Deva menciumi bibir Anila dengan kasar dan cepat, Anila yang diperlakukan seperti itu hanya menerima ciuman Deva dengan pasrah. Tidak hanya itu, Anila juga dengan bodohnya merespon semua ciuman Deva kepadanya. Anila mencium dan meyentuhan Deva dengan hasrat yang sama besar dengan yang Deva berikan kepadanya.
Anila dan Deva sama-sama melepaskan rasa frustasi yang mereka rasakan belakangan ini melalui ciuman dan sentuhan mereka itu. Anila tidak pernah berpikir sebelumnya, bagaimana bisa Anila selalu menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh Deva kepadanya, tanpa ada rasa bosan sekalipun. Anila harus mengakui kalau ciuman dan sentuhan Deva sangat hebat karena mampu membuat kewarasan dan kesadaran Anila runtuh dan hilang begitu saja.
Ciuman Deva perlahan bergerak menuju pada bahu polos Anila. Seluruh pakaian yang tadinya dipakai Anila sudah terlepas. Entah kapan Deva melakukannya dan dimana Deva melepaskannya Anila tidak tau. Anilapun tidak mau tau, yang Anila mau sekarang adalah Deva segera membawanya untuk mencapai puncak kepuasan bagi mereka berdua.
Tidak butuh waktu lama dan banyak cara hingga akhirnya keduanya mencapai puncak kepuasan. Setelah mendapatkan itu semua, Anila akhirnya bisa benar-benar merasakan lelah yang dia inginkan. Lelah itu adalah lelah badan, bukan lelah hati dan pikiran. Belakangan ini dia tidak pernah bisa beristirahat dengan tenang, selalu saja ada yang menggangu hati dan pikirannya, itulah yang Anila maksud dengan lelah hati. Tapi sekarang dia sudah bisa sedikit tenang dan beristirahat karena dia sekarang sudah bersama Deva. Dengan keberadaan Deva, Anila sudah bisa sedikit tenang sekarang.
Mata Anila terpejam lalu secara pelahan masuk kedalam alam mimpinya. Saat Anila sudah terlelap, Deva masih terjaga ditempatnya. Deva kemudian menatap wajah lelah Anila dengan seksama, terlalu banyak hal yang Deva pikirkan belakangan ini. Semuanya yang dipikirkannya itu adalah tentang dia dan Anila. Meskipun telah menggunakan banyak waktu untuk berpikir, Deva tetap tidak bisa menemukan jawaban apapun atas pertanyaanya tentang dia dan Anila. Deva sendiri bingung kenapa dia harus memepertanyakan hubungan dia dan Anila sekarang.
"Gue harus gimana La?" bisik Deva pelan pada Anila yang telah terlelap dalam mimpinya.
***
Jam menunjukkan pukul 5 pagi saat Anila membuka matanya. Saat Anila membuka matanya, Anila langsung menemukan wajah Deva dihadapannya. Hal itu membuat perasaan hangat langsung menjalari hati Anila. Anila kemudian meneliti wajah lelap Deva, semua tentangnya dan Deva terlalu membingungkan dan terlalu rumit sekarang. Itulah yang muncul dipikiran Anila saat memikirkan hubungannya dengan Deva. Bayangan akan Davina yang telah kembali juga semakin memperumit segalanya menurut Anila.
Apakah hanya Anila yang merasa kalau kedatangan Davina itu memperumit semuanya?. Atau tanpa Anila sadari kedatangan Davina sebenarnya akan mempermudah kerumitan hubungannya dengan Deva?
Anila menghembuskan nafasnya, otaknya kembali memaksa dia untuk berpikir keras tentang semua hal yang terjadi belakangan ini. Bagaimanapun Anila harus memutuskannya sekarang kalau dia tidak mau jatuh dan terluka lebih dalam lagi. Menurut Anila, Deva pantas tau keberadaan Davina dan Anila sebagai sahabat yang baik, sudah seharusnya memberitahukannya tentang hal ini pada Deva. Iyakan?.
‘Yaps, pagi ini gue harus ngasih tau Deva soal Davina. Terserah apa yang akan Deva putuskan setelah itu.’ pikir Anila ragu. Anila memang tidak yakin dengan keputusannya ini, tapi dia akan melakukannya untuk Deva. Semuanya demi Deva, Deva-nya.
Baru saja Anila berpikir begitu, getaran handphonenya langsung mengganggu Anila yang tengah berpikir. Dengan pelan diambilnya handphonenya dari nakas, dengan langkah hati-hati dan sedikit berjinjit, Anila mengambil kemeja Deva kemudian memakainya. Barulah Anila berjalan menuju balkon apartemen Deva untuk menerima panggilan itu. Kening Anila mengernyit saat menemukan nomor baru dihandphonenya.
"Hallo?!?" dengan ragu akhirnya Anila menjawab panggilan itu.
"Halo La, sorry ngeganggu tidur lo. Gue Davina," sapa suara orang di seberang sana cukup mengejutkan Anila.
Anila terdiam sebentar sampai suara itu kembali menginterupsinya dengan dehemannya lalu berkata, "La, bisa minta tolong nggak?” tanya Anila berjeda, “Soal gue yang sudah ada di Indonesia, lo bisa sembunyiin nggak dari Deva."
Anila tidak langsung menjawab, baru tadi dia memutuskan untuk jujur dan memberitahu Deva tentang Davina. Sekarang, Davina malah tidak mau Anila memberitahukan keberadaannya pada Deva. Sekarang apa?, Anila bahkan tidak tau harus bersikap bagaimana untuk menghadapi Deva hanya karena permintaan Davina ini.
"La, lo masih dengarkan?" tanya Davina.
Anila berdeham seolah ingin menunjukkan kalau dia masih mendengarkan Davina. Anila lalu mengangguk pelan dan ragu, seolah lawan bicaranya itu ada dihadapannya.
"Iya gue dengar kok Vin," jawabnya.
"Ya udah, kalau gitu gue tutup ya La," pamit Davina mengakhiri teleponnya.
Saat sambungan telepon itu benar-benar berakhir, Davina hanya bisa menghela napasnya berat. Diam-diam Anila memohon di dalam hati, semoga kepulangan Davina memang untuk mempermudah semuanya.
Semoga juga keputusan Anila mengikuti permintaan Davina adalah keputusan yang terbaik buat mereka semua, terutama buat Deva. Lama Anila merenung membuat dia tak sadar akan kehadiran seseorang.
"Lo ada meeting?" tanya suara itu.
Anila terkejut lalu membalikkan badannya lalu tersenyum pada Deva.
"Nggak, gue hanya udah kebangun aja. Jadi mau hirup udara segar," jawab Anila sedikit berbohong tetapi diangguki oleh Deva.
"Gue mandi dulu baru masakin sarapan buat kita," tanpa menunggu balasan Deva, Anila sudah berjalan cepat menuju kamar mandi Deva.
***
Deva menatap sosok Anila yang menghilang di balik pintu kamar mandinya. Sebenarnya sejak Anila beranjak dari tidurnya tadi Deva sudah bangun, tetapi dia memilih untuk tetap diranjangnya dan mengecek handphone yang telah dibiarkannya terbengkalai selama satu minggu ini. Rasa marah, kecewa dan sedih langsung menghampiri Deva saat membaca pesan dan mendengar pesan suara dari orang yang pernah dicintainya itu memenuhi kotak masuk pesan di handphone miliknya. Deva membiarkan pesan itu begitu saja, selain karena masih marah, kecewa dan sedih, Deva tidak yakin harus menaggapi semua pesan itu seperti apa. Deva sendiri tidak bisa mendiskripsikan bagaimana perasaannya sekarang, Deva tidak mau menerima kenyataan kalau seandainya nanti dia masih cinta pada Davina dan akhirnya memaafkan gadis itu dengan mudahnya. Hal lain yang juga membuat Deva tidak tau harus bertindak seperti apa adalah Anila.
Deva harus mempertimbangkan keberadaan Anila sekarang disisinya, Deva merasa kalau Anila masih membutuhkan dia saat ini.
Suasana hening menyelimuti keduanya saat mereka menikmati sarapan mereka. Mereka berdua terlalu sibuk dengan pikiran tentang masalah mereka masing-masing, membuat mereka malas, bahkan untuk memulai sebuah pembicaraan. Saking sibuknya dengan pikir5an akan masalah masing-masing, keduanya sampai tidak sadar kalau mereka telah menyelesaikan sarapan mereka.
"Va gue balik dulu ya, gue mau kerumah mama," Anila bersiap-siap, pikirannya terlalu kacau. Tampaknya Anila butuh istirahat dan menenangkan pikirannya sekarang. Anila butuh istirahat di rumah orang tuanya sekarang.
"Gue antar," Deva menjawab, tapi langsung ditolak oleh Anila.
"Nggak usah, gue sendiri aja,"
"Mobil lo ketinggalan di kantor lo, pokoknya gue antar," Deva ngotot dan segera bersiap.
Sama seperti sarapan tadi, keduanya saling mendiami. Hingga akhirnya mobil Deva memasuki wilayah perumahan tempat tinggal Anila, tubuh Anila menegang dan kaku saat menangkap sosok Davina yang baru saja keluar dari rumahnya. Anila segera menoleh kearah Deva menebak apakah Deva sempat melihat Davina tadi, namun dari wajah datar Deva yang seperti ini, susah buat Anila untuk menebak apakah Deva melihat atau tidak melihat Davina tadi.
Mobil Deva berhenti tepat di depan rumah Anila saat mobil abu-abu milik Davina sudah berjalan pergi. Meski melihat raut Deva yang tenang, datar dan terlihat baik-baik saja, entah kenapa Anila yakin kalau Deva melihat keberadaan Davina tadi. Buat Anila raut wajah Deva saat ini hanyalah topeng pria itu untuk menutupi perasaan dia yang sebenarnya.
Anila segera menggelengkan kepalanya. Dia mencoba menyangkal segala pikiran negatif dikepalanya. Anila berpikir, mungkin saja dugaannya tentang Deva yang melihat Davina tadi, muncul karena ketakutan Anila sendiri terhadap rasa bersalahnya. Dia merasa dihantui oleh rasa dilema yang besar karena harus memilih antara Davina atau Deva. Anila ingin memilih Deva agar dia segera bebas dari rasa bersalahnya, tapi dia ingat dia telah berjanji pada Davina. Itu artinya dia tidak boleh memberitahukan keberadaan Davina pada Devakan?.
"Lo nggak turun?" tanya Deva akhirnya memecah kesibukan berpikir Anila.
Sudah beberapa menit berlalu, sejak keduanya tiba di depan rumah Anila. Tapi Anila malah melihat wajah Deva dengan tatapan kosong. Deva yang merasa dilihat oleh Anila hanya bisa menunggu apa yang ingin katakan kepadanya. Tapi setelah menunggu beberapa menit, Anila tetap diam. Hingga Deva memutuskan untuk menyadarkan Anila dari lamunannya.
Dengan pelan Anila membuka seatbelt miliknya. Sebelum Anila benar-benar turun dari mobil Deva, Anila akhirnya membuka suaranya juga.
"Va, apa yang akan lo lakuin seandainya ternyata Davina sudah pulang ke Indonesia saat ini?” tanya Anila.