Bab - 4

3765 Kata
Jalanan macet sudah terlalu biasa di Jakarta, nah kalau tidak macet baru itu luar biasa istimewa. Andai saja Jakarta berubah menjadi London yang begitu teratur dan keamanannya di jaga diatas rata-rata, pasti para gadis cantik sepertiku akan merasa aman kalau pergi kemana pun tanpa takut ada gangguan dari orang-orang jahat. Andai saja.. Tapi sekarang aku sudah duduk manis di jok belakang dengan sesekali mengecek ponsel, kali aja ada pulsa nyasar yang masuk kan lumayan ngirit uang jajan. Melihat ke samping ada ibu yang sedang membaca beberapa kertas berukuran HVS, mungkin data toko yang mau di periksanya. "Na, ada yang nggak bener nih!" Tunjuknya pada deretan angka yang tertera di kertas. Aku ngangguk aja, pura-pura ngerti ketimbang kena ceramah 'Kamu tuh udah di sekolahin mahal-mahal tapi nggak ngerti soal begini aja, kemana aja, Na?' "Memangnya ibu bisa di bohongin ya, Na?" Tanyanya kesal. Keningnya berkerut dan matanya melotot. Ibu serem kalau begini. Bisa banget. "Tidaklah, Bu!" "Ibu udah curiga sejak lama sama manajemen yang kelola toko kita ini, Na, dan sekarang terbukti ada dana yang nggak bener tujuannya kemana. Ibu rasa sudah saatnya kita bertindak pada mereka!'' Sambungnya panas membara, sampai-sampai asap pada keluar dari atas kepalanya. Bercanda. Jujur. Aku tidak ngerti sama sekali dari awal sampai ibu mengap-mengap kesal kaya gitu. Sebenarnya apa sih yang di bicarain? "Bu, boleh aku bertanya? Itu pun kalau ibu berkenan menjawab." Aku harus berhati-hati bertanya pada orang yang mengalami kenaikkan emosi secara signifikan, kalian juga pasti ngerti kan maksud aku? "Silakan" "Sebenarnya ada masalah apa, Bu?" Tarikan napas terdengar pelan di sebelahku. "Orang yang ibu percayai, dia berkhianat, dia korupsi!" JLEBBBB "Sial. Kurang ajar, Bu!' Sontak aku berteriak mengagetkan penghuni mobil. Supir yang di depan langsung menoleh ke arahku, pasti kaget ya.. dengar aku yang mengumpat cukup baik. Ibu merenguk. "Nana, bahasamu barusan ibu tidak suka ya.. " Aku mengangguk. Aku anak baik dan anak orang tuaku, bukan anak hewan. "Maaf? Abis aku kesal terus kelepasan deh, Bu." Belaku dengan cengiran manis. Aku emang nggak sengaja. Beneran. Kita tiba di toko bangunan yang terbilang cukup besar, aku nggak tahu kalau keluargaku punya usaha yang bergerak di bidang ini. Hmmm.. Lumayan juga buat nambah-nambahin warisanku, itu juga kalau masih berjalan toko nya. "Bu, aku di sini aja ya?" Panasnya di luar sana, sampai daun-daun berjatuhan sendirinya tanpa hembusan angin. Terbukti kan cuaca yang panas mempengaruhi. "Nggak boleh! Ibu sengaja ajak kamu tuh buat nakutin mereka. Jadi ayo turun." Alamak! Emang aku hantu? Nakutin ya? Sampe sang ibu melakukan hal menyakitkan begini padaku. Sungguh detik ini juga aku pengen berendam di danau yang luas dengan Es Cream sebagai pengganti airnya, menenangkan kekesalan dan amarahku pada ibu. "Bu, aku terpukul!" Lirihku. Aku tidak akan berlinang air mata seperti pada sinetron-sinetron yang sering ku lirik saat melewati ruang tamu. "Lebay. Cepetan turun!" Dia ibuku tidak mempan dengan lirihanku yang terdengar seperti Artis sinetron itu. "Kenapa sih ibu maksa banget? Toh, aku juga nggak bisa bantu" Itu pertanyaan mudah yang menjadi tanda tanya? Kenapa aku harus ikut ke dalam investigasi ini? "Siapa bilang?" Aku benci kalau sudah lihat senyum ibu yang nggak tulus seperti sekarang, senyumnya itu bikin muncul keringat bau. "Nana itu pasti bakal seneng saat ketemu mereka, bisa bikin mereka takut sekaligus berkeringat hanya dengan sekali lirikkan mata, Nana, yang setajam pisau dapur rumah." Oh. Jadi itu ceritanya.. Sialan! Supir di depan terkikik mencoba menahan tawanya. "Nggak asyik ah. Aku didalam mobil aja." Sekali lagi menolak. "Turun, Nana, sayang.. " Ibu menarik-narik lenganku untuk keluar dari mobil. Oke. Aku mengalah demi kebahagian ibu. Jreenggg Maka dengan pelan dan anggun, aku menginjakkan kaki jenjangku di tanah dan di sambut dengan terpaan sampah plastic yang terbawa angin. Ini mah nggak lucu dan bener-bener double sialan di hari minggu yang panas ini. Woy.. Kenapa nggak sediain kanopi atau payunglah buat menyambut nona cantik ini? Aku merasa ada yang aneh denganku. Aku menjadi aneh dengan keanehanku berbicara kasar atau umpatan-umpatan yang nggak berbobot yang begitu saja mengalir deras dari mulutku, padahal sebelumnya aku tidak pernah sedikit pun menyentuh kata-kata itu di luar kamusku sebagai, Baby Girl. Anak ayah yang lemah lembut dan penurut. Dan aku berubah menjadi aneh begini semua karena, Kentara Dimas, yang sudah meracuni hidupku dengan bisa nya yang m***m. Kulihat para pegawai sudah bersiap menyambut kedatangan kita di depan toko, tapi anehnya mataku mau copot saat menangkap sesosok tinggi, ini genderewo bule yang bersandar di mobilnya. "Duh, aduh.. Mantu ibu seksinya.. " Senggol ibu di bahuku yang terasa tegang ototnya. Aku begitu terguncang luar biasa dari dalam dan luar. Ini kenyataan yang lebih pahit di hari mingguku yang kusam. "Bu, aku tunggu aja ya di dalam mobil," Pintaku berusaha bersembunyi di balik punggungnya. "Tidak boleh!" Kita semakin mendekat pada sosok itu, dia sedang mengobrol dengan seorang pria paruh baya yang ku yakini sebagai pelaku korupsi. Bisa di lihat dari gerak geriknya yang gugup. Gara-gara orang ini aku harus bertemu lagi dengan orang Om tua ini. Tapi buat apa, Om, ini ada di toko yang bermasalah ini? "Hallo?" Sapa ibu lemah lembut. Aku tetap bersembunyi di bekalang punggung ibu, tidak berani menampakkan diri. Sekarang terbalik dari aku yang rencana awalnya mau nakutin semua pegawai di toko itu malah sekarang aku yang paling takut cuma buat ketemu satu orang saja. Mereka menoleh. Genderewo itu tersenyum hangat. Sang tersangka kelihatan takut. "Hallo, Ma?" Ucapnya santai. Ma? Mama? Telingaku panas bukan karena ada yang ngomongin melainkan panas karena mendengar apa yang barusan dia katakan. Parah ini, Om, berani-rani nya manggil Ibu dengan sebutan Mama. Hello? Siapa Lo? "Maaf ya, harus nunggu lama. Ini nih.. Nana rewel seperti biasa." Apa??? Kok aku yang jadi di salahin begini. Nggak adil ih. Sebel dah, imageku jatuh tersungkur begitu saja tanpa ada yang bantuin buat nyomotin di tanah. "Nana juga ikut?" Sepertinya dia senang dengan kedatanganku, bisa di lihat dan dirasakan dari suara dan wajahnya yang lepas. Dan ku yakin sifat lebay nya akan kembali muncul ke permukaan. "Iya, Nak, Kent." "Ya sudah, Ma, mending kita bicaranya di Café terdekat saja biar lebih santai." Usulnya. Ada benernya juga apa yang dia bilang, disini panas dan aku mulai haus. "Baiklah, Pak Dirto, nanti saya kembali lagi untuk membereskan semuanya secara tuntas!" Kata ibu sedingin es. Aku terus mengekor punggung ibu sampai deket mobil, nggak peduli dengan tatapan yang terasa begitu menusuk dari belakang. Dih.. kenapa ini, Om-om, ada disini dan Ibu lagi, sok akrab banget. Jangan-jangan mereka suka ketemu di belakangku? Nggak mungkin ah, Ibu nggak mungkin selingkuh dari Ayah yang sudah tajir kebangetan, cuma buat Om nggak jelas ini. Tapi bentar deh, Om ini juga kaya banget sampe dia masuk salah seorang terkaya di Bandung kan? "Ma, naik mobil saya saja, biar lebih praktis." Katanya. Kok dia rubah ya? Nggak keliatan lebay malah jadi manly gitu. Jadi Om-om dewasa gitu.. "Iya juga ya, Nak Kent" Jawab ibu senang, lebih tepatnya sumringah bertebaran bunga Matahari di atas kepalanya sekarang. Aku sekarang mati rasa. Nggak tahu apa yang aku rasain sekarang. Pokoknya masuk antara dua dimensi yang sulit di jelasin untuk orang yang nggak masuk jurusan IPA di sekolahnya. Dan berbeloklah kami, berjalan ke mobil mewahnya yang terpakir manis di sisi kanan. Aku semakin nggak tau jalan yang benar saat dia tepat berada di sampingku. Seakan-akan jalan yang rata ini menjadi bergelombang dengan banyak lubang akibat kendaraan roda berat. Dan aku semakin ngawur saja. "Tata, kamu seksi banget pakai celana pendek gitu, aku pengen megang pahanya. Boleh ya?" Bisiknya tepat di telingaku. Tuh kan? Dia balik lagi jadi pria genit yang tidak tahu umur. Beda sama yang di tampilin di depan orang banyak, apa dia punya dua kepribadian? Yang satu dewasa dan satu nya lagi m***m. Arghhhhh.. Aku bingung dan nggak ngerti nih, coba aku banyak pacaran pasti aku bakal tahu kalau cowok itu punya sifat-sifat aneh kaya Om ini, sudah pasti aku bisa mengatasinya tanpa rasa takut kaya begini. "Ih... Pantatnya, Tata, bagus deh. Raba ya sama aku?" Suara mendesah gitu di telingaku. Ya ampun! Aku sudah merah padam karena marah. Dasar pria tua b******k. Mati saja kau!!! "Ma, biar, Nana, duduk di depan nemenin saya, ya?" Pintanya saat sudah di depan pintu mobil. Jangan di kasih ijin ya, Bu. Aku memohon dengan sangat pada ibuku agar menolak permintaan nya dengan tatapan memelasku. "Boleh, Na, duduknya di depan aja ya? Temenin, Nak Kent." Sorot mata ibu kenapa jadi menyiratkan godaan begitu? Aku benci ini!!! Mobil melaju dengan tenang tidak setenang hati dan pikiranku. Aku mengintip kearah, Kent, dari sudut mataku. Dia seperti biasa berpenampilan kece ala anak muda. Celana pendek Armi dan T-shirt hitam berbalut Jaket kulit. "Kalau bukan karena, Nak Kent, ibu tidak akan tahu ada korupsi di manajemen, Pak Dirto. Terima kasih banyak, Nak Kent." Ibu memulai pembicaraan setelah mobil melaju cukup santai di jalan. "Tidak, Ma, saya hanya curiga saja. Toko yang atas nama keluarga Black, belum membayar sesuai perjanjian dengan salah satu anak perusahaan saya. Jadi saya langsung cari tahu saja." Perhatian banget sih, Om. Tapi tetep aku nggak suka sama Om. "Sekali lagi terima kasih, Nak Kent?" Ibu terdengar tulus saat mengatakannya. Kent mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku muak. Pengen ku sembur dia dengan air liurku bukan air doa yang sering kulihat di acara paranormal yang lagi ngetrend-ngetrend nya di YouTube. * Aku percaya dengan kalimat 'Jangan membuang makanan karena masih banyak di luar sana yang belum makan enak seperti kita', itu kalimat tidak berlaku bagiku saat ini karena aku ingin sekali membuang makanan yang terhidang di meja depanku pada wajah, Kentara Dimas, yang tersenyum. Tuhan, aku ingin bertanya kenapa dia harus mau berurusan dengan perusahaan kecil milik Ibu, bukannya dia lebih pantas ngurusin perusahaan besar. Sekarang jadi tambah repotkan urusannya. Aku harus tambah kuat untuk menyiapkan pengendalian diriku dalam menangani dia. Coba liat.. Orang ini nggak malu ngedipin sebelah matanya padaku padahal masih ada orang yang ngelahirin aku di sebelahku. "Na, ibu ke toilet dulu sebentar." Yelah ibu pergi ninggalin aku dengan ayam jantan ini. Aku bisa abis nih. "Silakan, Ma." Kent bangkit dari duduknya. Elah.. aku nggak ngerasa dia keren dengan sikap dewasanya kaya gitu. Coba kalau sikap kaya begitu tunjukkin buat aku, aku jamin aku bakalan sedikit suka sama dia. "Om, jangan panggil ibuku dengan sebutan, Mama. Aku nggak suka tau!" Kataku langsung saja tanpa basa-basi. Orang seperti ini kalau bertele-tele akan semakin lelet kaya siput jalan pikirannya. "Panggil apa atuh, Darl?" Tanyanya nyengir. Darl? Darling? Aku merasa menyesal tidak ikut kelas Karate sejak taman kanak-kanak, mungkin saat ini aku udah sabuk hitam dengan medali berderet di kamarku bukan foto-foto aneh dan narsisku. Tapi buat apa nyesel sih? Selama aku masih punya otak untuk mencari ide buat ngusir lalat ini dari hidupku, namun sungguh di sayangkan otakku buntu saat ada dia di sekitarku. Dia udah berhasil mengambil protein otakku yang terkenal pinter satu sekolah. "Ngelamun terus, aku nggak suka ih.. Nanti, Tata, yang manis seperti gulaku kemasukkan. Kalau kemasukkan hantu biasa kan ada, Ki Prana, nah kalau kemasukkan hantu agressif gimana coba? Masa mau aku yang layani gairah, Tata? Tapi boleh juga sih, malah aku dengan senang hati membantu melepasnya," Katanya dengan menjilat bibir bagian bawahnya yang merah. Ini orang super gila dan nggak tahu malu. "Tata, mau aku sentuh di bagian mana dulu? Aku suka d**a sama p****t tau kenyal-kenyal gimana gitu." Seringainya terbentang lebar di wajah pria tua ini. Ibu cepetan kembali dong, aku pengen nangis nih, masa iya aku di gituin dengan kalimatnya yang kotor. Aku berasa di lecehkan olehnya, nggak tahan banget hidup aku kalau begini terus. "Umur, Om, berapa sih?" Aku harus mengambil tema yang sensitif kalau ingin dia minder dan menjauh dariku untuk selamanya. Biasanya cowok normal suka malu kalau udah bawa hal yang sensitif. "Tiga empat deh, tapi jangan khawatir, Darl, aku bakal muasin dan ngajarin berbagai gaya bercinta yang special buat, Tata, tersayang." Jari telunjuknya di masukkin kedalam mulutnya. Sedikit menjilat.. Ew, sangat menjijikan. Sumpah jijik. "Om, kita beda tujuh belas tahun lho.. Dan menurut Psikolog itu nggak baik buat suatu hubungan." Tenang dan gunakan saja otak untuk berpikir bukan amarah. "Kata siapa, Love? Bukannya yang lebih tua itu baik dan banyak pengalaman buat ngebimbing yang masih muda. Ta, ciuman yuk?'' Rengeknya dengan mengemut jari telunjuknya. "Kayaknya bakal asyik dan enak," Dan sialnya tidak ada tamu yang memperhatikan kita. "Ciuman, Yuk .. Ah?" Pintanya dengan mengerang panjang. Tutup mata. Tutup telinga. Tutup semua indera yang ada pada tubuhku. "Ah.. Kok jadi meren sih, Ta? Pasti lagi bayangin ngemut punya aku ya?" Tanyanya dengan nada sensual. "Aku makin tegang nih!" Serba salah hidupku sekarang. Setiap tindakan dan kata selalu berbeda artinya jika menyangkut tentang dia. Apa orang dewasa semuanya seperti dia? Dan kenapa juga ibu belum kembali dari toilet. Apa dia ketiduran disana atau lagi berak? "Om, yu bicara layaknya orang dewasa aja?" Tantangku penuh percaya diri. Dia mengangguk dengan jarinya masih di emot. "Aku tujuh belas tahun dan Om? " "Tiga empat." Sambungnya bangga. "Umur kita jauh banget dan aku nggak suka, Om!" Aku fokus menatap matanya tidak peduli dengan kegiatannya yang mampu membuatku tiba-tiba menjadi gerah. Ada apa denganku ini? Apa Ac di Cafe ini mati? Aku jadi nggak enak badan gini melihat tingkahnya. Lalu terdengarlah balasan dari dia dengan; HAHAHAHAHAHA Dia malah tertawa. Duh. Apanya yang lucu deh? Tersenyum. "Tata lucu deh, apalagi kalau mau di cium ... tambah lucu ma imut. Aku ini bukan Om, Tata. Jadi, nggak boleh kan keponakan suka sama Om nya sendiri ya?" Aku mengangguk. t***l! "Baby besarku pinter" Dia berdiri dan mencodongkan tubuhnya kearahku, mengusap rambutku pelan. "Kalau Tata sendiri calon pacarku, tunanganku, isrtiku bahkan calon ibu dari anak-anakku nanti." HUWA ... Aku mau nangis yang meninggalkan jejak, bukan darah atau batu berlian. Aku ingin air mata yang bisa membentuk kata; 'JAUHI AKU!!!' "Nana, Ibu harus segera pulang nih, ayahmu pulang dan mau keluar kota sekarang juga." Ibu kembali dengan membawa kabar baik. Terima kasih. Doaku terkabul agar terjauh darinya. Aku cepat bangkit dari kursi dan ... "Nana, disini aja sama, Nak Kent. Kan urusan di toko belum selesai, ibu udah telepon supir buat kesini." Aku seperti masuk ke dunia lain. Dan Kentara Dimas menyeringai gila. Mati saja kau. Mati sana. Mati. Tapi jangan hantui aku. * "Say, mau nonton nggak?" Jangan dengarkan. Jangan! Aku mencoba untuk bermeditasi di dalam mobil yang sedang melaju, konsentrasi untuk ketenangan jiwaku. Aku masih muda dan dia sudah tua. Jadi perbandingan mati duluan dapat di lihat dari umurnya. Hahaha.. Kurang ajar banget aku ini. Tapi akhir-akhir ini, kematian muda lebih mendominasi. Kok, aku jadi ngeri gini? Bukannya kematian rahasia tuhan. Jadi stop! Jangan bayangin yang aneh-aneh. "Tata, tangan aku gatel obatin ya? Obatnya dengan sekali aja nyentuh tuh paha?" Dia memulai pembicaraan setelah ada keheningan beberapa saat. Tenang. Pikirkanlah hal-hal yang menyenangkan seperti Bella dan Edward di padang rumput atau aku dengan pangeranku di paris. "Setuju, ya ya ya?" Tanyanya santai. Sebelum aku bisa membuka mata aku bisa merasakan pahaku di usap sekali. Dan itu membuatku teriak kencang karena pahaku serasa di sengat sesuatu yang panas beraliran tegangan tinggi. "OM GILA!!!" "Halus banget, say!" Jeritnya girang. "Sekali lagi ya? Tapi yang ini agak lama ya?" Aku kembali ternoda lagi, tidak suci lagi di beberapa bagian tubuhku. Aku tahu ini tidak akan membuatku hamil anaknya, tapi sungguh aku merasa kotor dan ingin segera mandi untuk membersihkan bekas sentuhannya. "Om, aku mau lapor ke kantor polisi." Bentakku. "Atas tuduhan pelecehan di bawah umur." "Jadi, Tata, ngerasa masih di bawah umur? Katanya udah Sweet Seventeen, bukannya yang di bawah umur tuh yang dari sepuluh tahun?" Bener gitu? Kok aku nggak tahu, aku harus mencari tahu. Segera! "Ta, kok aku liat dari sini payudaramu kecil, aku besarin ya dengan cara alami." Tawarnya. Astaga buah naga! Apa sebenarnya yang ada di dalam otak kecilnya? Apa semua pikirannya kotor seperti sekarang? Aku bisa kena penyakit gejala types jika terus berada di dekatnya. "Jari sama mulutku bisa lho besarin p******a. Tata, mau coba? Enak lho rasanya nanti ketagihan." Aku anak ibuku yang lugu dan tidak pernah mendengar kata-kata kotor meluncur dengan bebasnya dari mulut seseorang secara langsung. Apa ini tanda dewasa? Kalau begini aku tidak mau berubah menjadi dewasa. Sangat menjijikan! "Kok diam sih? Nggak seru ah!'' Ucapnya bosan Lebih baik seperti ini kan? "Ta, tolongin ayangmu ini." Rengeknya setelah beberapa saat diam. Dia menepikan mobil ke samping, melepas sabuk pengaman lalu mencengkram lengan kirinya. "Lenganku kram nih." Lanjutnya. Aku mencari kebohongan dari wajah bulenya, dia meringis dan menahan lengannya dengan kesakitan. Kasihan juga kalau liat wajahnya yang begitu kesakitan, ayo, Na, tolonglah dia anggap aja dia nggak gila. "Beneran kan? Nggak bohong kan?" Tanyaku memastikan. Dia mengangguk. Aku sedikit ragu-ragu mengambil lengan kirinya dan yeah rasanya seperti membawa kaki sapi. Berat sekali. "Tolong angkat, say?" Ringisnya. Aku perlahan mengangkat lengannya untuk sejajar dengan dadaku dan ... HAP Telapak tangan besarnya menempel di d**a kiriku bergerak memeras perlahan. "Kenyal banget nih! Sering ya ... lakuin ini biar d**a, Tata, tambah enak." Aku merasa semua syaraf di otakku membeku begitu saja, apalagi semua indera perasaku tiba-tiba terhenti dengan sendiri tanpa perintahku. Mungkin sebentar lagi aku dalam proses menuju keabadian untuk menjadi Vampire cantik dengan kematian yang terlalu mendadak. Perlahan aku merasa kehabisan darah dan oksigen di dalam mobil ini bersama dia. Setiap detik yang ku lalui ini terasa semakin berkurang darahku seperti mendonor darah lebih dari tujuh kantong. Oksigen? Jangan ditanyakan lagi, aku tidak tahu apa aku masih bernapas. Apa aku akan mati disini? Di dalam mobil ini? Di hadapan dia yang masih tersenyum bahagia. Tapi tunggu sebentar? Aku masih mau menonton konser penyanyi Amrik itu bulan depan apalagi aku udah beli tiketnya dan kostum yang sudah siap ku pakai nanti. Jadi aku buru-buru mendorong tangannya untuk menjauh dari dadaku, lalu ku tampar pipi kanannya. PLAKK!!! Terasa menyakitkan telapak tanganku tapi nggak tahu apa yang dia rasain, apa pipinya perih? Tapi kayanya nggak deh, toh kulit dia keras begitu. Tamparan anak cewek cantik kaya aku nggak bakal terasa olehnya. "OM!!!!" Jeritku. Rasanya jeritanku sudah mengalahkan lengkingan suara Candil. Berteriak sampai tenggorokanku sakit. "Om, kurang ajar banget sih. Aku mau pulang sekarang juga!" "Tunggu. Ta, biar adil, pukul lagi pipi kiriku ya?" Pintanya mendekatkan pipi kirinya kearah wajahku. Kok gini? Serius ini orang tua? Aku nggak ngerti sumpah dengan isi otaknya. Bukannya kalau di tampar pasti bakalan marah. Nah ini? Dia minta di tampar lagi. "Jangan bengong begitu deh, ntar aku cipok tau!" Katanya. Dia menepuk-nepuk pipi kirinya, "Buruan gih aku udah gatel banget tau." Aku seperti merasa mendapat asupan gizi saat dia dengan sukarela menawarkan pipinya untuk di tampar lagi, tidak sia-sia aku menahan amarah selama ini atas segala tindakan maupun perkataannya yang gila. Dengan sekali dorongan kuat, aku menampar pipi kirinya dengan keras sampai meninggalkan bekas lebih merah dari pipi kanannya. Perasaanku saat ini antara puas bercampur kebahagian. Mengalahkan semua kebahagian saat menerima Hp baru dari Ayah. "Say, aku udah di tampar dua kali kan?" Tanyanya dengan tampang blo'on. "Iya" Jawabku setengah bingung. "Berarti aku juga harus megang lagi d**a, Tata, yang belum kebagian." Ucapnya tersenyum Happy. Oke. Oke. Oke.. ini sangat aneh! Dalam setiap kasus penganiyaan anda boleh melakukan perlawanan jika dalam keadaan terpojok. Nah aku? Terpojok banget saat ini. Apa aku harus melakukan perlawanan? Tapi aku sangat sadar diri, tenagaku hanya seujung jarinya. Tapi jika aku memakai mulutku untuk membuatnya sadar diri itu juga akan terasa sia-sia. Dia jauh lebih pintar dari pengacara untuk membela kliennya, setiap omongan yang aku sindirkan padanya selalu di balas dengan terampil olehnya. Menyedihkan! "Om, please ya.. Aku masih kecil dan aku ingin pulang." Menangis. Aku rasa ini jalan yang paling pintar, biasanya laki kan suka luluh sama tangisan seorang wanita. "Yeh, Karena cintaku masih kecil. Maka aku bersedia buat bimbing menuju kedewasaan." Benarkan? Dia sudah kebal. "Maunya, Om, apa sih?" Aku beringsut mundur sampai ke pintu mobil. Memeluk tubuh sendiri untuk menghalagi dadaku. "Mau pegang d**a, Tata, ih." "Om, sudah gila tahu!" "Emang mau dadanya gede sebelah? Nggak malu gitu?" Gede sebelah? Apa sih maksudnya? Bukannya pertumbuhan p******a akan sama sesuai hormon dan tidak ada istilah besar sebelah. Ngaco ah.. orang tua ini mah! "Kan yang sebelah udah aku rasain. Nah, mulai malam ini d**a indah, Tata, bakal tumbuh satu cm tiap malam. Gimana hayooooo?" Biologi. Aku harus segera tanya langsung ma, Dian, soal ini. Dia yang paling jago soal Biologi, dia kan anak IPA. Sedang aku? Jago IPS. Jadi, tidak ada hubungannya pertumbuhan p******a dengan pelajaran IPS. "Biarin! Aku nggak mau di sentuh sama, Om tua. Aku mau pulang!" Aku membuka pintu mobil dan kalian juga bisa menebak? Benar sekali pintunya di kunci. "Aku belum tua!" Ujarnya terlihat sedih. "Aku anterin pulang." "Om itu udah tua banget, bayangin Tiga puluh empat tahun." "Belum, Tata, mau bukti?" Kekehnya "Hayo apa?" Aku balik menantangnya. Dia pindah ke jok belakang, mau ngapain ini laki? "Sini? Cepetan, Tata!" Dia melambai-lambaikan tangannya untuk di ikuti. Aku ragu untuk berpindah duduk di jok belakang mobilnya, di sini jauh lebih luas jika aku mau memukulnya dengan berbagai gaya. Andai waktu terulang kembali. "Aku buktiin ya?" katanya. Dia tampak berpikir keras, apa sih yang di rencanainnya. "Tapi, Tata, juga harus ikut bantu ya?" Ya ampun. "Pertama, Tata, harus meren dan jangan ngintip. Kalau sampai ngintip aku bilangin sama, Ma, buat nggak ngijinin, Tata, nonton konser!" Kok gitu? Berani ngancam? Emang dia siapa? Tapi sekarang juga Ibu lagi suka-sukanya sama ini laki tua, pasti semua yang di katanya bakal di turutin. Palingan dengan alasan: Demi kebaikkan Nana. Basi banget ah!. Mending sekarang aku nurut aja dari pada tiket konserku nggak berguna. Aku masih bersumpah serapah saat mataku di tutup rapat-rapat. Membayangkan hal-hal yang indah saat nonton konser nanti, bertemu penyanyi idolaku secara langsung, fotoin dia sebanyak mungkin bukan hanya nyuri di internet, teriak nyanyi bareng sampe tenggorokkan sakit dan loncat-loncat segila mungkin bareng penggemar lainnya. Asyik banget dah. Nggak sabar pengen seger-. Hangat.. Lembut tapi keras dan bentuknya kaya lonjong.. "Ngh.. Ta. Ngh.. " Desahan terdengar di dekatku. Sangat dekat malah. Apa ini? Aku membuka mata. Yang pertama kulihat, Om, gila itu bersandar di sampingku dengan mata setengah tertutup seperti sedang merasakan sesuatu yang membahagiakan. "Say, remas ya?" Aku meremas sesuatu yang nggak muat di kepalan telapak tanganku. Aku mengikuti jalur dimana tanganku berhenti dan ... Besar dan panjang dan ada rambutnya. Rambutnya sangat lebat. Ibu! Ayah! "AKHHH!!" "Love, itu buktinya. " Suara Kent serak dan aneh. "Aku belum tua!" Aku makin jijik padanya dan pada sesuatu yang baru ku pegang. Ibu, aku nggak tahu harus gimana lagi buat bernapas dengan bener setelah merasakan.. 'EW', Nggak sanggup deh buat nyebutnya. "Om, anterin aku pulang." Pintaku lemah. Kent kembali ke jok depan tanpa banyak protes dan aku rasa itu baik, aku tidak ingin di ganggu setelah rasa kagetku masih berkumpul di sekitarku. "Lain kali aku yang pegangin punya, Tata," Klik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN