Prolog
Prolog
Tangannya bergetar, jemarinya bersimbah darah segar. Perlahan genggamannya pada pisau itu merenggang. Matanya tak berkedip sama sekali ketika melihat tubuh lelaki yang ada di hadapannya itu menghantam lantai keramik yang lembab itu. Gadis itu menekan dalam-dalam bagian perutnya yang juga bersimbah darah karena luka tusukkan. Pandangannya beralih pada lelaki yang lain, yang ia dorong sekuat tenaga agar tak terkena tusukkan pisau.
"Kakak!"
Gadis kecil itu berlari memghampiri kakaknya yang tergeletak bersimbah darah.
"Bangun kak! Aku mohon bangun!"
"A-apa dia mati?"
Pandangan gadis kecil itu kini beralih pada lelaki yang nafasnya hampir terputus karena pisau yang ditusukkan oleh gadis bermabut biru yang ia panggil kakak tadi. Gadis itu menelan ludah dalam-dalam, merasa puas akan apa yang telah kakaknya lakukan. Ia berharap malam ini semuanya akan berakhir, semua hutang budi yang melekat dalam hidupnya dan juga kakaknya pun sudah terputus. Jika lelaki itu meninggal, maka bebannya akan terlepas. Hidupnya akan bahagia. Tak akan ada lagi yang mengganggunya.
Satu tusukkan nyatanya tidak lantas membuat lelaki itu melepas nyawanya, ia masih sanggup untuk menggerakan mulutnya, mengumpat sekuat tenaga karena pada akhirnya dialah yang harus mengakui kekalahannya. Tertusuk, mati, di tangan gadis itu.
Samar terdengar sirine ambulance berbunyi, gadis berambut biru itu perlahan mulai kehilangan kesadarannya. Tangannya tak lagi menahan aliran darah yang masih keluar dari luka tusuknya.
"Kakak jangan tinggalin aku, Kak, bangun aku mohon, kak!" Tangan gadis kecil itu terus mengguncangkan tubuh kakaknya yang tergeletak lemas di lantai.
"Anna Bangun!"