Chapter 11

1007 Kata
Mira tidak menduga bahwa yang Ananta maksud dengan jalan-jalan itu adalah berkunjung ke makam orang tuanya. Akan tetapi biar bagaimana pun, Mira tidak berhak untuk melarang. Ia cukup menghormati mendiang orang tua Ananta. Jadi perjalanan kali ini benar-benar Mira lakukan tanpa keterpaksaan. “Kamu pernah datang kemari sendiri,” ucap Ananta. Sudah Mira katakana bahwa ia menghormati mendiang orang tua Ananta. Dirinya beberapa kali datang kemari sendirian. “Kenapa? Apa tidak boleh?” Tidak mengejutkan kalau lelaki itu tahu. Mungkin saja ada yang melihat Mira datang kesini lalu melapor. Atau mungkin Ananta begitu mengawasinya. “Tentu saja boleh. Orang tuaku pasti senang memiliki menantu sepertimu.” Ananta kemudian menatap lekat ukiran nama ibunya. “Tidak salah jika mama langsung setuju saat tau kau yang akan menjadi istriku.” Mira menatap wajah Ananta lekat. Lelaki itu selalu menunjukkan ekspresi yang berbeda jika sudah membahas mengenai mendiang ibunya. “Mama pasti senang karena kau datang kesini.” Mira menatap batu nisan yang berukit nama ibu mertuanya itu. Bahkan meski pernikahannya dengan Ananta hanya sebuah kontrak, tapi ia akui bahwa mendiang ibu mertuanya itu sangat baik padanya. Terlalu baik sampai Mira merasa bersalah karena telah berbohog. *** Saat mereka berada di parkiran dan sudah dekat dengan mobil mereka, Ananta langsung membukakan pintu mobil untuk Mira. “Terima kasih,” ucap Mira. Selanjutnya perjalanan mereka diisi dengan keheningan. Mira tidak tahu apa yang membuat Ananta menjadi begitu diam. Kemungkinan lelaki itu jadi merasa sedih karena mengingat mengenai mendiang ibunya. “Kado untuk Angelic. Kamu mau memberinya apa?” tanya Mira. Ia tidak terlalu suka suasana sendu seperti ini. Juga sebenarnya tidak terlalu suka banyak berbincang dengan Ananta. Akan tetapi jauh lebih baik mengisi perjalanan ini dengan perbincangan karena ia ingin menggali informasi. “Entahlah. Ada ide?” tanya Ananta. “Aku tidak tahu apapun tentang dia. Jadi tidak ada yang bisa aku sarankan.” Bahkan kemarin Mira hanya mengandalkan bantuan Wina. Kado yang ia berikan adalah anting. Ananta pun tersenyum. “Kalau begitu mulailah untuk mengenalnya lebih dekat nanti,” ucap Ananta. Mira tidak berminat dan merasa tidak ada gunanya. *** “Tidak ingin belanja? Baju? Tas? Atau apapun?” tawar Ananta. Mira menggeleng. Ia bisa membelinya sendiri. Langkah Ananta terhenti begitu mereka melewati toko perhiasan. Ananta yakin Mira tidak akan kekurangan untuk membeli apapun yang diinginkannya karena Ananta sudah memberi kartu kreditnya untuk perempuan itu. Hanya saja ia ingin melakukannya sekarang. “Kemarilah,” ajak Ananta sambil menggandeng tangan Mira memasuki toko. Mira menatap tangan lelaki itu yang menggandeng tangannya. “Pilihlah. Apapun yang kau inginkan. Aku yang bayar.” Mira tersenyum sinis sambil menarik tangannya dari genggaman tangan Ananta. “Biasanya juga aku membeli apapun dengan uangmu.” Ananta menatapnya dan Mira sadar bahwa ia masih saja tidak bisa menahan diri. Biar bagaimana pun rencananya adalah membuat Ananta terlena. Jadi ia harus bisa bersikap lebih hangat. Mira lantas tersenyum. “Kenapa tidak kamu saja yang pilihkan untukku, Ananta? Akan lebih spesial kalau kamu yang memilihkannya.” Ananta mengangguk. Merasa setuju. “Aku khawatir kau tidak akan suka dengan yang aku pilihkan.” “Tidak perlu khawatir. Aku akan menerimanya. Lagi pula itu pilihan suamiku, kan? Aku yakin kau akan memilih yang bagus.” Ananta tersenyum mendengar ucapan Mira itu. Ia kemudian mulai mendekat pada etalase. Ia akan belikan cincin, kalung, dan anting berlian paling mahal yang ada disini. *** “Terima kasih,” ucap Ananta dan Mira bersamaan kepada pelayan yang telah keluar dari ruangan VIP. “Kita hanya berdua. Apa kau yakin bisa menghabiskan semuanya?” tanya Mira. Mereka masuk ke restoran untuk makan siang. Mira taidnya ingin makan di table yang biasa saja tapi Ananta bersikeras memilih table di ruang VIP. Ada minimum spend agar mereka bisa duduk disini. Mira tidak meragukan uang Ananta. Masalahnya pesanan mereka terlalu banyak untuk dua orang. “Tidak masalah. Lagi pula kita jarang bisa makan berdua di luar begini.” Mira memilih untuk tidak berkomentar. Ia kemudian menatap totebag berisi perhiasan yang tadi Ananta belikan untuknya. Ia masih tidak menduga Ananta akan membelikan yang paling mahal. Berlian itu, Mira merasa terlalu berlebihan untuk memakainya. “Bagaimana kabar perusahaan? Apa kamu mengalami kesulitan?” tanya Ananta. “Baik-baik saja. Terima kasih banyak atas semuanya.” Ananta menganggukkan kepala. “Katakan saja bila butuh apapun.” Mira tersenyum menatap Ananta lekat. “Apapun yang kau inginkan, akan aku berikan. Kecuali perceraian,” imbuh Ananta. ‘Cukup tinggal disini dan jadi istri yang baik, akan membuatmu lebih mudah mengatasi semua itu.’ Mira masih ingat dengan baik ucapan Ananta kala itu. “Aku akan menjadi istri yang baik. Meski tidak bisa cepat, aku akan berusaha.” Ananta menatap Mira lekat. “Begitulah yang aku harapkan, istriku.” Mira memilih untuk mengganti topik mereka. Ia ingin menggali informasi. “Ngomong-ngomong. Apa boleh jika aku lebih akrab dengan Wina? Dia cukup menyenangkan.” Lebih tepatnya bagi Mira, Wina cukup berpotensi untuk dimanfaatkan. Perempuan itu pasti tahu banyak informasi mengenai Ananta dan Sarah. “Tentu saja. Aku senang kalau kamu merasa nyaman dengannya. Wina memang baik.” Mira tersenyum karena ia mulai bersemangat sekarang. Dengan keterbatasannya, akan sulit mencari informasi mengenai Sarah. Jadi dirinya akan mulai dari sini. Memastikan apakah Wina bisa dipercaya atau tidak. “Wina bilang bahwa dia, suaminya, dan kamu bersahabat sejak awal masuk kuliah. Aku ingin mendengar ceritanya darimu." Ananta mengangkat satu alisnya. "Wina sudah beritahu apa saja?" Mira menatapnya lekat. Memastikan apakah lelaki itu sedang berpura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu. Karena Mira curiga Wina langsung melaporkan semuanya kepada Ananta terkait perbincangan mereka kemarin. "Tentang masa koas kalian yang menyenangkan," ucap Mira. Tepatnya memalukan karena kemarin Wina menceritakannya dengan ekspresi begitu puas. "Dia tidak menceritakan hal yang memalukan kan?" selidik Ananta. "Memangnya ada yang memalukan?" pancing Mira. Ananta langsung menggeleng. Mira mulai berpikir dan berasumsi bahwa seperitnya Ananta memang tidak tahu apapun. Apa ini bisa dikatakan kalau Wina dapat dipercaya? Mungkin Mira harus lebih mengakrabkan diri supaya tahu. "Kenapa tiba-tiba membahas itu?" tanya Ananta. “Seperti yang kamu bilang. Aku mulai tertarik dengan duniamu, Ananta.” Mira mengatakannya sambil menatap Ananta lekat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN