"Mau tau aja lo," Diva memutar bola matanya.
Divo yang datang bersama Deva terkekeh karena jawaban yang keluar dari mulut pedas Diva.
"Halo La, udah lama ya nggak ketemu," sapa Divo yang mengambil duduk di sebelah Diva.
"Elo yang terbang mulu, sekalinya lo libur lo ngendap di kamar. Ya udah lama nggak ketemulah," sinis Anila.
Divo dan Diva terkekeh, berbeda dengan Deva yang sedari tadi menatap Anila. Deva seolah menebak apa yang baru saja Diva dan Anila tadi bicarakan. Tapi suara Divo memecah fokus tatapan menyelidik Deva pada Anila. Divo menanyakan apa yang Divo mau pesankan buat Deva. Setelah Divo melihat menu sebentar dia menunjuk pesanannya dan Deva pada waitress, kemudian dia bertanya "Jadi lo sekarang ama siapa La?".
"Nggak sama siapa-siapa. Lagi nyari, lo mau daftar?" dengan asal Anila menjawab.
"Lo mau?" Divo balik bertanya, baru Anila akan menjawab Deva sudah terlebih dahulu memotongnya.
"Gue mau kamar mandi dulu." Anila mengangguk sambil menatap Deva, wajah pria itu tampak keras menahan amarah.
"Deva kenapa?" tanya Divo bingung.
"Mana kita tau, kan lo yang datang baru datang sama dia. Yang ada, kita yang nanya lo," jawab Diva sambil menatap arah dimana Deva menghilang. 'Mungkinkah?' pikirnya dalam hatinya.
***
"Gue nganter Anila pulang dulu. Bilang ke mama gue datang jam 7," begitu pamit Deva pada Divo dan Diva sebelum masuk mobilnya, sedangkan Divo dan Diva pulang kerumah keluarga Hanjaya dengan memakai mobil Diva.
Saat ini Deva dan Anila dalam perjalanan pulang menuju apartemen Anila. Keduanya tidak saling berbicara satu sama lain sejak dari restoran tadi. Barulah ketika Deva membuka mulutnya, pembicaraan mereka terjadi.
"Lo nggak mau bilang sesuatu ama gue?" suara datar Deva memecah keheningan di dalam mobil Deva.
Anila yang tadi memandang keluar akhirnya menoleh, raut wajahnya mengernyit bingung dengan maksud perkataan Deva.
"Bilang apa?" Anila benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud Deva.
"Yang lo maksud di cafe tadi," Deva menahan geramannya.
Pikiran Anila melayang saat memikirkan pembicaraannya saat di cafe yang memiliki kemungkinan membuat pria disampingnya ini bisa marah. Pikiran Anila langsung terpikir masalah Davina. 's**t' haruskah dia yang selalu terjepit diantara kedua manusia ini, keduanya selalu bisa membuat Anila merasa dilema. Merasa terpojok, Anila akhirnya ikut marah juga.
"Kenapa gue harus ngejelasin," Anila balas sambil menahan marahnya.
"Karena itu ada hubungannya ama gue." Deva tidak mau kalah.
Keduanya memilih untuk melanjutkan debat mereka di dalam mobil Deva. Beruntung mobilnya sudah ada diparkiran apartemen Deva. Deva tidak jadi memulangkan Anila keapartemannya. Dia memilih membawa Anila bersamanya saja untuk segera menyelesaikan masalah diantara mereka. Suasana parkiran yang sepi, kaca mobil yang gelap dan posisi mobil yang tidak akan bisa diganggu lagi membuat semuanya mendukung buat Deva dan Anila untuk melanjutkan pertengkaran mereka di dalam mobil itu.
"Karena itu ada hubungannya ama lo?, kenapa lo nggak cari tau sendiri tanpa gue harus kasih tau lo?" Anila menyipitkan matanya. Dadanya naik turun menahan emosinya yang hampir meledak.
"Karena itu lo, gue nggak mau jadi perusak hubungan orang!" Deva menaikkan oktaf suaranya.
Anila terdiam, wajahnya tiba-tiba mengernyit. 'What the hell, Deva perusak?. Bukannya seharusnya dia yang perusak?'
"Maksud lo, ngerusak?" Anila benar-benar bingung sekarang, dia bingung arah pembicaraan Deva.
"Lo udah mulai nyari cowokkan?, lo harusnya bilang biar gue nggak jadi perusak. Lo tau sebenci apa gue kalau sampai jadi perusak hubungan orang" Deva mendesah kasar, menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku mobilnya dan memejamkan matanya.
Anila membelalakkan matanya, bingung antara harus lega atau khawatir. Anila pikir tadi Deva berbicara soal Davina. Anila terdiam tidak tau harus menjawab apa akan perkataan Deva tadi. Pembicaraannya bersama Diva tadi melintas dibenaknya, mengenai perasaannya pada Deva yang sudah kembali. Dukungan keluargan Deva yang ada ditangannya, masalahnya maukah Deva dengannya?.
Jujur, Anila tidak rela Deva kembali bersama dengan Davina. 'Bisakah dia berjuang untuk perasaanya ini?' tanya Anila ragu.
Dengan menekan rasa takutnya dan rasa pengecutnya yang selama ini membuatnya harus bersembunyi di balik nama sahabat, Anila mencoba sedikit peruntungannya dengan memulainya dari sekarang. Anila menggigit bibir bawahnya lalu membuka suaranya.
