa menyebut interaksi mereka sebagai perselingkuhan. “Aku khawatir kamu menunggu terlalu lama. Bisa saja kan aku ada operasi.” Mira mengangkat satu alisnya. “Nyatanya tidak, kan? Aku bawa makan siang.” Ananta kemudian duduk di sofa dan menatap tas yang dibawa Mira. “Kamu kenal Sarah?” Mira tersenyum sambil mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas. Ia menyusunnya di atas meja. “Kami berkenalan di pesta ulang tahunnya Angelic. Kalian… kelihatan sangat dekat, ya?” Ananta bangkit dari duduknya dan kemudian mencuci tangan. “Kami sudah kenal lama. Sama seperti Wina dan Kevan.” Mira mengangguk. Memilih untuk tidak mengintrogasi. Ia bisa asumsikan bahwa Ananta sengaja menyembunyikannya. Hubungan yang sebenarnya dengan Sarah. “Cukup mengejutkan kamu tumben datang. Bahkan membawakan makanan seperti ini,” ucap Ananta. Mira tidak merespon. Ia benar-benar mempersiapkan semua makanan di atas meja. “Kamu yang memasak?” “Bukan,” sahut Mira jujur. Ia belum berada pada tahap itu. Memasak untuk Ananta? Yang benar saja. “Kita cukup lama tidak bertemu,” ucap Mira. Ananta langsung menatapnya sambil tersenyum. “Merindukanku?” “Iya.” Pertanyaan yang Ananta lontarkan tadi hanya menggoda saja. Ia bercanda, tidak serius. Akan tetapi jawaban dari Mira membuatnya terkejut. “Really?” tanya Ananta. Mira masih menatapnya lekat. “Aku berusaha meluangkan waktu agar lebih banyak di rumah. Lalu aku menyadari betapa sibuknya dirimu. Rumah terasa sepi dan aku tidak ingin mengganggu dengan mengirim pesan.” Ananta terdiam menatapnya. “Makanlah,” ucap Mira mengingatkan. Mira akan dengan berani mengatakannya sekarang. “Aku tahu kau berusaha mengalihkan perasaan sedihmu karena pasien minggu lalu. Tapi jangan sampai terlampui sibuk sampai tidak memikirkan dirimu sendiri.” “Aku tidak sengaja mencari kesibukan untuk melupakan itu. Aku benar-benar sibuk, Mira.” “Ah, rupanya aku salah paham.” “Malam ini aku akan pulang ke rumah,” ucap Ananta. Lelaki itu kemudian bangkit dan mengambil berkas dari mejanya. “Sebenarnya ada kondisi pasien yang harus aku analisa dan tidak ada waktu untuk makan siang. Jika tidak keberatan, boleh tolong suapi aku?” Mira pun terkekeh. Bukan ini tujuannya kemari. Ia merasa Ananta begitu memanfaatkannya. Akan tetapi kemudian Mira hanya mengangguk. “Terima kasih banyak.” Ananta membuka berkasnya dan mulai membaca dengan detail. Mira mengambil sendok dan mulai menyuapkannya untuk Ananta. Lelaki itu benar-benar serius sampai ruangan terasa begitu hening. Mira kemudian menatap lekat lelaki itu. Jika dirinya tidak datang kemari, apa Sarah yang akan melakukan ini untuknya? Jika iya, Mira jadi penasaran apa saja yang sudah mereka lakukan. Ia kemudian tersenyum. Ini semakin menarik. *** “Mira!” Suara teriakan itu terdengar di koridor rumah sakit sehingga Mira langsung menoleh. “Dokter Wina?” tanya Mira sumringah. Wanita itu mendekati Mira. Masih mengenakan jubah dokternya. Diikuti beberapa dokter koas di belakangnya. Mira menahan tawa melihat betapa cepatnya Wina melangkah, sedangkan para dokter koas itu kelihatan kesulitan mengejar. “Abis dari mana?” tanya Wina. “Bawakan Ananta makan siang,” jawab Mira sambil mengangkat tasnya yang kini sudah ringan. Wina pun tersenyum takjub. “Mau langsung pulang sekarang?” “Iya.” Wina pun menganggukkan kepala. “Lagi buru-buru atau gimana? Mau main ke ruangan aku dulu nggak?” tanya Wina. Mira tidak ada agenda apapun hari ini karena hari minggu. Ia menatap ekspresi antusias yang Wina tunjukkan. “Bolehkah? Kamu lagi nggak sibuk?” “Boleh banget dong. Sebentar lagi selesai kok ini,” ucap Wina. Mira berpikir tidak ada salahnya. “Oke kalo gitu. Aku tunggu disini aja,” tawar Mira saat melihat kursi. Lagi pula taman di tengah-tengah rumah sakit ini membuat udara terasa segar. “Yakin? Nggak sekalian nunggu di ruangan aku?” “Disini aja nggak apa-apa,” ucap Mira. Wina kemudian pamit sebentar untuk melakukan tugasnya dan Mira kemudian duduk di kursi. Memandang sekelilingnya. Ia teringat ada banyak informasi yang bisa didapatkan selama berada disini. Jadi dirinya langsung mengeluarkan kacamata dan majalah dari dalam tasnya. Iya, Mira membawa majalah. Dirinya sudah mempersiapkan ini sejak tadi. *** “Aku tumben melihat istrimu datang,” ucap Budiman —Direktur rumah sakit sekaligus senior Ananta. Ananta hanya menarik sudut bibirnya tersenyum. “Senang melihatnya berada disini. Sepertinya dia datang karena kamu sudah lama tidak pulang.” Ananta memilih untuk diam saja. Budiman sudah seperti ayahnya yang begitu mengayomi. Lelaki itu selama tidak pernah terlalu banyak komentar mengenai apapun yang Ananta lakukan. “Hubungan kalian sepertinya membaik. Meski hanya kontrak.” Budiman tahu banyak hal. Semuanya bahkan termasuk pergerakan Ananta dalam bidang apapun. Lelaki tua itu sudah seperti konsultan kehidupan Ananta. Sebelum operasi dimulai, memang sudah seharusnya membicarakan hal yang santai. Supaya lebih rileks saat mengoperasi nanti. Akan tetapi topik yang Budiman bicarakan kali ini benar-benar sensitif. “Dan dia tidak tahu kalau suaminya pergi ke Semarang untuk simposium, bersama perempuan lain,” ucap Budiman. Bermaksud menyinggung agenda Ananta beberapa hari lalu. Yang pergi ke Semarang untuk menghadiri simposium. Sarah bahkan ikut. Ananta diam. Ia tidak mau membahasnya disaat akan memulai operasi begini. Hanya ada mereka berdua di ruangan ini sekarang dan sebentar lagi seharusnya mereka mulai masuk ruangan operasi. “Kenapa tidak jujur saja pada Mira? Katakan rencanamu terhadap Sarah. Dia pasti akan mengerti. Lagi pula ini semua demi dia kan?” ucap Budiman. Pintu ruangan terbuka dan seorang perawat datang. Tanda bahwa Budiman dan Ananta harus masuk ke ruang operasi sekarang. “Baiklah. Sekarang saatnya untuk fokus. Ayo, Ananta.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN