“Ayes! Kok abis nonton, TV-nya nggak dimatiin?! Kebiasaan kamu! Bayar listrik mahal, tahu!”
Dengan langkah-langkah lebar yang menghentak, Hafa berjalan ke kamar mandi setelah mematikan TV. Handuk tersampir di bahunya, spatula di satu tangan, remot TV di tangan lainnya, juga roll rambut yang belum dicopot. Ia merasa hampir gila setiap hari dan pagi ini, seperti pagi-pagi lainnya, penampilannya benar-benar mendukung ucapannya.
Ia menemukan Ayres, adik laki-lakinya yang tahun ini telah menjalani triwulan pertamanya di Sekolah Dasar, masih di kamar mandi, masih telanjang, masing dengan badan yang belum dibilas dari sabun dan justru sibuk memainkan kapal-kapalan mainannya di bak mandi.
“AYES!!! Kamu belum selesai mandi juga?! Ini udah jam berapa?! Emangnya kamu mau terlambat lagi?! Nanti dihukum gurunya lagi?! Kalo keseringan telat, Teteh yang bakal dipanggil, Teteh juga yang bakal repot, Ayes!”
Semua omelan tadi diselesaikan dalam waktu ... kurang dari satu detik, dalam satu tarikan napas. Adalah suatu keajaiban gadis itu lidahnya tidak terlilit ketika mengomel tadi.
“Iya, iya. Bentar.”
“Bentar kapan?! Kamu mau Teteh yang siram?! Ha?!”
Ayres bergidik. Ia turun dari kursi yang ia naiki agar dapat mencapai bibir bak mandi, kemudian menatap Hafa dengan raut ketakutan. Terakhir kali Hafa memandikannya karena hal yang sama, gadis itu menyiramnya dengan begitu keras sampai air masuk hidungnya, lalu menggosok rambutnya sambil kulit kepalanya rasanya hampir terkelupas.
“Ayes bisa sendiri, Teh.”
“Yaudah.” Hafa menarik napas. Darahnya sudah naik ke kepala sepagian ini. “Cepetan mandi! Kalo enggak, Teteh tinggal! Teteh nggak peduli─”
Dan belum lagi tuntas satu omelannya, omelan baru mencekat kerongkongan Hafa. Ia telah melupakan satu hal penting yang menyangkut keberlangsungan hidup mereka hari ini. Ia lupa dengan telur yang tengah ia goreng. Bau gosongnya sekarang menembus indera penciuman. Sial!
***
“Makan.”
Ayres menarik sedikit piringnya, kemudian meneruskan kegiatan yang sedari tadi ia lakukan; menatap makanannya, nasi, tempe, dan ... separuh telur dadar yang satu bagiannya telah menghitam. Ayres menjawilnya dengan sendok dan tampaklah betapa gosong bagian bawah telur yang coba Hafa sembunyikan, menyebabkan Ayres mendorong kembali piringnya.
“Ayes, buruan makan!”
“Nggak mau! Gosong!”
Hafa meletakkan sendoknya, kemudian memberikan pelototan lebar pada Ayres yang menciut di kursi.
“Makan atau Teteh jejelin nih ke mulut kamu?”
“Nggak mau~ Teteh aja yang makan.”
Hafa mengembuskan napas berat. “Telur kita cuma ini yang ada. Teteh nggak bisa goreng telur yang baru,” ujarnya. Ia meraih garpu dari tempat alat makan, lalu mulai memisahkan bagian yang gosong dengan yang masih dapat diselamatkan, bagian yang lebih baik ia lumuri kecap sebelum dicampurkan dengan nasi dan ia letakkan di depan bibir Ayres. “Kadang, dalam hidup itu kita nggak bisa milih dan nggak boleh pilih-pilih. Masih untung bisa makan. Ini udah Teteh sisihin yang gosongnya, sekarang buka mulutnya.”
Kali ini, Ayres menurut. Tidak ada pilihan lain, kecuali jika ia bersedia dijejeli telur gosong beserta piring-piringnya. Ia membiarkan dirinya disuapi sebelum mengunyah dengan pelan.
Selanjutnya, ia melihat Hafa menyendok bagian yang gosong, mencampurnya dengan kecap, sambal, potongan tempe dan nasi sebelum menyantapnya. Garis wajah gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Ketika Hafa kembali memberinya bagian telur yang bagus saja, anak itu menghentikan tangan Hafa di udara.
“Terus Teteh gimana? Teteh makan yang gosong?”
“Iya, Teteh nggak pa-pa makan yang gosong, enak.”
Ayres merengut. Ia merebut sendok di tangan Hafa, kemudian berbalik menyuapi kakak perempuannya satu-satunya itu. “Yang ini lebih enak, Teh. Ayes mau coba yang agak gosong juga.”
Hafa tersenyum, terharu. Dan Ayres pikir, ini akan menjadi adegan seperti yang di film-film itu. Misal tetehnya itu akan memeluknya, mengusap rambutnya, lalu...
“Kamu kenapa senyum-senyum? Cepetan abisin makannya! Kita udah telat, nih!”
Tidak semudah itu, ternyata. Sekali singa tetap saja singa, galaknya tidak bisa diliburkan barang sehari.
“Selesai makan, taruh piringnya di bak cuci. Susunya jangan lupa abisin.”
“Susunya encer, Teh.”
“Ya yang penting kamu ada minum s**u! s**u kental manis gitu-gitu kan juga mahal. Teteh aja minum air putih doang.”
Usai meletakkan piring kotornya di bak cuci untuk dicuci lepas kerja nanti, Hafa berlari ke kamar untuk memberikan sentuhan akhir persiapannya. Ia menyisir poni tipisnya dengan tangan, memperbaiki ikatan rambut agar lebih tinggi, dan meraih tas dari atas meja rias. Gadis itu menatap pantulan dirinya sekilas, merasa puas, lalu berputar di atas tumitnya, yang segera terhenti begitu ia menyadari sesuatu.
Ada yang ketinggalan. Sebuah arloji kecil berwarna hitam yang lebih cocok dipakai anak laki-laki, ia hampir melupakannya. Segera, ia menyimpannya ke dalam tas sebelum akhirnya berlari keluar kamar dengan terburu-buru. Ia menemukan Ayres sudah selesai dengan gelas susunya.
Setiap pagi, gadis itu akan menitipkan Ayres pada tetangganya Ayla, seorang single mother yang memiliki anak perempuan seumuran Ayres bernama Nasya demi menghemat waktu. Seringnya juga, karena sibuknya Hafa harus mengumpulkan pundi-pundi rupiah, sepulang sekolah pun Ayres tetap harus tinggal di rumah Nasya sampai Hafa pulang dan menjemputnya.
“Maaf ya, Teh, suka ngerepotin,” ujarnya sambil tersenyum bersalah.
Ayla mempertemukan ibu jari dan jari tengahnya kemudian melambaikan kedua tangan. Beberapa tahun bertetangga, Hafa dapat membacanya dengan mudah. Wanita itu mengatakan tidak apa-apa.
“Makasih, Teh,” ujarnya. Kepada Ayres, senyum itu menghilang, diganti pelototan galak. “Jangan bikin masalah, nanti uang jajan kamu Teteh potong!”
Dan untuk Nasya adalah senyum manis dan acakan di rambut. “Hati-hati ya, Nasya.”
Kentara sekali, perlakuannya. Seperti ibu kandung dan ibu tiri.
Naya tersenyum dengan lebar, menunjukkan deretan gigi-giginya yang kecil, dengan satu gigi depan yang menghilang dari rongganya sejak kemarin. Dan mereka saling melambai ketika Honda Beat biru Ayla membawa kedua anak itu ke sekolah.
Hafa kembali ke halaman, mengambil sepedanya. Detik berikutnya, ia sudah meletakkan tas di keranjang, kemudian menatap ke atas langit. Satu detik. Dua detik. Tangannya terulur di udara. Pagi tidak begitu mendung, namun kenapa ia bisa merasakan .... gerimis?
Ia mengerjap. Gerimis yang begitu lembut baru saja menyapa kelopak matanya, pipinya, bibirnya, telapak tangannya. Hafa tersenyum. Ia suka gerimis.
“Hey, Hafa. Mau berangkat kerja?”
Seorang pria berdiri di sana, di jalanan persis di belakangnya ketika gadis itu menoleh. Pria tinggi dan tegap yang dengan kediamannya saja sanggup membuat gadis-gadis sekompleks kesulitan bernapas. Sanggup membuat para wanita berharap mereka bisa sakit sehingga mendapat kesempatan menemuinya. Sekarang pria itu tersenyum dengan keterlaluan manisnya.
“Eh, Pak Dokdok! Iya, nih, udah telat. Pak Dok sendiri baru berangkat?”
Pria itu terkekeh, menggaruk rambutnya. “Iya, hari ini agak kesiangan.”
Pria itu, Evandaru Irawan, seorang dokter spesialis neurologi muda di salah satu rumah sakit swasta terkemuka di kota Bandung, adalah satu lagi tetangga Hafa. Ia tinggal sendirian dua blok dari tempat tinggal Hafa, dipisahkan rumah Mang Bagja yang biasanya bekerja di toko roti. Setelah ayahnya meninggal, pria itu berhasil menyelesaikan studi kedokterannya yang bermodal beasiswa dengan cepat, mengambil bidang neurologi sebagai bidang lanjutan yang ingin ia tekuni, lalu segera mendapat pekerjaan cemerlang yang ditawarkan bahkan sebelum ia dapat wisuda.
“Newbie, ya? Selamat datang di klub Doyan Terlambat!” Dengan ceria, Hafa merentangkan kedua tangan, membuat Daru, mau tidak mau tertular senyumnya, lagi.
“Kamu mah, terlambat aja belagu. Mau saya antar, nggak?” Ia menunjuk mobilnya yang terparkir di halaman, Daihatsu Sirion warna silver yang tengah dipanaskan.
“Ih, nggak usah. Nanti Pak Dok makin telat. Saya jago ngayuh sepeda, kok, jangan kuatir” ujarnya, menunjuk sepeda warna kuningnya. “Sebentar juga nyampe. Saya duluan ya, Pak Dokdok!”
Dan sebelum Daru dapat menahannya, mungkin sedikit memaksanya agar bersedia diantar, Hafa telah duduk di atas jok sepeda, melambai pada Daru dengan senyumnya yang membuat orang tidak mudah berpaling. Kemudian ... pergi.
Daru mendesah, ia sudah tahu pola jawabannya. Seperti itu setiap pagi. Kemudian pria itu hanya bisa mengulum kembali senyumnya melihat gadis itu yang lenyap dengan cepat di balik tikungan.
Sepuluh tahun? Lima belas? Dua puluh? Ia tidak bisa mengingat sejak kapan ia menyukai gadis itu. Mereka lahir dan tumbuh bersama-sama di sini. Ia mengenal dengan benar tentang gadis itu, apa-apa yang disukainya dan hal-hal yang ia tidak suka. Ia juga mengenal keluarganya dengan baik, dulu. Ibu Hafa adalah wanita yang cantik dan ramah. Suaminya sudah meninggal lama sekali, waktu Hafa masih seumuran Ayres. Gadis itu bahkan tidak lagi bisa mengingat bagaimana rupa ayahnya. Lalu wanita itu menikah lagi, seorang pria bule yang hampir sepuluh tahun lebih muda darinya. Tentu saja Hafa yang sudah masuk SMA itu menentang. Tentu saja pula ibunya keras kepala.
Sayangnya, suaminya tidak pernah melihat darah dagingnya, sama sekali. Pria itu menghilang begitu saja, mungkin kembali ke negara asal. Sementara Ibu Hafa mulai sakit dan meninggalkan mereka ketika Ayres masih berusia delapan bulan. Jadi, wajar saja, Hafa memperlakukan Ayres seperti anaknya sendiri, seperti bayinya. Ia yang merawat anak itu, sendirian. Kecuali untuk dukungan Daru dan alharhum ayahnya yang mungkin tidak cukup, tidak akan pernah cukup.
Mereka saling bantu. Saling berbagi. Lebih dari sekedar tumbuh bersama. Ia melihat bagaimana gadis kecil dengan gigi kelinci itu tumbuh besar menjadi gadis cantik, dengan masih mempertahankan gigi kelincinya. Ia menjadi gadis yang kuat, meski badannya yang terhitung mungil membuatnya kelihatan rapuh. Seperti ibunya, gadis itu ramah dan menyimpan bebannya di belakang.
Dan ia... jatuh dalam pesona gadis itu. Sulit untuk tidak melakukannya. Tidak bisa dihitung seberapa sering gadis itu memanggilnya Pak Dokdok, lalu tersenyum, kemudian tertawa, dan setiap itu Daru merasa jatuh cinta. Ia tidak pernah jatuh cinta selain ini. Gadis itu, adalah yang pertama dan satu-satunya.
***