14 Tahun kemudian…
Awan semakin menghitam, seiring turunnya rintik hujan. Entah kenapa, hujan mudah sekali membuat hati Lyra menjadi sedih. Mata Lyra menatap dari dalam jendela Klinik, ke arah tempat proyek pembangunan di sebrang Klinik yang masih beralaskan tanah liat yang basah, karena hujan turun mulai deras. Teringat kembali masa itu, tidak ada satu orangpun yang berada di samping Lyra kecuali keluarganya. Ya, hingga saat ini Lyra berdiri sebagai seorang Dokter Gigi di sebuah Desa yang jauh dari tempat tinggal Lyra sebelumnya. Sejak kejadian itu, Lyra dan keluarga pindah ke Pedesaan.
“Ra,” membuyarkan lamunan Lyra “ada pasien,” ujar seorang Suster yang tak lain adalah sahabatnya, Zanna Kirania. Mereka bertemu ketika Lyra baru membuka Klinik dan membutuhkan seorang Suster, saat itulah Zanna datang untuk melamar pekerjaan.
“Oh, iya. Silakan masuk,” jawab Lyra yang sedikit kaget.
“Ibu Nina mempunyai keluhan sakit gigi geraham bagian bawah sebelah kiri,” ucap Zanna sambil memberikan catatan keluhan pasien kepada Lyra.
“Oke, Bu. Di lanjut sama Dokter ya,” sambung Zanna kepada pasien sambil melangkah keluar ruangan, tidak lupa dengan senyum manisnya.
“Buka mulutnya, Bu. Saya cek dulu,” kata Lyra sambil mengecek kondisi gigi pasien, Lyra menganggukkan kepala seolah langsung tahu apa penyebab sakit gigi pasien.
“Gigi geraham Ibu mengalami Impaksi Gigi atau Gigi Terpendam, yang kondisi gigi terjebak di dalam gusi. Impaksi Gigi ini terjadi ketika gigi bungsu Ibu tumbuh tidak sempurna,” ucap Lyra menjelaskan.
“Jadi gimana, Dok? sakit banget soalnya,” keluh pasien.
“Sakitnya itu di sebabkan karena sisa makanan yang tersangkut dan karena posisi yang sulit untuk di jangkau sikat gigi, jadi bakteri lebih mudah masuk dan menyebabkan rasa nyeri dan bengkak pada gusi,” jelas Lyra sembari pasien mendengarkan.
Lyra terdiam sejenak memikirkan tindakan yang akan dilakukan.
“Di takutkan Impaksi Gigi ini membawa dampak buruk bagi gigi lainnya, saya sarankan untuk tindakan pencabutan gigi, gimana Bu?” tanya Lyra.
“Baik, Dok. Silakan,” jawab pasien.
Hanya beberapa menit saja, pencabutan gigi pasien selesai. Lyra memang terkenal sebagai Dokter Gigi yang sangat handal.
“Ini saya kasih obat untuk pereda nyeri ya, Bu. Takarannya sudah saya tulis. Jangan lupa untuk periksa gigi yang rutin minimal 6 Bulan sekali untuk mengecek kondisi gigi.”
“Iya, Dok. Terima kasih, saya permisi.” Sembari keluar ruangan.
“Sama-sama, Bu. Silakan,” jawab Lyra dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya.
Satu pesan masuk ke ponsel Lyra. “Ra, kalau sudah beres pekerjaanmu, cepat pulang ya. Ada orang yang mau ketemu. Ibu dan Ayah tunggu kamu di rumah.”
Semenjak Lyra buka Klinik, dia menyewa rumah yang dekat dengan Kliniknya. Agar terhindar pula dari ocehan Orangtua terutama Ibunya yang selalu meminta Lyra untuk segera menikah.
Mengingat usia Lyra sudah menginjak 32 tahun, keluarga menjadi was-was dan sering menjodohkannya dengan banyak laki-laki. Namun tidak ada satupun yang mencuri hati Lyra.
Huuffttt!
Lyra menghela napas seolah tahu dia akan di kenalkan dengan laki-laki.
“Maaf, Bu. Hari ini Lyra sibuk, kayanya gak bisa ke rumah Ibu dulu,” balas Lyra.
“Dari pagi kamu kelihatan suntuk banget deh, Ra,” ucap Zanna yang berdiri di depan meja Lyra.
“Biasa, orang rumah,” jawab Lyra dengan nada malas.
“Ya, makannya kamu itu kalo cari pacar jangan terlalu pemilih.” Kata sahabatnya itu.
“Siapa juga yang pemilih? Yang penting bibit, bebet, bobotnya itu baik. Udahlah, kita cari makan aja yuk! Laper,” ajak Lyra.
“Di luar kan masih hujan, kita pesan makanan aja nanti di antar sama kurirnya kesini,” jelas Zanna.
“Yaudah,” jawab Lyra singkat, karena lagi malas keluar.
Dua puluh menit kemudian kurir pengantar makanan datang.
“Pesanan makanan ….” Suara kurir yang sedikit teriak.
“Oh iya, Mas. Jadi berapa semuanya?” jawab Zanna sambil memegang dompet hendak mengeluarkan uang. Sedangkan Lyra, dia terus menatap kurir itu seolah memiliki magnet yang membuat tidak bisa lepas pandangannya.
“Semuanya 75.000 ya mba,” ucap kurir itu yang tidak menghiraukan adanya Lyra.
Zanna memberi uang 100.000 ke kurir itu, “ambil saja kembaliannya,” kata Zanna.
Namun kurir itu menolak dan memberikan kembalian nya “tidak usah mbak, terima kasih,” ujar kurir itu sambil bergegas keluar dari Klinik.
Evans Zayyan, itulah nama kurir pengantar makanan dari sebuah Restoran Ayam Goreng Spesial yang terkenal di daerah itu. Seorang pemuda pekerja keras yang memiliki lesung pipi di sebelah kiri, suka memakai kemeja tanpa di kancing dan kaos putih di dalamnya. Memilik sifat humoris dan murah senyum kepada siapapun, yang membuat setiap orang akan langsung menyukainya.
Hari mulai senja, sudah waktunya Klinik tutup. Lyra dan Zanna bersiap untuk pulang, mereka pulang berjalan kaki karena jarak Klinik dan rumah yang tidak terlalu jauh. Dan mereka pun bisa menikmati sejuknya Pedesaan.
Tidak di sangka, di jalan mereka melihat Evans yang sedang asik bercengkrama dan tertawa dengan para Nenek yang hendak berangkat ke Masjid.
“Kalau sampe aku tahu Nek Imah makan daun singkong lagi, yang membuat kambuh asam uratnya. Aku akan gendong sampe depan Masjid,” ujar Evans kepada Nek Imah di depan Nenek lainnya.
“Kamu ini pinter banget goda Nenek-nenek, Aku masih kuat kok kaya jaman aku gadis,” ucap Nek Imah yang di sambut dengan gelak tawa teman-temannya.
Evans memang sudah terbiasa mengobrol dengan para Nenek, sekedar menghibur mereka. Lyra yang semakin tercuri perhatiannya kepada Evans seolah rasa penasarannya semakin membesar.
Pagi itu di Klinik, Lyra terus menatap jam dinding hanya untuk menunggu jam makan siang. Dan ketika tahu sudah waktunya jam makan siang, Lyra begitu antusias dan belum sempat di tanya oleh Zanna, Lyra langsung menjawab.
“Aku mau ayam goreng dari restoran yang kemarin. Dan di anter saja sama kurir nya, ya”.
“Oke,” jawab Zanna yang sedikit merasa aneh.
Dengan hati riang Lyra berharap Evans yang mengirim makanan. Dan benar saja, Evans pun datang.
“Pesanan makanan ….” Dengan nada sedikit tinggi seperti biasanya. Namun kali ini Lyra yang menerima dan membayarnya.
“Oh, Iya. Aku mau es moccachino, ada kan?”
“Ada. Mau pesan lagi?” tanya Evans.
“Iya,” jawab Lyra dengan senyumnya yang paling manis.
“Oke, aku segera kembali. Mohon di tunggu ya,” ujar Evans sambil melangkah keluar Klinik.
Sejak saat itu, Lyra setiap hari selalu memesan makanan ke Restoran tersebut. Dan bukan hanya sekali dalam sehari, bahkan sampai 5 kali dia pesan makanan atau minuman agar dia bisa lebih sering bertemu Evans.
Semakin lama hubungan mereka semakin dekat dan sempat bertukar nomor ponsel. Bahkan pulang dari Klinik sengaja Evans antar Lyra sampai depan rumahnya.
“Besok malam aku jemput ya,” ujar Evans.
“Boleh. Yaudah, aku masuk ya,” jawab Lyra sambil melambaikan tangan.
Basok malamnya, Evans mengajak Lyra ke Bazar Desa, kebetulan malam itu adalah Malam Tahun Baru. Ramai sekali penduduk Desa berbondong-bondong untuk menikmati Malam Tahun Baru, begitupun dengan mereka berdua. Menyaksikan indahnya kembang api yang menggambarkan isi hati mereka berdua.
Duduk berdua sambil menikmati cappuccino hangat di temani dengan semilir angin yang khas Pedesaan, sangat menambah suasana romantis malam itu.
“Aku orangnya tidak bisa basa-basi,” ucap Evans membuka obrolan “jujur. Pertama aku melihat kamu, aku langsung mengira kalau kamu orang yang sedikit angkuh. Karena biasanya wanita karir sepertimu kebanyakan memilik sifat itu. Tapi aku salah.”
Evans mengatur napasnya karena dia tidak pandai merangkai kata-kata “kamu orang yang sederhana, dan entah kenapa kamu selalu ada di pikiranku. Itu sangat menggangguku. Jadi, sekarang aku mau hidupku lebih tenang dengan tidak menahan ini semua. Mau kah kamu menjadi pendamping sekaligus teman hidupku?” dengan memegang tangan Lyra.
Dengan jantung yang berdegup kencang, Lyra tidak bisa berkata apapun. Memang ini yang Lyra harapkan, tapi apakah ini tidak terburu-buru? Untuk menjadi sepasang kekasih bahkan ke jenjang pernikahan adalah hal yang harus di pikirkan matang-matang.
“Aku belum bisa menjawab sekarang Vans, beri aku waktu,” jawab Lyra sambil menunduk.
“Iya, gapapa kok. Aku juga tidak ingin kamu terburu-buru,” ucap Evans dengan wajah yang terlihat sedikit kecewa.