Bab 1 Awal Mula
"Selamat pagi, Mbak Moza," sapa Jolin dan Erika bersamaan. Mereka merasa tidak enak hati karena datang lebih siang daripada atasannya.
Yah, siapa yang tidak kenal dengan supervisor keuangan termuda di perusahaan Jaya Group, Moza Fiorela. Wanita yang hidupnya hanya diabdikan untuk pekerjaan. Di usianya yang kedua puluh sembilan tahun, ia terbilang berhasil mencapai jenjang karier yang tinggi di perusahaan peternakan ayam terkemuka itu.
Wajahnya cantik dengan tubuh langsing dan kulit yang putih bersih sebening salju. Moza juga memiliki bulu mata yang lentik meskipun kelebihannya itu kerap kali tersembunyi di balik kacamata minusnya. Namun dengan segala kelebihan parasnya, pria tetap enggan untuk mendekati Moza karena takut melihat penampilannya yang serius dan terkesan dingin. Tapi tak dapat dipungkiri bahwa ia memiliki prestasi yang cukup membanggakan di perusahaan.
Moza berhasil memperbaiki sistem pencatatan piutang menjadi lebih efektif. Ia juga mampu membantu Pak Roby, sang manajer keuangan untuk menaikkan performa departemen finance.
Moza juga terkenal gigih dalam membela anak buahnya dari serangan departemen lain. Khususnya departemen marketing yang sering beradu pendapat dengan mereka. Bagaimana tidak, para stafnya yang sebagian berasal dari generasi Z itu belum punya banyak pengalaman. Jiwa muda membuat emosi mereka labil. Mudah sekali terbakar emosi, ngambek dan putus asa dalam pekerjaan. Karena itu sebagai pemimpin, Moza berusaha melindungi mereka semaksimal mungkin. Dan itulah yang membuat stafnya sangat menghargainya, terkecuali adiknya sendiri, Maira.
Moza melirik ke arah Jolin yang wajahnya terlihat begitu lesu. Biasanya gadis mungil itu tampak ceria dengan wajah ovalnya yang dihiasi make up dan lipstik berwarna peach. Bertolak belakang dengan Erika yang tomboy dan jarang sekali memperhatikan penampilannya.
"Lin, kenapa pagi-pagi cemberut?" tanya Moza mencoba menyelidiki. Ia takut suasana hati Jolin yang sedang buruk akan mempengaruhi kinerjanya hari ini.
"Aku baik-baik saja, Mbak."
"Biasa habis putus cinta dia, Mbak," sahut Erika nyengir.
Moza hanya tersenyum mendengar jawaban enteng dari Erika.
Di belakang Erika menyusul Herel, staf pria terbaik yang menjadi andalan Moza. Usia Herel hanya terpaut dua tahun lebih muda darinya. Selain berparas tampan dan berkarakter lembut, ia juga handal dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Tak heran jika Herel menjadi favorit para gadis di kantor itu.
"Pagi, Mbak," ucap Herel duduk di mejanya. Meja Herel letaknya paling dekat dengan Moza.
Moza mengangguk sambil tersenyum kepada Herel.
Setelah semua stafnya berdatangan, kini hanya satu hal yang dipikirkan Moza. Dimanakah keberadaan Maira, adiknya.
"Kurang lima belas menit lagi briefing akan dimulai, tapi Maira belum muncul juga. Bagaimana jika dia sampai terlambat untuk ketiga kalinya? Pak Roby pasti akan meminta bagian HRD untuk memberikan Surat Peringatan."
"Selamat pagi semua," ucap Pak Roby menyapa anak buahnya.
Suara Pak Roby bagaikan sirine yang mengejutkan telinga Moza.
"Moza, panggil anak-anak untuk berkumpul. Sebentar lagi briefing pagi kita mulai."
"Iya, Pak."
Pak Roby berlalu masuk ke ruangannya, sementara Moza melirik jam dinding dengan gelisah.
Tidak ada yang bisa dilakukannya saat ini selain mematuhi perintah atasannya.
"Mbak, ada apa?" tanya Herel memandang ekspresi Moza yang tampak cemas.
"Tidak ada, Rel."
Moza berdiri dari kursinya lalu bertepuk tangan dua kali sebagai pertanda dimulainya briefing.
"Ayo kita semua kumpul untuk briefing," seru Moza berjalan ke tengah ruangan.
Sebelum membuka briefing, Moza melihat gerak-gerik Pak Roby dari balik jendela kaca. Atasannya itu sudah bersiap-siap keluar dari ruangan. Artinya ia tidak memiliki alasan lagi untuk mengulur-ulur waktu.
"Satu, dua, tiga, empat...."
Moza menghitung di dalam hati derap langkah kaki Pak Roby. Jantungnya hampir meloncat keluar saat Pak Roby semakin mendekat.
"Cekrekkk," terdengar handle pintu dibuka dengan keras.
Semua mata beralih memandang gadis berambut panjang yang memasuki ruangan itu.
Warna cat rambut yang mencolok dipadu lensa mata kecoklatan yang senada dengan warna rambutnya, sungguh cocok membingkai wajah manis gadis itu. Ditambah tubuhnya yang sintal dan gaya berpakaian yang menggoda, membuat para pria tak lepas untuk memandangnya.
"Pagi Kak Moza," sapa gadis itu memamerkan senyumnya.
"Maira, kenapa baru datang? Briefingnya hampir saja dimulai," kata Moza setengah berbisik.
"Maaf, Kak Moza, aku bangun kesiangan. Tapi nggak usah terlalu berlebihan. Yang penting aku nggak terlambat kan," balas Maira acuh tak acuh.
Maira nampak tidak merasa bersalah sedikitpun pada kakaknya.
Moza menatap sejenak tas yang dibawa Maira. Sebuah tas kulit berwarna hitam yang begitu elegan. Walaupun Moza tidak terlalu mengetahui merk-merk tas mahal, namun ia cukup yakin jika tas yang dibawa adiknya itu berharga jutaan rupiah.
"Dari mana Maira mendapatkan uang untuk membeli tas mahal itu? Harga tas itu mungkin lebih tinggi daripada gajinya sebagai karyawan magang,"
gumam Moza bertanya-tanya.
"Kenapa belum dimulai briefingnya, Moza? Bukankah semuanya sudah datang?"
Pertanyaan Pak Roby membuyarkan lamunan Moza.
"Eh, iya, Pak, maaf. Saya mulai sekarang."
"Selamat pagi, semuanya. Sebelum kita mulai briefing hari ini saya akan membacakan visi dan misi perusahaan lalu dilanjutkan dengan mengucapkan sepuluh nilai budaya kerja Jaya Group," ucap Moza memulai rutinitas paginya.
Jaya Group memang terkenal disiplin dengan nilai-nilai perusahaan. Ditambah penerapan standar SOP yang sangat ketat di setiap departemen sejak dua tahun terakhir. Semua karyawan diwajibkan menghafalkan budaya perusahaan dan SOP masing-masing departemen di luar kepala.
Tidak cukup hanya diulang setiap pagi, tes tertulis pun dilakukan setiap akhir tahun untuk memastikan tidak ada karyawan yang mengingkari peraturan perusahaan. Hasil tes tertulis itu juga akan mempengaruhi pertimbangan kenaikan gaji.
Desas desus mengatakan bahwa putra kedua sang owner-lah yang mencanangkan program tersebut. Meskipun dia berada di luar negeri, namun campur tangannya tidak bisa dihindari. Hingga saat ini belum ada seorang karyawan pun yang pernah melihat wajah salah satu pewaris kekayaan Jaya Group itu. Bahkan hanya segelintir manajer yang mengetahui siapa nama aslinya.
Pak Roby mengambil alih pembicaraan. Sebelum memberikan pengumuman, ia mengelus bagian depan dahinya yang terasa klimis.
"Saya ingin mengumumkan kepada kalian bahwa kedatangan direktur keuangan kita yang baru akan dipercepat. Besok Beliau sudah mulai datang ke kantor."
Mata para staf membelalak mendengar kabar mengejutkan itu, termasuk Moza. Wajah mereka nampak gelisah kendatipun bibir mereka terkatup rapat. Mereka sudah membayangkan bagaimana wajah galak sang direktur yang notabene adalah salah satu kerabat owner Jaya Group.
Bahkan khayalan Moza lebih menakutkan. Dalam bayangannya sang direktur adalah pria berusia setengah baya dengan perut buncit, kacamata tebal, dan memiliki seringai yang menyeramkan.
"Karena itu kita harus mempersiapkan diri dengan baik. Seluruh dokumen, voucher, maupun laporan harus kalian lengkapi hari ini. Saya rasa direktur keuangan kita akan langsung mengecek dan mempelajari beberapa laporan besok."
Pak Roby mengalihkan pandangannya kepada Moza.
"Moza, hari ini kamu pastikan semua staf siap dengan data dan laporan masing-masing."
"Baik, Pak," jawab Moza penuh keyakinan.
"Apa ada pertanyaan?" tanya Pak Roby memandang stafnya secara bergantian.
Dendi, staf bagian hutang yang berpembawaan kocak itu menaikkan tangannya.
"Maaf, Pak, saya mau bertanya. Dari seminggu lalu Bapak mengatakan kita akan kedatangan direktur keuangan baru. Tapi Bapak belum menyebutkan namanya. Nanti kita panggil Beliau siapa, Pak? Takutnya saya salah sebut . Misal namanya Pak Anton, eh saya panggil Pak Budi, nanti saya bakal kena SP," ujar Dendi memiringkan kepalanya.
Staf yang lain hanya tertunduk sambil menahan tawa mereka.
Pak Roby meraba bagian kumisnya yang baru saja dicukur dengan jari telunjuk.
"Oh, jadi saya belum memberitahukan nama Beliau. Oke, kalian ingat baik-baik ya. Nama direktur keuangan kita adalah Bapak Arlo Christian Sasongko."
Dahi Moza berkerut ketika mendengar Pak Roby menyebutkan nama sang direktur keuangan.
"Arlo Christian, kenapa nama itu sepertinya familiar untukku? Tapi dimana aku pernah mendengarnya?"
pikir Moza mencoba mengingat-ingat.