Chapter 13

1389 Kata
Mira tidak bisa tidur. Bahkan ini sudah pukul dua dini hari tapi ia benar-benar tidak bisa tidur. Sejak tadi ia sudah memejamkan mata namun dirinya tetap tidak bisa terlelap. Ia kemudian memilih bangkit dan mengambil ponselnya dan keluar dari kamar. Ia ingin memeriksa apakah Ananta sudah kembali atau belum. Dengan perlahan ia memutar knop pintu kamar Ananta. Tidak terkunci. Mira pun membuka sedikit hanya agar bisa mengintip ke dalam. Kosong dan gelap. Ia kemudian menyalakan lampu, ternyata memang tidak ada siapa pun. Mira kemudian mematikan lampu dan menutup pintu, ia mengirim pesan kepada Ananta. Setelah itu langkahnya menuju dapur untuk mengambil air dingin. Setelah minum, Mira masih memikirkan yang terjadi tadi. Mengenai sikap keluarga Ananta. “Mereka menjadi lebih sinis,” gumam Mira. Kedua kakak dan kakak iparnya Ananta itu memang tidak suka kepada Mira semenjak tahu kebenaran hubungan Ananta dan Mira. Hanya saja mereka lebih ke arah tidak peduli. Andika dan Andra yang dasarnya memang cuek. Lalu Erna memang terus bersikap baik sampai sekarang. Hanya Nila yang paling kecewa. Akan tetapi tadi, Mira bisa merasakan kalau Andika dan Andra menjadi lebih sinis. Bahkan terang-terangan tidak menyukainya. “Bahkan setelah enam bulan.” Air dingin rasanya tidak cukup. Ia mengambil minuman bersoda dari kulkas. Mira kemudian menghela napasnya. Semenjak perusahaannya di ambang kebangkrutan, Mira tidak pernah benar-benar merasa tenang. *** “Ananta?” Ananta menoleh dan menghela napasnya. Sarah langsung berlari melangkah. Perempuan itu mengenakan jubah dokternya. “Bagaimana operasinya?” tanya Sarah. Ananta memilih untuk masuk ke ruangannya. Ia benar-benar sedang dalam kondisi yang baik untuk berbincang kali ini. Perempuan itu juga ikut masuk. Ananta kemudian duduk di kursinya dan menyandarkan tubuh. Memejamkan mata. “Sesuatu yang buruk terjadi?” Tidak ada reaksi apapun dari Ananta yang bisa menjawab pertanyaan Sarah itu. Maka bagi Sarah semuanya cukup jelas. Wajah kecewa Ananta menjelaskan semuanya. Sesuatu yang buruk terjadi. Ponsel Ananta bergetar dan Ananta memilih memeriksanya. Sebuah pesan masuk dari Mira. Istrinya itu belum tidur. Bagaimana operasinya? Ini pertama kalinya perempuan itu terlihat tertarik dengan yang Ananta kerjakan. Ananta kemudian mengalihkan pandangan dan menatap Sarah. “Kamu jaga malam?” tanya Ananta kemudian. Sarah kemudian hanya mengangguk kaku. Satu-satunya alasan yang membuat Sarah mau datang ke rumah sakit dan menunggu berjam-jam sambil menahan kantuk adalah hanya untuk menghampiri Ananta. Ananta lantas bangkit. “Semangat. Aku pulang dulu,” ucap Ananta. Melangkah tergesa meninggalkan ruangannya. “Ananta,” panggil Sarah. Akan tetapi lelaki itu tetap pergi begitu saja. *** Saat mendengar suara motor, Mira mengintip melalui jendela. Ternyata itu Ananta yang datang dengan mengendarai ojek online. Mira pun langsung membuka pintu dan keluar. Setelah ojek tersebut pergi, Ananta kemudian menatap Mira. “Belum tidur?” tanya lelaki itu. Mira menatap wajah Ananta. Memperhatikan dengan detail. Mata merah yang Mira yakini karena menangis bukan karena begadang. Lalu sorot mata yang jelas menunjukkan kesedihan. Serta senyuman yang dipaksakan begitu kentara. “Belum,” sahut Mira. Tadi melalui pesan, Ananta tidak menjawab pertanyaan Mira. Hanya membalas kalau lelaki itu akan pulang sekarang. Mira juga belum tidur bukan karena menunggu lelaki itu. Melainkan ia tidak bisa tidur. “Bagaimana operasinya?” Ananta terlihat menarik napas dengan berat. Lelaki itu kemudian menunduk. “Dia meninggal.” Pasien itu jelas bukan kerabat Mira. Ia juga selama ini tidak peduli dengan apapun terkait apa yang Ananta lakukan sebagai dokter. Hanya saja mendengar ucapan lelaki itu cukup membuat Mira terkejut. “Ayo masuk. Sudah hampir pagi,” ujar Ananta. Mira kehilangan kata-kata. Ia memilih untuk ikut masuk. Ananta tidak mengatakan apapun. Lelaki itu melangkah di belakang Mira. Mira kemudian menghentikan langkahnya. “Are you okay?” tanya Mira. Ananta menggeleng. Lelaki itu jujur. Mira kemudian bertatapan dengan sorot mata sedih itu. “I just need a hug,” ucap Ananta kemudian. Mira kemudian memajukan tubuhnya dan mulai memeluk Ananta. Aroma rumah sakit itu jelas menguar. Akan tetapi Mira berusaha menahannya. Ini hanya sebuah pelukan. *** Hari ini Mira sudah punya janji bersama Tama untuk mengunjungi ibunya. Jadi disinilah sekarang ia berada. Bersama Tama dan memandangi ibunya dari kejauhan. Wanita itu sedang ada di taman. Berbincang bersama pasien lain dan diawasi oleh perawat. “Maaf Mama tidak bisa dikunjungi, Pak. Mama akan selalu histeris kalau melihat orang terdekatnya atau yang sudah dikenal lama.” Tama menganggukkan kepala. “Tidak apa-apa. Setidaknya dia baik-baik saja. Dia juga nampak gembira disana. Yang terpenting kan dia sehat,” ucap Tama. Mira mengangguk setuju. Tama pun menghela napasnya. “Saya masih tidak menduga jadinya akan seperti ini, Mira. Saya benar-benar minta maaf tidak bisa membantu apapun saat itu. Seandainya saja saya bisa melakukan sesuatu. Mungkin mama kamu tidak seperti ini sekarang.” “Semuanya juga sudah terjadi, Pak. Kondisi mama sudah jauh lebih sekarang. Mungkin hanya butuh waktu supaya menjadi pulih.” “Tapi dari segi kesehatan fisik, baik-baik saja kan?” “Iya semuanya baik. Hanya psikis yang terganggu.” *** Ananta terkejut ketika mendapati Andika berada di meja makan. Entah kapan lelaki itu datang kemari. “Kak?” panggil Ananta. Andika menoleh dan ekspresinya tidak berubah. “Sudah bangun?” Pertanyaan basa-basi yang sebenarnya tidak ditanyakan. “Ada apa?” tanya Ananta melangkah menuju kursi, menariknya, lalu duduk disana. Rasanya ini terlalu pagi untuk menerima tamu mendadak. Apalagi ini Andika. “Mira katanya pergi. Baguslah. Ada hal penting yang harus kita bicarakan,” ucap Andika. Ananta mengangkat satu alisnya. Ini bukan gaya kakak sulungnya. Jika Andika perlu apapun, lelaki itu lebih suka menelpon dan meminta Ananta untuk datang ke rumah utama. Tempat kediaman Andika berada. Kedatangan Andika sampai kemari bahkan tanpa kabar apapun, menandakan pasti ada hal yang begitu penting. Ananta bersikap santai sambil menuang air ke gelas. “Hal penting apa yang membuatmu sampai datang kemari dan menunggu sampai aku bangun?” Entah kapan Andika tiba. Akan tetapi Ananta yang tidak langsung dibangunkan, membuat rasa penasaran itu semakin meningkat. Andika pun menatap lekat adiknya itu. “Saham perusahaan induk Syailendra Grup. Aku ingin membelinya, bahkan meski harus membayar dengan mahal.” *** “Jadi semua ini diurus Ananta?” tanya Tama. Rumah sakit bahkan dokter yang menangani ibunya Mira memang dipilih oleh Ananta. Termasuk pembayaran juga. Lelaki itu juga memastikan keamanan ibu mertuanya. Mira tidak punya pilihan lain selain menurut saja. Bahkan Mira baru sadar Ananta membantu sejauh itu. Sejak perdebatan terakhir mereka, Mira akui bahwa tanpa lelaki itu dirinya memang bukan apa-apa. Bahkan kondisi ibunya benar-benar bergantung pada Ananta. “Mira?” panggil Tama. Mira lantas menatap lelaki itu. “Kalau saya carikan perusahaan yang lebih baik dan saya bantu perawatannya. Apa kamu berkenan?” Tawaran itu membuat Mira mengangkat satu alisnya. Tama pun menghela napas. “Entahlah. Saya hanya merasa tidak yakin dengan Ananta. Bisa saja dia sengaja melakukan ini untuk memastikan kelemahan kamu ada di bawah kendalinya.” Mira terdiam. Ia seketika teringat dengan pesta semalam. Perbincangan yang tidak sengaja dirinya dengar. Perbincangan antara Andika dan Andra. ‘Ananta membuang uang terlalu banyak untuk perempuan itu, sampai ibunya yang gila juga.’ “Ini penyebab dia masih memegang kendali atas hidup kamu, Mira. Dia tahu kelemahan kamu dan memanfaatkannya dengan baik.” Mira kemudian menganggukkan kepalanya. “Tidak ada yang bisa saya lakukan, Pak. Semuanya terpaksa,” sahut Mira. Hanya saja kali ini firasatnya mengatakan ada yang aneh. Ia baru menyadari bahwa selama ini Ananta bahkan tidak pernah sepenuhnya mengendalikan hidup Mira. Lelaki itu hanya bersikeras agar tidak ada perceraian. Hanya satu kali Ananta menyinggung mengenai ibu Mira. Yaitu saat perdebatan terakhir mereka. Lelaki itu hanya mengingatkan apakah Mira sudah memiliki cukup kekuatan dan uang untuk melindungi ibunya tanpa Ananta. Hanya itu. Mira kemudian menatap lekat Tama. Dari semua yang telah terjadi. Baru akhir-akhir ini lelaki itu menjalin komunikasi yang lebih intens. Lalu Mira seketika ingat ucapan Alexa semalam. Karena Mira sempat menceritakan kegundahan hatinya melalui sambungan telepon. ‘Oke. So. Kenapa kamu harus percaya semua ucapan Pak Tama?’ ‘Come on, Alexa. Beliau orang kepercayaan papa selama bertahun-tahun,’ sahut Mira. ‘Mira. Danu aja ninggalin kamu. Orang yang paling kamu percaya dan yang kamu anggap bisa bantuin kamu waktu itu. Danu aja ternyata nggak bisa dipercaya. Apalagi Pak Tama? Buktinya, beliau resign kan. Nah justru perlu dipertanyakan kenapa resign. Kalo alasannya cuma gaji aja. Nggak make sense. Apalagi udah bertahun-tahun bareng,” ucap Alexa. "Mira. Kamu seharusnya jangan terlalu percaya Ananta," ucap Tama. Ucapan yang sama seperti yang Alexa ucapkan. 'Kamu seharusnya jangan terlalu percaya Pak Tama.'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN