CHAPTER 11

1388 Kata
Deva memasuki restoran tempat dia dan orangtuanya janjian, beruntung tadi dia masih sempat mengganti pakaiannya menjadi pakaian tidak terlalu formal. Deva juga tak lupa memberikan pesan pada Anila hari ini dia tidak bisa menjemputnya dan menemaninya. Dia jujur masalah makan malam bersama teman mamanya, tapi sedikit berbohong soal makan malam yang hanya makan malam biasa saja. Deva tidak memberitahu Anila soal dia yang akan dikenalkan pada anak gadis teman mamanya. "Malam om tante," sapa Deva ketika mendapati meja mamanya. Deva sedikit membungkukkan kepala sambil mencium pipi mamanya sambil berbisik. "Sorry ma terlambat" "Ri kenalin ini sulung dari kembar gue, namanya Deva." Grace tidak membuang waktu untuk langsung memperkenalkan Deva yang bahkan baru saja duduk. "Wah ganteng ya Ca, mirip Ghani waktu muda," puji teman mama Deva. Deva hanya tersenyum kecil mendengar pujian itu. Sedangkan suami wanita itu hanya tersenyum kecil melihat kelakuan istrinya. "Iya, anak gue mirip papanya semua, makanya sempat ngambek waktu lahiran. Oh iya Ri Aya mana?" Grace bertanyaan lagi ketika menyadari ada yang kurang dalam makan malam ini. "Oh iya ya, ini anak katanya selepas menutup tokonya bakal langsung menyusul kesini kok. Kayaknya kejebak macet deh," jawab teman mama Deva. Perkataan itu Deva sahuti dalam hatinya, 'Itu jawaban yang paling umum untuk excuse yang paling mudah, ngomong-ngomong.' Deva sudah lumayan bosan sekarang. Tapi dia bukan anak kurang ajar yang akan mempermalukan mama papanya hanya karena merasa bosan. Meski begitu Deva tetaplah anak yang mempunyai banyak cara untuk menghilangkan rasa bosannya sekarang. "Ma, Deva ke toilet dulu ya. Deva kebelet," pamit Deva, mamanya hanya tersenyum untuk memberi ijin pada Deva. Dengan membawa handphone miliknya, Deva berjalan menuju arah taman milik restoran itu. Dia tidak ketoilet, tadi itu hanya alasan pada mamanya karena dia sudah merasa bosan ditengah orang tuanya dan teman orang tuanya itu. Deva melangkahkan kakinya dengan gontai, awalnya dia berniat bermain game, namun diurungkannya saat melihat wallpaper miliknya. Foto Anila dan Deva semasa SD terpasang di wallpaper handphone Deva. Anilalah adalah orang yang memasangkan foto itu di handphone Deva. Alasannya biar Deva tau kalau mereka itu sudah lama sahabatannya. Deva membiarkannya saja, meskipun alasan Anila itu terdengar mengada-ada. Deva mana mungkin lupa soal persahabatannya dengan Anila. Tapi Deva tetap menggunakannya karena dia tipe pria yang malas mengutak-atik setelan handphonenya. Lagipula Deva menyukai foto itu, dia dan Anila terlihat lucu di foto itu. Deva menekan-nekan layar handphone-nya, Deva mencari nomor Anila. Awalnya Deva berniat berkirim pesan saja, tapi dia tau belakang ini wanita itu sering menghilang, membuat dia memilih untuk menghubungi Anila langsung via telephone. Walaupun dia hanya menelponnya sebentar, menurut Deva itu penting untuk memastikan apakah wanita itu sudah diapartemennya atau belum. Deva terlalu sibuk memperhatikan handphonenya sampai tidak menyadari seseorang yang dengan sengaja menabrakkan dirinya pada Deva. "Ohhh sorry," Deva segera meminta maaf saat menyadari menabrak seseorang karena keteledorannya. Namun wajah Deva seketika mengeras saat mendapati siapa yang ditabraknya tadi. Tangannya langsung mengepal kuat, bahkan jantungnya ikut berdetak cepat saking marahnya dia. Dia tidak mau berpikir apakah reaksinya itu karena perasaannya yang menurut Deva belum hilang atau karena perasaan marah dia yang masih sangat besar terhadap orang ini. "Hi Va," suara lirih dan lembut itu semakin membekukan badan Deva. Deva diam, lidah Deva terlalu kelu untuk berbicara dengan wanita itu. Pikirannyapun kosong, Deva benar-benar tidak tau harus mengatakan apa. "Va aku..." Bicceul sodneun sky i ai ya ai Geu Arae Seoun ai i ai Kkumkkudeusi fly My life is a beauty Suara ringtone khusus untuk Anila berbunyi dari handphone Deva, dulu Anila ngotot memasang ringtone ini di handphone Deva untuk nada panggil khusus untuknya. Kesadaran Deva langsung muncul, wajahnya yang tadi kaku langsung dia ubah menjadi datar, Deva bertindak seolah kejadian tadi tidak pernah terjadi. Deva bahkan dengan mudahnya bersikap sebagaimana dirinya yang tenang meski itu hanya pura-pura. Deva langsung beranjak dari restoran itu secepat yang dia bisa. Kakinya melangkah lebar menuju mobilnya diparkiran, namun langkahnya tiba-tiba terhalang saat seseorang mencekal tangannya. "Va, kasih aku kesempatan bicara," pinta suara itu lirih itu. Deva menarik tangannya cepat dengan wajah yang masih sedatar tadi. Setelah itu Deva baru mau berbicara dengan suara rendah tertahan, dia bilang. "Maaf saya tidak pernah berniat membuang waktu saya dengan berbicara yang tidak penting dengan anda. Saya harap anda mengerti dan berhenti menggangu saya dari mulai sekarang," Deva menatap tajam wanita itu sesaat, barulah dia memasuki mobilnya dengan cepat dan segera pergi dari tempat itu. Ada sesak yang Deva rasakan saat melihat airmata wanita itu dari spion mobilnya. "Halo Vo," sapa Deva yang menjalankan mobilnya menuju apartemen Anila. "Ya Va?, kenapa?" balas Divo sedikit tidak jelas karena suara ribut khas mall mengganggu pendengarannya. Deva tau saat ini Diva dan Divo sedang berada di mall untuk menghabiskan malam minggu khas jomlo mereka. Biasanya Deva ikut untuk melengkapi 'The best night weekend of triplet' itu, tapi hari ini dia absen karena janjinya bersama mama mereka. Kebiasaan ini mereka buat sejak mereka duduk di bangku SMA. Kata Diva, mereka perlu melakukan ini untuk menjalin hubungan mereka agar lebih dekat lagi. Padahal semua orang yang melihat ketiga triplet ini akan tau seberapa dekatnya mereka bertiga, bahkan tanpa kebiasaan jalan bersama ini sekalipun. "Gue bisa minta tolong nggak?" Deva tau dia akan kena masalah dengan Grace setelah ini, tapi dia benar-benar tidak sanggup lagi kalau harus kembali ketempat itu lagi. "Lo temani mama papa makan malam," lanjut Deva. Tidak ada jawaban dari Divo untuk beberapa saat, hingga terdengar helaan napas Divo dari seberang. "Gue bantu lo, tapi lo harus kasih tau gue kenapa," ujar Divo. Deva menghela napasnya juga. Kembarannya yang ini memang paling penurut diantara mereka. Divo juga paling peka dan kritis dengan perubahan sikap dia dan Diva, meskipun itu hanya perubahan kecil. "Entar gue kasih tau, gue hanya capek sekarang," kata Deva. Divo hanya diam mendengarkan penolakan Deva untuk menjelaskan alasannya meminta tolong pada Divo sekarang. Tapi Divo tidak protes dengan sikap tidak sopan Deva ini. "Udah dulu ya, see you." Ucap Deva sebelum mengakhiri teleponnya. Lalu Deva mematikan sambungan handphonenya lalu meletakkan handphone itu didashboard mobilnya. *** Mobil Deva memasuki parkiran apartemen Anila, dihentikannya mobilnya disana. Deva lalu memejamkan matanya sejenak sebelum memutuskan untuk berjalan menuju apartemen Anila. "Hi La," sapa Deva ketika Anila membukakan pintu buatnya, setelah dia menekan bel apartemen Anila beberapa kali. Raut wajah Anila mengernyit kebingungan, namun Anila segera tersenyum. Melihat wajah Deva, Anila tau kalau Deva saat ini sedang ada masalah. Raut wajah yang Deva tunjukkan sekarang adalah raut wajah orang yang sedang galau. Anila tau pria itu sedang dalam keadaan tidak baik meski sedang tersenyum sekarang. "Masuk Va." Anila menarik tangan Deva dan pria itu hanya menurut. Tapi belum lagi keduanya sampai di sofa, Deva langsung meluruhkan badannya pada Anila dan memeluk erat tubuh Anila. Membuat keduanya oleng dan terjatuh di atas karpet ruang santai Anila. Beruntung tadi Anila menyingkirkan meja dari tempat itu, hingga mereka tidak terluka karena ulah Deva yang tiba-tiba ini. Anila diam dalam pelukan Deva, Anila mencoba menebak apa yang membuat Deva begini. Anila yakin kalau ini bukanlah masalah biasa karena Deva tidak akan sebegininya kalau itu hanyalah masalah biasa. Dengan pelan Anila mencoba melepaskan tangannya dari pelukan Deva. Setelah berhasil melepaskan tangannya dari kungkungan Deva, kali ini dia yang balas memeluk Deva dengan telapak tangannya mengelus rambut pria itu. Keduanya terdiam lama dengan posisi yang sama saat mereka jatuh tadi. Mereka berpelukan dengan ditemani keheningan diantara keduanya. Ketika Anila diam-diam sibuk mencoba menebak apa yang sedang terjadi kepada Deva. Deva malah sibuk membayangkan wajah putih pucat yang tadi datang menemuinya. Wajah yang selama ini membuatnya tersiksa karena luka hatinya. Bayangan Deva itu membawa segala kenangannya bersama Davina kembali. Dari mulai yang indah sampai yang terburuk, namun semua perasaannya tetap sama untuk semua kenangan itu. Kecewa Tidak peduli dia mencoba berapa kali untuk mengerti dan memikirkannya secara positif, dia tetap tidak bisa menerimanya. Buatnya wanita itu tetap salah apapun alasannya. Pelakuan wanita itu pada Deva terlalu salah untuk bisa Deva pahami dan mengerti, bahkan sampai saat ini. Deva mendongakkan kepalanya, menangkap wajah cantik Anila dimatanya. Bilang dia b******k atau apapun, tapi yang ingin dilakukannya sekarang adalah mengalihkan rasa sakitnya. Untuk sekarang hanya inilah yang mampu dia lakukan untuk mengalihkan rasa sakit dihatinya saat ini. Deva menarik tengkuk Anila, dengan perlahan Deva menyatukan bibirnya dengan Anila. Deva mencoba menyalurkan seluruh rasa pedih, kecewa dan marah dalam hatinya melalui sentuhan-sentuhannya pada Anila. Ya dia memang b******k, b******k yang tidak hanya bodoh tetapi pengecut juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN