Mira membalikkan tubuhnya. Menatap Ananta dengan ekspresi datar. Tidak ada senyuman apapun. Ananta pun terdiam di pijakannya. Hanya menatap perempuan itu lekat. Menanti jawaban apa yang akan Mira berikan padanya.
Perempuan itu pada akhirnya tersenyum.
“Selamat malam, Ananta.”
Lalu Mira masuk kembali ke kamarnya. Seolah yang barusan Ananta katakana itu tidak pernah ia dengar.
Begitu tiba di kamarnya, Mira langsung mengunci pintu. Melangkah tergesa menuju kamar mandi. Dibukanya surat yang diberikan oleh Danu tadi. Ia membacanya dan kemudian air matanya menetes. Mira segera merobek surat itu hingga ukurannya menjadi sangat kecil. Kemudian Mira membuang surat itu ke toilet dan membiarkannya tenggelam menghilang dibawa air.
Mira kemudian terduduk begitu saja di kamar mandi. Menangis karena hatinya terasa begitu sakit.
***
Ananta benar-benar tidak bisa tidur. Bagaimana ia bisa tertidur disaat anak buahnya memberikan informasi bahwa Danu berada di klub yang sama dengan Mira. Mereka bertemu. Ananta sudah tidak tidak tidur sejak tadi karena menyesalkan keputusannya membiarkan Mira pergi sendiri. Ia tidak bisa tidur karena khawatir. Lalu saat anak buahnya memberi pesan itu, Ananta sungguh sudah bersiap untuk langsung datang kesana jika Mira tidak kunjung pulang.
Ananta mengambil ponselnya. Ditatapnya foto yang dikirimkan oleh mata-matanya itu. Dari gelagat Mira sepertinya perempuan itu masih marah. Anak buahnya juga bilang bahwa Mira menghindar, namun Danu yang terus mengejarnya. Mobil Danu mengikuti mobil Mira sampai pulang. Entah apa tujuannya, yang jelas anak buah Ananta berasumsi bahwa itu untuk memastikan keselamatan Mira yang pulang sendirian.
Ananta lantas melirik jam di ponselnya. Ia benar-benar harus tidur. Dirinya memutuskan untuk minum obat tidur saja. Daripada ia tidak kunjung tidur. Sebelum meminum obat tidur itu, ia kirim pesan terlebih dahulu kepada asisten rumah tangganya untuk memastikan Ananta dibangunkan besok pagi.
***
Mira sengaja keluar kamar cukup siang karena ia tahu Ananta shift pagi hari ini. Matanya sembab karena menangis dan ia tidak ingin lelaki itu tahu. Supaya Ananta tidak banyak tanya.
Saat dirinya melewati meja makan begitu saja, asisten rumah tanggannya itu pun memanggil sambil memberikan bekal.
Seperti biasa, bekal buatan Ananta. Hanya roti lapis tapi sungguh lelaki itu telaten sekali membuatnya. Mira menerimanya dengan cepat setelah mengucapkan terima kasih.
Selama perjalanannya menuju kantor, Mira tidak bisa berhenti berpikir mengenai kehidupan yang ia jalani sekarang.
Dua tahun lalu, dalam benaknya ia akan tetap menjalani kehidupan seperti ini. Pergi ke kantor untuk bekerja. Lalu saat pulang, ia bisa bertemu Danu. Atau mungkin sesekali mereka bisa makan siang bersama di sela bekerja. Semenjak kejadian dua tahun lalu, kehidupan Mira benar-benar terombang ambing. Ia sudah tidak punya semangat hidup lagi. Satu-satunya yang membuat bertahan adalah ibunya, yang bahkan sekarang dalam kondisi depresi. Serta perusahaan yang mati-matian ia usahakan agar bertahan. Ada banyak karyawan yang hidupnya bergantung pada Mira. Jadi demi semua itu, ia berusaha kuat menjalani semua ini.
“Ananta. Bersabarlah. Kita akan tidur seranjang nanti. Saat aku sudah menemukan cara untuk menghancurkanmu,” ucap Mira.
***
“Wow. Lihatlah apa yang aku bawa?”
Suara menggelegar itu bagaikan gemuruh di langit yang cerah. Ananta sampai terkejut. Ia langsung mendongak menatap Kevan yang —dengan tidak tahu dirinya— tiba-tiba masuk tanpa permisi.
Ananta menghela napasnya.
“Tolonglah setidaknya ketuk pintu dulu.”
Kevan hanya menyengir kuda.
“Maaf. Ayo makan siang,” ajak Kevan.
Lelaki itu baru muncul karena selama ini jam shift antara dirinya dengan Ananta tidak matching. Juga karena cukup sibuk juga sih. Perjalanan dari ruangan Kevan kemari juga cukup jauh. Lumayan menguras energinya untuk melangkah kemari. Meski sebenarnya ya tidak begitu juga sih. Kevan saja yang lebay.
“Aku harap tidak keduluan Sarah kali ini. Untungnya.”
Ananta hanya menghela napas. Bingung harus bagaimana menanggapinya.
“Ayo makan. Wina yang menyiapkan ini.”
Kevan sudah duduk di sofa dan membuka bekal yang dibawanya. Ananta bangkit dari kursinya dan kemudian ikut duduk di sofa.
“Ku dengar Wina mengajak istriku makan siang,” ucap Ananta.
Kevan menganggukkan kepala.
“Dan kudengar kau mengancam istriku agar tidak berbuat macam-macam,” sahut Kevan.
Itu memang benar. Tadi pagi Ananta sudah menelpon Wina dan meminta perempuan itu agar tidak melakukan apapun yang bisa membuat Mira tidak nyaman.
Ananta merasa tidak yakin apa pantas mengatakan sekarang ia dan Mira sedang dalam tahap memulai semuanya dari awal. Akan tetapi ia rasa begitu. Setidaknya sikap Mira perlahan-lahan berubah meski Ananta entah kenapa merasa ragu. Seperti penolakan perempuan itu semalam. Meski Ananta berusaha memahami mungkin itu terlalu terburu-buru untuk hubungan mereka yang tidak terlalu hangat.
“Kami berusaha berbaikan. Aku tidak ingin ada yang mengacaukannya.”
Kevan mulai menata kotak-kotak berisi makanan di atas meja.
“Wina tidak akan mengacaukannya. Kau tahu siapa yang akan mengacaukannya?” tanya Kevan.
“Siapa?”
“Kau dan selingkuhanmu itu,” ucap Kevan terang-terangan.
“Aku tidak berselingkuh.”
Kevan yang mendengarnya langsung berdecak.
“Satu rumah sakit ini juga tahu, Ananta! Astaga. Apa kau masih tidak mau mengakuinya” tanya Kevan gemas.
“Mengakui apa? Aku dan Sarah berteman baik. Seperti yang aku lakukan dengan Wina.”
Kevan tidak ingin merusak makan siang ini dengan topik itu tapi ia sendiri gemas dengan sikap Ananta.
“Terserahlah. Terus saja menyangkalnya dengan kedok berteman baik.”
***
Mira tersenyum dan bangkit dari duduknya begitu Wina datang. Perempuan itu tersenyum hangat dan Mira langsung menyambutnya dengan cipika cipiki.
“Sudah menunggu dari tadi?” tanya Wina.
Tutur katanya lembut sekali dan Mira merasa seolah sangat disayangi olehnya.
“Aku baru saja tiba.”
Wina mengangguk. Mereka duduk kembali dan Mira langsung memberi kode kepada pelayan agar datang. Mereka memesan makanan terlebih dahulu. Baru setelah itu keduanya saling menatap.
Mira tidak tahu apa yang membuat perempuan ini tiba-tiba ingin menemuinya. Jadi ia putuskan bertanya terus terang.
“Jadi, apa aku boleh tahu alasan yang membuatmu menemuiku?”
Wina tersenyum.
“Ingin saja. Aku tidak mengganggu jadwalmu kan, Mira?”
Mira menggeleng sembari tersenyum.
“Tentu tidak.”
Wina mengangguk.
Mira kemudian menatapnya. Memastikan apakah dirinya bisa percaya pada perempuan ini dan memanfaatkannya untuk mencari tahu lebih banyak mengenai Sarah. Akan tetapi biar bagaimana pun, Wina adalah sahabatnya Ananta. Tidak ada jaminan bahwa perempuan itu tidak melaporkan semuanya kepada Ananta.
“Ngomong-ngomong. Apa kau ada shift hari ini?” tanya Mira.
“Iya. Shift sore.”
“Keponakanku berulang tahun besok. Anak dari kakaknya Ananta. Apa boleh aku minta tolong untuk mengantar membeli kado setelah ini?”
Mata Wina nampak berbinar. Perempuan itu langsung mengangguk.
“Tentu saja, Mira. Akan aku antar.”
***
“Angelic berulang tahun? Ah iya. Aku pasti akan datang, Kak. Tenang saja.”
Sarah tersenyum mendengar informasi itu melalui telepon. Erna—kakak ipar Ananta— menelponnya dan meminta agar Sarah datang di ulang tahun Angelic. Kebetulan Erna juga adalah seorang dokter. Jadi ia dan Erna sudah dekat sejak masa kuliah. Bahkan meski Erna bertugas di rumah sakit yang berbeda, mereka cukup akrab. Hubungan yang Sarah pertahankan, karena ia selalu merasa senang bisa dekat dengan keluarga Ananta.
“Maaf tidak sempat memberikan undangan ya, Sarah.”
“Tidak apa-apa, Kak. Aku paham Kak Erna pasti sedang sibuk. Besok malam, kan?” tanya Sarah memastikan.
“Iya. Angelic pasti akan senang jika kamu datang.”
“Tentu. Aku akan datang besok.”
“Terima kasih, Sarah.”
“Terima kasih juga, Kak Erna.”
Sambungan telepon itu berakhir. Senyuman Sarah membuncah. Benar juga, kenapa tidak terpikirkan. Orang tua Ananta sudah meninggal semua. Tersisa hanya kakak-kakaknya. Jika Sarah bisa pengaruhi kakak-kakaknya Ananta, maka akan lebih mudah lagi untuk menendang Mira pergi jauh.
***
Sore hari saat Mira sedang menikmati minum teh di taman depan, Ananta datang menghampirinya. Lelaki itu bahkan langsung turun dari mobil begitu melihat Mira.
“Boleh bergabung?” tanya Ananta.
Aroma rumah sakit yang khas yang tercium oleh hidung Mira. Ia tidak berbohong saat mengatakan kalau kurang suka aroma itu. Yang menempel di tubuh Ananta setiap kali lelaki itu baru datang dari rumah sakit.
“Setidaknya mandilah dulu. Aroma rumah sakit itu, aku tidak suka.”
“Baiklah. Tunggu aku. Tidak akan lama,” ucapnya.
Saat lelaki itu melangkah masuk ke dalam, Mira memandanginya hingga tidak terlihat lagi. Ia kemudian kembali menikmati tehnya dengan santai. Dipandanginya tanaman-tanaman yang ada di taman ini. Cukup terawat. Saat ini Mira sedang berpikir langkah apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Setelah berbincang dengan Wina tadi, ia menilai kalau perempuan itu cukup bisa diandalkan sebagai keran informasi. Akan tetapi bisa saja timbul masalah jika Wina memberitahu Ananta. Mira ingin agar lelaki itu tetap lengah. Dengan begitu Mira bisa menjalankan rencananya. Karena pada dasarnya, Ananta bisa melakukan apapun dengan mudah untuk menghancurkan Mira. Jadi Mira benar-benar harus berhati-hati.
Lelaki itu datang lima belas menit kemudian. Dengan kaus hitam polos dan celana selutut. Rambutnya masih nampak basah. Jelas sekali lelaki itu terburu-buru agar bisa kesini.
Ananta duduk di kursi depan Mira dan kemudian menatap cangkir yang ada di atas meja.
“Apa besok kau sibuk?” tanya Ananta.
“Kenapa?”
“Aku cuti besok.”
Mira tidak peduli mau lelaki itu cuti atau apapun. Ia menatap Ananta lekat. Melanjutkan pikirannya tentang apa sebenarnya alasan lelaki itu menahannya dalam pernikahan ini. Mira sungguh ingin tahu apa yang Ananta pikirkan.
Ia kemudian meminum tehnya sambil tetap menatap Ananta.
“Berhubung besok cuti. Aku ingin jalan-jalan bersamamu," ucap Ananta.