"La, bisa ngomong sebentar," suara itu menghentikan langkah Anila yang hendak memasuki toko bunga yang menjadi tempat kerjanya.
Anila memutarkan badannya hanya untuk mendapati wajah Tio yang terlihat awut-awutan terkesan tidak dipelihara. 'Apa karena gue?' pertanyaan itu sempat mampir dalam otaknya.
Pemikiran itu langsung ditepisnya seketika, apalagi ketika tatapan yang didapatkannya dari Tio hanyalah tatapan menyesal. Tidak lebih dari itu. Bahkan dia bisa menebak senyum yang kini muncul di wajah Tio hanyalah senyum paksaan yang sengaja Tio tunjukkan hanya untuk menunjukkan pada Anila kalau dia kuat, alias pura-pura kuat. Entah untuk apa?, sayangnya Anila tidak mau tau dan tidak peduli untuk apa Tio perlu pura-pura kuat dihadapannya.
“La,” panggil Tio lagi untuk menyadarkan Anila dari pikirannya.
Awalnya Anila ingin segera melarikan diri dan meninggalkan Tio. Tapi wajah memelas dan penuh harap dari Tio itu akhirnya membuat Anila bertahan untuk bisa dekat dengan Tio. Anila bahkan menawarkan untuk mengobrol di dalam ruangannya pada Tio. Anila dan Tio hanya terdiam ketika mereka sudah berada di dalam ruangan Anila. Tapi keheningan itu hanya sesaat hingga akhirnya Tio membuka suaranya untuk memulai pembicaraan diantara mereka.
"Lo apa kabar La?" tanya Tio dengan suara lirih.
Anila tidak langsung menjawab, jujur masih ada rasa enggan dalam hati Anila untuk berhubungan dengan pria ini.
"Seperti yang lo lihat, gue baik dan akan selalu begitu," pamer Anila.
Anila ingin menunjukkan pada Tio kalau dia baik-baik saja bahkan tanpa seorang Tio dihidupnya.
"Gue udah duga lo bakal baik-baik aja," ujar Tio tulus, tapi terdengar seperti sindirian bagi Anila.
Anila mendengus kesal, bersiap menumpahkan kemarahannya pada pria yang sempat menjadi kekasihnya itu. Tapi kemarahannya terhenti karena Tio segera memotongnya.
"Gue bukan bermaksud menyindir La, gue memang sudah tau dari dulu kalau lo bakal baik-baik aja meski tanpa gue.” Tio mencoba menjelaskannya hati-hati pada Anila dengan senyum sangat kecil.
“Awalnya gue mau diam aja dan mencoba mengubahnya secara perlahan, tapi kenyataannya gue nggak akan pernah bisa." Tio masih berkata lirih.
"Maksud lo apaan sih!" akhirnya Anila meledak juga.
"Lo nggak pernah cinta ama gue La," ucap Tio getir.
Tio mencoba menahan suara bergetarnya. Anila membatu, rasanya dia baru saja ditampar seseorang yang tidak hanya membuatnya syok, tetapi juga merasakan sakit dihatinya. Anila diam tidak menjawab, Anila seolah membenarkan apa yang baru saja Tio katakan kepadanya.
"Akan berbeda La jika Deva yang pergi dari lo, lo bakal hancur. Gue tau itu," lirih Tio yang semakin membuat Anila seakan tersambar petir.
Tiba-tiba semua rasa marah dan kecewa yang awalnya berada di hati Anila untuk Tio kini berbalik arah ke dia. Layaknya boomerang, kini kemarahan dan kecewanya balik menyerang Anila. Tio seolah baru saja menyadarkannya kalau dialah yang salah disini. Dialah yang berselingkuh dengan hatinya bahkan tanpa dia sadari sendiri. Dialah yang jahat disini karena telah membuat Tio terluka sampai sedalam ini, seharusnya Tiolah yang membenci dia. Bukan sebaliknya.
"Maaf..." kata Anila lirih.
Airmata Anila tiba-tiba jatuh dari pelupuk matanya. Anila sekarang menunduk karena merasa malu pada Tio. Tio yang melihat itu hanya tersenyum sedikit lebih lebar dari tadi. Kali ini senyum yang lebih terlihat lega dan tulus, meski tidak sepenuhnya lega dan selepas yang semestinya.
Tio tetap mempunyai masalah lain selain masalahnya dengan Anila ini. Tapi Tio ingin menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu, hingga dia tidak perlu dibebani oleh perasaan bersalahnya lagi.
"Nggak papa, seharusnya gue sadar saat lo lebih banyak bicara mengenai Deva dan selalu ngutamain Deva. Dari situ seharusnya gue udah mundur secara teratur, tapi gue terlalu bebal buat mengikuti logika gue. Gue lebih memilih mempertahankan ego gue yang bilang gue pasti bisa ngebuat lo cinta ama gue," jelas Tio sambil terkekeh kecil.
"Maaf..." lagi-lagi Anila meminta maaf, sungguh dia sangat menyesal.
Secara tidak langsung sebenarnya selama ini dialah yang telah menyiksa dan menyakiti Tio hingga akhirnya pria itu lelah dan akhirnya memilih untuk mecari pelariannya.
"Nggak papa La, lagian gue juga salah. Seharusnya, gak peduli sekecewa dan seputus-asa apapun gue sama lo. Nggak seharusnya gue cari orang lain buat pelampiasan saat itu," suara Tio semakin lirih.
"Lo mau maafin guekan La?" pintanya.
Anila, dialah yang seharusnya yang meminta maaf untuk semua yang terjadi pada mereka ini karena dialah yang merusak semuanya. Anila mencoba senyum dengan tulus.
"Ya tentu aja, lagian seharusnya gue yang minta maaf udah nyakitin lo."
Tio tersenyum, namun tatapan sendunya menyiratkan beban dimatanya tak sepenuhnya hilang. Tapi pria itu mencoba tetap tegar.
"Jadi kita bisa berteman?" tanya Tio berharap.
Anila langsung mengangguk tanpa ragu.
"Terimakasih La," ucap Tio tulus.
"Nah karena kita udah berteman, bisa lo cerita kenapa lo masih terlihat tetap kelihatan punya masalah?" Anila menawarkan tempat curhat gratis buat Tio.
Setidaknya Anila ingin sedikit bisa membantu pria yang sudah disakitinya itu. Anila cukup tau bagaimana pria itu mencintainya selama ini. Meski beberapa bulan sebelum hubungannya dengan Tio benar-benar putus, Anila sudah menyadari perubahan sikap Tio kepadanya. Anila hanya tidak menyangka perubahan sikap Tio ini karena dia sudah mempunyai teman tidur untuk pelampiasannya karena rasa kecewanya pada Anila.
"Lo seharusnya tetap ngelanjutin kuliah psikologi lo, bukan berubah jadi anak pertanian." Tio terkekeh pelan mencoba mengalihkan pembicaraan. Tapi Anila tidak menggubris dan memilih mengotot untuk melihat pria itu dengan satu alis mata terangkat.
"Lo pasti nggak percaya dan menganggap gue bodoh La. Gue jatuh cinta sama cewek yang gue kirain hanya pelampiasan gue aja. Bodohnya gue terlambat menyadarinya, gue terlanjur terlalu menyakiti dia yang ternyata udah lama banget suka sama gue. Dia pergi ninggalin gue La, yang paling ngebuat gue hancur adalah dia pergi bersama bayi gue La," cerita Tio sampai meneteskan airmatanya.
Anila terdiam, Anila tidak tau harus berkomentar apa. Wanita yang diceritakan Tio itu nasibnya tidak jauh berbeda dengan Anila. Sama-sama mencintai pria yang tidak peka dengan perasaan mereka. Bedanya cinta wanita itu berbalas sedangkan dia tidak. Sayangnya wanita itu sekarang memilih pergi dari Tio karena terlalu lelah dengan kesakitan yang diberikan Tio. Sedangkan dia?, jangan tanya tentang dia karena untuk mengungkapkan perasaanya saja Anila sangat takut dan memilih mengungkapkannya memakai cara ambigu.
"Selama lo berjuang dan nggak nyerah gue yakin lo bakal nemuin dia.
Tenang aja, dia sama bayi lo pasti baik-baik aja." Anila memberi nasehat.
"Makasih ya La, nggak hanya maafin gue, lo bahkan jadi mau jadi pendengar gue," ujar Tio sebelum berdiri bersiap untuk pamit.
"Gue pamit pergi ya La, kayak kata lo gue harus berjuang buat nemuin dia. Gue harap lo juga nggak nyerah dan terus berjuang." Perkataan Tio itu dilengkapi dengan senyuman usil khas Tio.
Anila diam dan bingung. Anila tidak tau apa yang dimaksud oleh Tio barusan dengan berkata begitu pada Anila.
"Gue tau lo belum jujur ama Deva. Lo harus berjuang keras buat cowok itu peka ama perasaannya yang terlalu banyak tertimbun perasaan lain yang tidak penting," ujar Tio sebelum pergi menghilang.
Anila tersenyum kecut mendengar nasehat Tio itu.
***
Deva memasuki rumahnya, beruntung mama papanya sedang menghadiri kondangan, sehingga dia bisa menghindari omelan mamanya untuk saat ini. Dengan cepat Deva berlari menuju kamar Divo yang ada di lantai dua yang juga tempat kamarnya dan Diva berada.
Deva memasuki kamar Divo tanpa pamit terlebih dahulu, untungnya Divo sedang tidak melakukan hal-hal yang aneh di dalam sana. Lagipula Deva tidak khawatir masuk kamar Divo tiba-tiba karena dia tau kalau Divo adalah tipe pria lurus. Sehingga ketika dia membuka pintu asal seperti ini, Deva yakin Divo sedang tidak dalam keadaan yang macam-macam.
Berbeda dengan Deva, Divo selalu mendelik sebal setiap kali Deva ata Diva masuk kekamarnya tanpa ijin terlebih dahulu. Dia tau kalau mereka tidak akan menemukannnya sedang melakukan aneh-aneh dalam kamat. Tapi, hey bisakah mereka lebih sopan sedikit.
"Lo masih punya tangankan buat ngetok?" omel Divo. Urusannya dengan laptopnya dia tinggalkan sementara.
"Untung lo nemu gue nggak lagi macem-macem," tambah Divo sebal.
Deva terkekeh lalu membaringkan tubuhnya pada ranjang Divo.
"Jadi lo kenapa?" tidak perlu detail, Divo tau Deva mengerti pertanyaannya.
Deva diam sebentar, lalu memejamkan matanya. "Gue ketemu Davina semalam disana," ucap Deva lirih.