Tiga tahun setelah kematian,
Pagi masih begitu gelap, matahari masih tertinggal jauh di belakang bulan yang hampir tertelan langit pagi.
Eza Rahardian sudah sampai di sebuah pemakaman, tempat ternyamannya selama tiga tahun belakang ini. Tempatnya meluapkan segala emosi yang tidak bisa katakan pada siapapun. Bahkan pengobatan dan terapi bersama psikiater tak bisa menyelamatkan Eza.
Justru duduk di samping nisan kekasihnya, mampu membuat Eza lega. Meski tak segalanya bisa Eza luapkan, namun Eza bisa sedikit melegakan hatinya.
Meski kedatangan Eza ke makam setiap hari tak lantas membuat kekasihnya itu terbangun, namun Eza berharap kalau dari surga kekasihnya akan tau, bahwa Eza tak pernah melupakannya. Eza selalu ingat pada kekasihnya itu meski sekarang mereka berpisah dan tak lagi ada di dunia yang sama.
Seikat bunga mawar di genggamannya. Suara lonceng yang terkena hembusan angin menemani langkah Eza menuju tempat peristirahatan terakhir sang kekasih. Eza terlanjur menyukai suasana pemakaman di pagi hari. Kebetulan dari tempatnya ia berdiri saat ini, ia bisa memandang matahari yang hendak terbit. Ucapan selamat pagi, yang terhalang dan tak bisa disentuh.
"Selamat pagi,"
Eza menaburkan kelopak bunga mawar merah kesukaan kekasihnya itu. Perlahan tangannya bergerak, dari bagian atas hingga bawah. Semoga kekasihnya tersenyum di atas sana, itulah harapan Eza jika dirinya datang ke makam kekasihnya itu.
"Kamu senyum,"
Tangannya berhenti menaburkan kelopak bunga, kini ia mengelus nisan yang bertuliskan nama lengkap kekasihnya itu.