Tiga tahun kemudian....
Wendy sedang membersihkan kamar dan melipat selimut yang sudah lama dia gunakan, dia melipat selimut dan membawanya ke keranjang kotor yang ada di sudut kamarnya, pintu kamar sengaja dia buka dengan lebar.
"Bundaaa, makanan Ino udah abis." Teriak Lino dari meja makan.
Ya, dia sengaja membuka pintu kamarnya agar teriakan Lino dapat terdengar dengan jelas Wendy menyahut dan segera menyelesaikan tugas-tugasnya di dalam kamar, setelah semua sudah rapih dia baru menghampiri Lino yang berada di meja makan.
"Udah habis? Sayurannya?"
Lino menunjukkan piring yang sudah bersih kepada Wendy, hal itu membuat Wendy tersenyum, karena ternyata anaknya menghabiskan semua makanan yang ada di sana termasuk sayuran yang sudah dia beli khusus untuk Lino.
Sayuran sangat bagus untuk anak yang sedang dalam tahap pertumbuhan dan Wendy dengan sengaja selalu memberi sayuran di setiap makanan Lino, karena sudah terbiasa diberikan sayuran anak laki-laki itu jadi menyukai sayuran dan tidak menolak semua sayuran yang sudah pernah dia kasih.
"Okee, udah siap berangkat sekolah dong pasti."
Lino mengangguk senang dan segera turun dari kursinya.
Ini adalah hari pertama Lino masuk ke Tadika, dan dia sangat bersemangat karena itu, bahkan tadi malam Lino bercerita tidak bisa tidur karena gugup bertemu dengan teman-temannya nanti.
Wendy mengambil tas yang sudah dipersiapkan tadi malam, dia segera menuju ke dapur dan mengambil kotak bekal berwarna biru muda dan memasukkannya ke dalam tas Lino. Dia menghampiri anaknya dan langsung membantu Lino memakaikan tasnya.
"Lino kan udah bunda bawain makanan yang banyak, kalau ada temannya yang nggak bawa bekal atau kehabisan bekal Lino bisa bagi ke teman-temannya ya."
"Bunda nanti Ino banyak temen ngga?"
Lino mengerjapkan matanya dua kali membuatnya begitu terlihat polos, Wendy agak sedikit menunduk dan mengusap rambut Lino pelan. "Pasti banyak dong, kalau Lino baik pasti bakal banyak temannya, makanya Lino harus baik sama temen-temen Lino."
Lino menarik senyumnya dan segera menjadi riang lagi, "Iya bunda!" Katanya penuh semangat dan Wendy jadi ikut tersenyum.
Dia menggandeng tangan mungil Lino dan mulai melangkah keluar rumah, Wendy mengunci pintu rumahnya dan melihat Lino yang sedang menunggunya di teras rumah.
"Nanti kamu pulang ke rumah bibi Viana ya sayang."
"Iya bunda, Ino udah tau kok."
Wendy tersenyum simpul dan kembali menggandeng anaknya itu, lalu mereka pergi bersama ke Tadika tempat di mana Lino akan bersekolah. Wendy sengaja tidak memilih Tadika yang jauh dari rumah, dia lebih memilih Tadika di dekat rumahnya karena Lino bisa pulang sendiri tanpa harus dijemput dengan dirinya, dia tidak bisa menjemput Lino karena harus bekerja dan mau tidak mau anak itu harus pulang sendiri, biasanya dia akan ke tempat bibi Viana sampai Wendy pulang dari pekerjaanya.
Biasanya dia akan pulang sekitar pukul delapan atau sembilan malam, dan Lino sudah sangat mengerti pekerjaan Wendy dan memaklumi semuanya, dia juga sangat dekat dengan bibi Viana yang sudah mereka anggap seperti keluarga mereka sendiri.
Selama di perjalanan Lino terus mengenggam erat tangam Wendy mungkin karena dia gugup dan bingung harus bagaimana saat bertemu dengan teman-temannya nanti.
Wendy yang merasakan kegugupan Lino hanya tersenyum dan melihat wajah Lino yang memang sangat gugup, "Lino takut?"
Anak laki-laki itu langsung menoleh dan melihat Wendy dengan wajahnya yang tampak khawatir, perlahan anak itu mengangguk pelan dan menjawab, "Iya bunda."