"Kalau selamanya gue nggak nyari dan nemuin orang itu apa yang akan lo lakuin?" Anila mencengkram pinggiran bangku mobil tempatnya duduk.
Kali ini Anila benar-benar meletakkan semua pilihannya pada jawaban Deva. Dia akan berjuang atau tidak semuanya akan tergantung pada jawaban Deva saat ini.
Deva membuka matanya, menatap kosong sebentar pada daerah gelap diparkiran. Setelah beberapa menit dia melihat keluar, barulah dia memutar badannya dan menatap balik pada mata Anila.
"Apa gue punya pilihan lain selain ngenemanin lo sampai lo nemuin kebahagiaan lo?" Deva melihat mata hitam bulat Anila.
Anila tidak menjawab.
"Gue udah janjiin itu sama elo sejak kecil, meski gue sempat hampir ngelanggarnya. Sekarang itu yang jadi prioritas gue dalam hubungan kita," jawab Deva dengan yakinnya.
Anila menggigit bibir bagian dalamnya, air matanya hampir keluar. Hati Anila memang tidak salah, hatinya tepat untuk jatuh cinta pada pria seperti Deva. Anila berharap keputusan hatinya untuk berjuangpun tidak salah. 'Tuhan semoga perasaan dan keputusan ini tidak salah. Bantu aku untuk membuat dia melihat aku' mohon Anila dalam hati.
***
Deva dengan sabar mendengarkan semua omelan dari Grace, mamanya. Itu karena Deva tidak ikut dinner keluarga dia hari ini. Dinner ini biasanya mama mereka adakan setiap kali Divo pulang dari tugasnya. Dinner ini menjadi kewajiban belakangan bagi Deva dan seluruh anggota keluarganya. Sejak Divo menjadi Co-pilot dan akhirnya menjadi pilot seperti sekarang. Bagi siapa saja yang tidak bisa hadir, mereka harus memiliki alasan yang kuat untuk diberikan pada Grace. Kalau tidak, pihak yang tidak dating harus menerima hukuman dari Grace. Jadi jangan heran ketika Grace sekarang mengomel pada Deva.
"Mama udah tua Va, kalau kamu diajak dinner aja susah gimana kalau disuruh nikah," mama Deva memulai lagi.
Belakangan ini memang Grace begitu sibuk membicarakan soal pernikahan pada Deva, Divo dan Diva.
"Kenapa jadi ngomongin soal nikah sih ma?" Deva mengeluh, tangannya memperbaiki selimut yang menutupi tubuh polos Anila. Wajah tidur Anila tidak pernah membuatnya bosan untuk menatapnya, meski wajah tidur ini yang pernah membuatnya hampir mati ketakutan.
"Kalian udah 25 tahun. Tapi nggak ada satupun dari kalian yang pernah ngenalin pasangan kalian ke mama. Nggak kamu, nggak Divo, nggak Diva sama aja. Kalian udah tua, mama sama papa harusnya udah punya cucu," Grace berkata dengan lirih.
Deva diam, dia cukup mengenal kepribadian kedua kembarnya yang tidak jauh berbeda dengannya yang sangat susah untuk jatuh cinta. Deva saja hanya pernah satu kali jatuh cinta dan sekalinya jatuh cinta, dia jatuh cinta pada wanita yang salah. Deva tidak bisa mempercayai wanita lain lagi karena wanita itu. Dia juga berubah menjadi pria b******k hanya demi menutupi lukanya. Tapi semuanya berbeda sekarang karena wanita disampingnya ini. Anila memang bukanlah orang yang dia cintainya, tapi wanita ini sangat berpengaruh dalam hidupnya. Demi Anila, Deva tidak bisa menjadi pria b******k lagi seperti dulu.
Dia tidak ingin mengikuti perjodohan itu karena Deva mau Anila menemukan kebahagiannya dahulu. Deva menghela napasnya dan menatap Anila dalam, dengan semua pemikirannya itu.
"Va, kamu dengar mama kan?. Pokoknya Sabtu malam ini Deva harus pulang, kita akan makan malam bersama bersama Om Rahadian. Mama mau ngenalin putri Om Rahadian sama kamu."
Suara Grace terdengar penuh ketegasan dan jelas-jelas ini bukanlah permintaan, tetapi perintah. Artinya itu harus.
"Mama nggak ada niat mau jodoh-jodohin Deva-kan ma?, kalau ada Deva nggak mau," tolak Deva langsung.
"Va pliss. kenalan aja dulu kalau nggak cocok ya udah kan bisa jadi teman," Grace memelas membuat Deva terdiam tidak tega.
"Tapi benar ya ma, hanya kenalan," Deva menjawab.
“Deva belum siap ma mau mulai hubungan baru lagi,” kata Deva mencari alasan sebisa dia.
"Iya, ya udah ya. Night Deva sayang," ucap Grcace sebelum memutuskan teleponnya.
Deva terdiam merenung lalu mengembalikan handphonenya keatas nakas. Setelah itu dia merebahkan kepalanya kebantal dan menatap langit-langit kamarnya. Saat itu Deva berjanji akan memastikan perjodohan dari mamanya hanya akan sampai pada perkenalan saja. Entah kenapa, Deva merasa kalau perjodohan ini memang bukanlah buat dia.