Mira akhirnya datang lagi ke rumah itu. Rumah utama keluarga Antonio Syailendra—mendiang ayah Ananta. Yang saat ini dihuni oleh anak sulung yaitu Andika Syailendra beserta istri dan anak-anaknya.
Agak mengejutkan bagi Mira karena pesta ulang tahun itu diadakan disini. Bukan di rumah Angelic.
Ananta adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya laki-laki dan yang sedang berulang tahun sekarang adalah anak dari kakak kedua Ananta.
Mira tidak begitu dekat dengan keluarga itu. Awalnya memang mereka menyambut Mira dengan ramah. Hanya saja begitu ibunya Ananta meninggal, Mira dapat merasakan dengan jelas kalau mereka tidak menyukai Mira. Juga mereka sudah tahu sejak awal kalau pernikahan Mira dan Ananta itu terjadi karena kontrak. Hanya saja mereka semua berpura-pura dengan pintarnya. Menjadikan Mira baru menyadari betapa mengerikannya keluarga ini.
Kedatangan Mira langsung disambut oleh Andra dan Erna, orang tua dari Angelic. Mereka menyambut Mira ramah namun Mira bisa tahu itu hanyalah sandiwara karena ada beberapa tamu disini.
“Terima kasih sudah datang, Ananta dan Mira. Angel sedang asik bersama teman-temannya,” ucap Erna.
Mira hanya tersenyum.
“Terima kasih, Kak Erna.”
Andra kemudian mengajak Ananta untuk pergi berbincang berdua. Sementara itu Erna kemudian mengajak Mira untuk mencoba hidangan. Sejauh ini hanya Erna yang bersikap baik padanya.
“Senangnya melihat kamu datang.”
Erna mengambilkan piring untuk Mira dan mempersilahkan Mira untuk memilih makanan yang ada. Kebanyakan adalah jenis kue. Hingga kemudian pandangan Erna menuju pada tamu yang baru datang. Pasangan suami istri.
“Mira. Maaf ya. Aku harus menyapa tamu dulu. Kamu pilih aja ya mau ambil yang mana.”
Erna kemudian mengangkat tangannya dan dengan cepat seorang pelayan menghampiri.
“Kalau butuh apapun, minta pelayan saja ya.”
Mira mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Erna berlalu dan hanya tinggal Mira bersama seorang pelayan. Mira pun mengatakan kalau ia tidak butuh apapun jadi sang pelayan bisa pergi.
Di tengah pesta yang terasa asing itu, Mira memutuskan untuk fokus pada kue yang tertata cantik.
“Aku pikir kalian sudah bercerai,” ucap Nila.
Mira menoleh. Itu Nila, istri dari Andika. Kakak iparnya yang terang-terangan membenci Mira dengan dalih kecewa bahwa Mira telah membohongi Rosa—mendiang mertua mereka.
“Selamat malam, Kak Nila. Lama tidak bertemu,” ucap Mira.
Tidak ada senyum di wajah Nila.
***
“Kenapa mengajak Mira kemari?” tanya Andra.
Ananta mengernyitkan kening menatap kakak keduanya itu.
“Apa Mira masih belum diterima?” tanya Ananta.
“Bukannya kalian sudah cerai?”
Mereka memang tahu kalau Mira sudah enam bulan lamanya tinggal terpisah dengan Ananta. Dan Ananta tidak pernah diusik lagi mengenai hal itu. Ia juga tidak merasa perlu memberitahu kondisi rumah tangganya. Hubungannya dengan Andika dan Andra tidak sehangat yang terlihat. Tidak seharmonis yang dibayangkan.
“Kami tidak bercerai,” ucap Ananta.
Ananta merasa tidak perlu membicarakannya hal seperti itu. Jadi ia akan langsung mencari Mira saja.
“Aku datang bersama istriku karena ingin bertemu Angelic. Jadi aku permisi, Kak.”
Ananta langsung menjauh dan ia bisa melihat Mira sedang berbincang bersama Nila. Ananta berdecak. Membuat Mira datang kemari sepertinya bukan ide yang bagus. Ia lupa dengan fakta bahwa keluarganya itu tidak suka dengan Mira.
Ananta melangkah mendekat dan menghentikan langkah saat mendengar ucapan Nila.
“Setelah membohongi mama. Kalau aku jadi dirimu, aku pasti akan merasa malu untuk tetap menjadi bagian dari keluarga ini.”
Tangan Ananta mengepal. Ia hendak maju untuk menghentikan perbincangan omong kosong itu namun suara Mira membuat niatnya urung.
“Bukankah kita sama-sama membohongi mama? Mama juga pasti akan kecewa kalau tahu menantu sulungnya tidak sebaik yang beliau kira.”
Mira meletakkan kuenya dan kemudian berbalik. Ternyata sudah ada Ananta disana. Nila pun hanya menatap Ananta tanpa ekspresi.
Ananta hanya memberikan senyuman kepada Nila.
“Permisi, Kak. Aku ingin mengajak Mira menemui Angelic.”
Mira juga kemudian tersenyum menatap Nila dan pamit.
Ananta dan Mira kemudian pergi melangkah untuk mencari keberadaan Angelic. Anak kecil itu ternyata sedang bermain bersama teman-temannya.
“Angelic,” panggil Ananta.
Angelic menoleh dan kemudian berteriak girang langsung berlari ke arah Ananta.
“Selamat ulang tahun ya,” ucap Ananta yang sudah berlutut dan kemudian memeluk Angelic.
“Makasih, Om Ananta.”
Ananta melepas pelukan dan kemudian menatap Angelic.
“Boleh nyium pipi nggak?”
“Boleh.”
Ananta gemas kemudian mengecup pipi anak itu. Ia kemudian menatap Mira.
“Ini Tante Mira dateng.”
Mira berlutut juga dan hendak memeluk Angelic namun anak itu menolak dengan merapatkan tubuh ke pelukan Ananta.
Mira hanya tersenyum.
“Selamat ulang tahun ya, Angelic.”
Mira menyodorkan tangannya dan berharap bisa bersalaman. Untungnya anak itu mau.
Ponsel Ananta seketika berbunyi dan ia langsung mengangkatnya.
“Angelic sebentar sama Tante Mira dulu ya. Halo.”
Saat Ananta melenggang pergi untuk mengangkat telepon, Angelic pun kemudian berkata jujur pada Mira kalau ia ingin bermain dengan temannya. Mira tahu kalau ia dan anak itu tidak terlalu akrab. Terlalu memaksa juga tidak baik jadi dirinya memilih untuk membiarkan saja Angelic pergi. Setelah itu Mira kini tengah sendirian di pesta. Menatap sekeliling hingga dirinya cukup terkejut karena melihat Sarah. Perempuan itu baru datang dan tampak akrab dengan Erna.
“Ah benar. Kak Erna adalah dokter,” gumam Mira.
Erna memang bekerja di rumah sakit yang berbeda namun tidak mengherankan kalau perempuan itu mengenal Sarah dengan baik.
Mira sungguh ingin berbincang dengan Sarah. Ingin melihat akan seperti apa perempuan itu bersikap di depan Mira. Seingat Mira, ia tidak pernah bertemu dengan perempuan itu sebelumnya. Bahkan saat ibu mertuanya meninggal, seingat Mira ia tidak melihat Sarah.
Saat hendak melangkah ke arah Sarah, Ananta tiba-tiba kembali.
“Mana Angelic?”
“Main dengan temannya.”
Ekspresi Ananta terlihat panik.
“Kita harus pulang. Ada panggilan darurat dari rumah sakit dan aku tidak bisa membiarkanmu sendiri disini.”
Tapi Mira ingin menemui Sarah. Meski ia harus membayarnya dengan menghadapi sikap ipar yang menyebalkan.
“Tapi aku masih ingin disini,” ucap Mira.
“Kamu yakin?”
Mira menganggukkan kepala.
Ananta nampak masih ragu. Mira jadi mengangkat satu alis. Merasa curiga apakah ini hanya akal-akalan Ananta karena Sarah ada disini.
Lelaki itu lantas menganggukkan kepalanya.
“Aku ada operasi darurat di rumah sakit. Kalau terjadi sesuatu disini, pulang saja. Oke?”
Mira mengangguk.
“Aku langsung pergi. Tidak mungkin pamit pada yang lainnya.”
Mira kembali mengangguk.
Ananta kemudian berlari untuk pergi begitu saja. Mira kemudian kembali fokus pada Sarah. Perempuan itu kini disambut hangat oleh Andika. Mira pun menarik sudut bibirnya. Sepertinya akan lebih menarik kalau melihat situasi dulu.
***
Mira sudah memperhatikan semuanya. Sarah diperlakukan dengan sangat baik oleh keluarga Ananta. Hal itu membuatnya jadi tertawa miris. Asumsinya saat ini adalah Sarah memang sudah dikenal oleh keluarga Ananta itu. Lalu satu-satunya alasan Ananta justru berakhir menikah dengan Mira adalah dijegal restu sang ibunda. Ya, sepertinya Sarah memang tidak direstui. Karena saat membicarakan kontrak dengan Ananta, lelaki itu mengatakan ibunya tidak setuju dengan perempuan yang Ananta perkenalkan.
Mira melangkah mendekat ketika Sarah berada di dekat meja makanan. Perempuan itu sedang menyendiri.
“Bingung untuk memilih?” tanya Mira.
Sarah menoleh dan sepersekian detik nampak terkejut melihat Mira. Akan tetapi tidak lama kemudian ia tersenyum.
“Oh. Iparnya Kak Erna?” tanya Sarah.
Mira mengangguk.
“Kenal Ananta?” tanya Mira pura-pura polos. Ia tahu akan terkesan aneh langsung bertanya Ananta. Akan tetapi ia malas basa-basi.
“Iya. Kami kerja satu rumah sakit dan satu fakultas. Ananta tidak datang? Dia tidak terlihat sejak tadi.”
Sikap yang ramah namun sorot mata Sarah menunjukkan semuanya. Perempuan itu sama saja seperti keluarga Ananta. Pintar bersandiwara.
“Dia datang tapi kemudian pergi karena ada panggilan darurat rumah sakit.”
Sarah pun kemudian menganggukkan kepalanya.
“Kayaknya kamu tahu aku tapi aku nggak tahu kamu. Sebaiknya kita berkenalan,” ucap Mira.
Sarah pun mengangguk kaku.
Mereka kemudian bersalaman.
“Mira. Istrinya Ananta,” ucap Mira dengan senyum yang sebenarnya cemoohan.
Ia bisa melihat Sarah berusaha mengendalikan ekspresinya.
Mira menatap tangan mereka yang sama-sama berjabat. Mira akan pastikan ia bisa memanfaatkan perempuan ini untuk membalas dendam pada Ananta.
Disaat yang bersamaan, Sarah menahan emosinya mendengar betapa arogan Mira memperkenalkan diri sebagai istrinya Ananta. Lihat saja setelah ini, Sarah yang akan dengan bangga memperkenalkan dirinya seperti itu.
***
“Apa Bapak tahu yang terjadi sekarang? Dia ada di pesta ini dan dengan arogannya menyebut dirinya adalah istri Ananta. Apa rencana Bapak itu tidak bisa dilakukan dengan cepat saja?”
Sarah benar-benar tidak bisa menahan diri. Apalagi setelah tadi melihat perempuan itu berfoto bersama keluarganya Ananta.
“Untung saja tidak ada Ananta. Aku benar-benar muak, Pak!”
Sarah memutuskan langsung pergi dengan cepat dengan alasan panggilan darurat. Tidak ada panggilan tapi ia akan tetap ke rumah sakit. Bertemu Ananta mungkin akan meredakan kemarahannya.
“Kendalikan dirimu, Sarah. Semuanya perlu proses.”
Sarah menghela napasnya.
“Bahkan keluarga Ananta sangat menerimaku.”
“Tapi Ananta tidak.”
Ucapan Tama itu membuat api kemarahan dalam diri Sarah semakin membesar.
“Pak. Apa tadi katamu?”
“Kalau Ananta memang tidak menginginkannya pasti mereka sudah bercerai sejak lama, Sarah.”
Sarah pun tertawa hambar.
“Pak Tama. Tidak perlu ingatkan aku betapa Ananta mencintai Mira. Cukup buat Mira hancur dan menjauh dari kehidupan Ananta selamanya, Pak Tama!” pekik Sarah.
Sarah bahkan tidak peduli kalau teriakannya dalam mobil itu terdengar oleh pengendara lain di jalanan ini.
Napas Sarah pun terengah karena ia terlampau emosi.
“Atau perlu sekalian aku bunuh saja Mira?” tanya Sarah kemudian.
“Bersabarlah. Kita harus lihat sejauh mana plan A berhasil. Cukup jaga jarak dengan Ananta dulu.”
***
Pasien itu meninggal.
Tubuh Ananta seketika mematung di pijakannya. Satu nyawa melayang saat ia sedang mengoperasi. Pasien itu. Korban kecelakaan.
Rasa bersalah itu berkecamuk di hatinya.
“No,” ucap Ananta menggelengkan kepala.
Bahkan meski ia sudah bertahun-tahun menjadi dokter, tetap saja perasaan bersalah dan kehilangan itu mengguncangnya.
“Pasien meninggal Sabtu, 02.03 WIB.”
Ananta menghela napasnya. Ia masih belum bisa menerima kenyataan ini.
“Dokter..”
Ananta mengangguk. Ia berusaha mengendalikan diri. Dia harus keluar untuk memberitahu keluarga pasien.
Masih dengan mengenakan pakaian operasinya tadi. Ananta melepas masker dan sarung tangannya. Ia keluar dan merasakan pilu di hatinya saat melihat ekspresi wajah keluarga yang begitu harap saat menghampiri.
“Bagaimana, Dokter?” tanya wanita yang Ananta duga adalah ibunya.
“Maaf, Bu. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi nyawa pasien tidak bisa diselamatkan. Saya minta maaf,” ucap Ananta seraya menundukkan kepala.
Rasanya getir saat harus mengucapkan hal seperti itu kepada keluarga pasien. Tidak lama kemudian koridor sepi yang menjadi saksi betapa banyak doa dilatunkan keluarga itu selama operasi tadi, kini menggemakan tangisan dari keluarga yang ditinggalkan.