Wendy segera melangkah menghadap anaknya dan memegang kedua pundak Lino, "Lino pasti punya banyak teman, pasti teman-teman Lino suka sama Lino, Lino jangan takut ya."
Anak laki-laki itu mengangguk pelan setelah mendapat semangat dari ibunya, Wendy ikut tersenyum dan kembali mengenggam tangan Lino dan mereka kembali melanjutkan perjalanannya, karena sebenarnya sedikit lagi mereka sudah hampir sampai.
Setelah beberapa menit akhirnya mereka sampai di depan Tadika yang akan menjadi tempat Lino untuk belajar, Wendy melepaskan genggaman tangannya saat seorang guru muda menghampiri mereka.
"Lino ya?"
"I-iya bu."
Wendy melihat Lino yang agak gugup, dia tersenyum dan mengusap kepala anaknya pelan, "Tolong jaga Lino ya bu, dan tolong bimbing Lino supaya dia bisa mengerti dengan pelajarannya."
Guru muda yang bernama Amanda itu mengangguk dan menjulurkan tangan kanannya untuk menggandeng Lino, "Ayo Lino sama ibu."
Lino melihat tangan Amanda yang terlulur padanya dan melihat Wendy secara bergantian, Wendy mengangguk meyankinkan Lino kalau dia harus segera meraih tangan gurunya dan masuk ke dalam Tadika, dan juga meyakinkan kalau semua ini tidak apa-apa.
Lino melihat Amanda dan tangan mungilnya menyentuh tangan Amanda yang terlurur padanya, dengan cepat Amanda tersenyum dan langsung mengenggam tangan mungil Lino.
"Lino bilang apa dulu sama bunda." Amanda melihat Wendy yang berdiri di hadapannya.
"Dadah bundaa." Kata Lino lesuh tak bersemangat karena dia terlalu gugup, Wendy tersenyum, "Lino semangatt!!" Seru Wendy membuat Lino perlahan menaikkan senyumnya dan mengangguk pelan.
"Dadah bundaaa." Kata Lino lagi tapi kali ini dengan semangat dan sambil melambaikan tangannya, Wendy yang melihat itu membalas lambaian Lino dan melihat mereka yang berbalik badan dan masuk ke dalam Tadika.
Wendy menghela nafas saat melihat Lino yang sudah masuk ke dalam Tadika, dia masih bergeming di sana tidak mau meninggalkan Tadika. Wendy merasa waktu sangat cepat berlalu, anaknya yang sangat dia cintai itu sudah tumbuh dan berusia lima tahun, padahal rasanya baru kemarin dia melihat Lino berjalan untuk pertama kalinya, tapi kini anak itu bahkan bisa berlari.
Wendy tersenyum tipis, kini dia merasakan apa yang semua ibu rasakan, walaupun usianya masih muda dan sudah memiliki anak berusia lima tahun, dia sama sekali tidak menyesal telah mengorbankan masa mudanya demi merawat dan membesarkan Lino.
***
Laki-laki yang duduk di tengah meja makan sudah muak dengan ocehan wanita paruh baya yang ada di sampingnya sambil memotong daging steak wanita itu mengoceh membuat selera makan laki-laki itu hilang. Niat Lucas ke sini untuk datang berkunjung malah diberi banyak ceramah oleh ibunya sendiri.
"Kamu kapan menikah? Liat tuh anaknya temen mamah udah pada nikah semua bahkan mereka udah pamer cucu tapi mamah mah apa yang mau dipamerin? Anak satu-satunya juga belum nikah, masih asik sama kerjaanya."
Kan? Lagi-lagi seputar pernikahan yang Lucas tidak tau kapan berakhirnya drama percintaan dirinya, dia sudah sangat pusing dan lelah untuk mencari seorang perempuan yang ingin hidup bersamanya, bukannya tak ada yang mau tapi entah kenapa standar Lucas mencari seorang perempuan mempersulit dirinya sendiri untuk menikah.
"Nanti aku nikah sama kerjaan aku aja ya mah." kata Lucas santai sambil memasukkan potongan steak ke dalam mulutnya.
"Cas, omongan doa loh."
"Nggak jadi."
"Bisa-bisa kamu jadi perjaka tua."
"Mama nih, doainnya yang bagus-bagus kenapa."
Mamahnya hanya menghela nafas dan kemudian membanting garpu serta pisau ke atas piring dengan perasaan jengkel, bagaimana bisa anaknya malah bercanda disaat seperti ini.
"Kamu mau sampai kapan Cas?"
"Apa?" Lucas menatap polos mamahnya.
"Berhenti jadi anak kecil."
"Aku udah gede."
Mamahnya memutar bola mata malas dan langsung berdiri dari tempat duduknya melangkah pergi dari meja makan menjauhi Lucas yang tinggal sendirian di sana. Lucas melihat punggung mamahnya dan tersenyum kecil, caranya kali ini berhasil untuk menghindar dari pertanyaan mamahnya yang sudah bawel tentang calon istri untuknya kelak.
Saat sedang asik memotong steak kembali, ponselnya berdering dan layar menyala ada satu pesan dari ibunya yang belum dia baca, maka Lucas langsung membuka pesan itu dan terkejut melihat isi pesan yang membuatnya meringis.
Mama : Datang ke restoran biasa, kamu udah mamah daftarkan di biro jodoh! JANGAN KABUR LAGI, UMUR KAMU SUDAH 28 TAHUN POKOKNYA BODO MAMAH MAU MANTU!
Lucas menghela nafas kasar saat membaca pesan yang berisi ancaman dari mamahnya, memang mamahnya sudah berkali-kali mendaftarkan dirinya ke biro jodoh dan bertemu dengan beberapa gadis tapi Lucas sama sekali tidak tertarik dan gadis-gadis itu tidak ada yang membuat Lucas penasaran, mereka semua sama pasti dari keluarga kaya dan terlalu menjaga imagenya.
Seperti gadis yang sudah ada di hadapannya sekarang, Lucas sudah datang di restoran yang dimaksud ibunya itu dan berhadapan dengan seorang gadis cantik dengan pakaian yang terbuka sedang memotong-motong kecil steak.
"Jadi, kamu yang namanya Lucas?"
Lucas terdiam memperhatikan cara makan gadis itu yang bikin Lucas gemas. Gadis itu mengiris daging dengan potongan yang sangaaaaaat kecil dan memasukkan ke dalam mulutnya dengan anggun, Lucas bahkan tak yakin dengan potongan segitu kecilnya gadis itu bisa mengunyak steak yang baru saja masuk ke dalam mulutnya.
"Hei?"
"Ahh-- iya." Jawab Lucas kemudian setelah dia sadar dan kembali fokus kepada gadis yang ada di hadapannya.
"Kamu, lucu."
Lucas bahkan hampir memuntahkan kembali potongan daging yang ada di dalam mulutnya ketika gadis itu tiba-tiba mengatakan Lucas lucu padahal sedari tadi Lucas tidak melawak atau apapun.
"Ah- iya terimakasih."
"Mau tukar nomor telepon?"
"Ah- ehh boleh." Lucas jadi gugup, dia sejujurnya tidak mau mengenal gadis itu terlalu jauh tapi sangat tidak sopan jika menolak.
Gadis itu tersenyum dan mulai menyebutkan nomor ponselnya ketika Lucas meraih ponselnya, dengan cepat Lucas mencatat. "Tulis aja nama aku di kontak kamu."
Mati. Bahkan Lucas sekarang tidak tau siapa nama gadis yang ada di hadapannya ini mungkin karena efek malas mengikuti kencan buta dia juga jadi malas-malasan menjalankannya, karena tidak mau membuat suasana jadi tak enak akhirnya Lucas menamai kontak gadis itu dengan nama 'gadis kencan buta'
"Ahh aku kenyang." Gadis itu menjauhkan piring steak nya dan melihat Lucas dengan senyuman.
Sudah menjadi kebiasaan orang kaya kalau makanan selalu tak dihabiskan, tapi tentunya Lucas bukan tipe yang seperti itu dia adalah pemakan segalanya dan melahap semua makanan yang ada di hadapannya sampai habis, ya itulah Lucas pewaris perusahaan yang sifatnya sangat jauh dibandingkan pewaris perusahaan lainnya. Dia cenderung pria yang humoris dan selalu ceria, bahkan dia tidak peduli dengan imagenya di kantor yang penting semua karyawannya menjalani pekerjaan dengan baik dan dibayar dengan baik pula.
Lucas menghela nafas panjang, dia sudah tidak mau melanjutkan kencan ini lagi saat pertama kali bertemu juga Lucas sudah srek dengan gadis itu.
"Maaf, tapi saya ada urusan saya harus pergi dulu. Dan, terimakasih sudah mau bertemu dengan saya kali ini." Lucas tersenyum dan bangkit dari duduknya, dia melihat gadis itu agak sedikit terkejut dan dengan cepat Lucas membalas senyuman gadis itu dan segera pergi.
Sepertinya mamahnya akan mendengar kabar buruk lagi tentang kencan buta yang sudah diaturnya untuk Lucas.
***
Setelah dibuat malas dengan kencan buta Lucas harus kembali berhadapan dengan macet di Jakarta yang semakin membuatnya muak, bahkan Lucas menobatkan hari ini adalah hari tersialnya, sudah datang ke tempat kencan buta yang tak jelas ditambah harus terkena macet.
Setelah menunggu selama tiga puluh menit akhirnya kini giliran Lucas yang berjalan, dia mengendari mobilnya santai dan kemudian merasakan ponselnya yang berada di saku bergetar. Lucas takut itu adalah telepon penting yang berasal dari kantornya maka dia meminggirkan mobilnya di jalan dan mengambil ponselnya yang ada di dalam saku.
Lucas mengerang kesal saat tau ternyata panggilan itu berasal dari mamahnya, dia ingin menangis saat itu juga karena merasa harinya sangat buruk. Lucas langsung mengangkat dan menempelkan ponselnya di telinga.
"LUCAS!!!!"
Lucas sontak langsung menjauhkan ponselnya dari telinga begitu ibunya berteriak sangat nyaring dan itu hampir membuat gendang telinganya pecah. Setelah beberapa menit saat Lucas yakin kalau ibunya sudah tak beteriak, laki-laki itu kembali menempelkan ponsel ke telinga.
"Maaf nomor yang anda tuju sedang tidak ak-"
"Nggak usah main-main!"
Lucas menyerah.
"Maksud kamu apa main pergi ninggalin Mita hah? Kamu harusnya anterin dia pulang! Kenapa kamu gagalin lagi sih Cas?"
Ohh, jadi nama gadis tadi adalah Mita, Lucas mengangguk walaupun mamahnya tak bisa melihat. "Mah, mamah yakin mau punya mantu kalau pakai baju nggak ada bahan gitu? Luacas aja risih mah dia pakai baju terlalu pendek, Lucas tau sih kalau itu bukan urusan Lucas juga tapi ya dia kan yang akan jadi istri Lucas."
"Emang tipe kamu mau yang mana hah?"
"Yang mana aja, yang mau sama aku."
"MITA MAU KENAPA NGGAK KAMU TERIMA HAH!"
"Mah-"
"Kamu mah ngada-ngada aja biar nggak nikah. Lucas kamu suka sama perempuan kan nak?"
"Mama kenapa ngomong gitu?"
Lucas sudah tak mengerti jalan pikir mamahnya, dia pikir Lucas ini masuk ke dalam kaum penyuka pria? Tidak! Lucas seratus persen normal, hanya saja memang dia belum menemukan calon yang tepat.
"Nanti Lucas bakal cari cewek yang co-"
Lucas menghentikan ucapannya saat tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu mobil belakangnya, dia langsung menoleh ke kursi belakang dan melihat seorang gadis sedang menunduk sambil terisak.
Gadis itu menangis.
"Lucas? CAS!"
Lucas langsung mematikan sambungan telepon ibunya dan melihat gadis tadi. Kenapa tiba-tiba ada seorang gadis yang masuk ke dalam mobilnya, dan kenapa pula gadis itu menangis.
"Tolong antar ke komplek mawar pak, cepet jalan ya pak." Kata gadis itu membuat Lucas melongo. Jadi dipikir gadis ini dia dalah seorang supir, Lucas mau tertawa sekarang.
Dia baru saja ingin memberitahu kalau dia bukanlah supir taxi tapi tak tega saat mendengar suara isakan tangis gadis itu, Lucas pun hanya terdiam, "Baik mbak." Ujar Lucas yang memutuskan untuk menjadi supit taxi bagi gadis itu.
Lucas menjalankan mobilnya sambil sesekali melirik spion tengah, melihat gadis itu terisak sambil menutup wajahnya. Lucas hanya terdiam tak mau bertanya apa-apa dan tak mau membuat gadis itu menjadi tak nyaman.
Lucas semakin yakin kalau hari ini adalah hari sialnya.