Blitz-blitz kamera terus ditembakkan di ruangan itu, di bawah tangan dingin seorang pria yang sama sekali tidak berpenampilan selayaknya profesinya. Ia bahkan tidak berpenampilan selayaknya pria 29 tahun pada umumnya. Dengan kaus warna persik, satu ukuran kebesaran yang lengan pendeknya digulung, tinggi yang terhenti di kesaran angka 170-an, dan wajah baby-face yang teramat mulus, siapapun akan percaya jika ia mengaku anak SMA.
“Hadap sini sedikit. Angkat dagu. Ya, tahan!”
Namun jika bersedia mengabaikan fisiknya untuk sebentar saja, melihat bagaimana tatapan matanya ketika bertemu dengan lensa kamera, tidak seorangpun bisa menyangkal lagi bahwa dia adalah Aiden Rezaldi yang itu, fotografer profesional itu, yang tahun lalu menyabet banyak sekali penghargaan dibidang fotografi.
Beberapa meter di hadapannya, memakai terusan warna ivory dengan model halter neck, menatap kamera dengan dagu yang terangkat serta lipstik merah yang memberikan highlight di antara semua warna pastel di sekitar, adalah Leona Karlesha Bekker.
Mengatakannya cantik akan jadi satu penghinaan. Karena Leona amat sangat teramat cantik. Dia adalah dewi, titisan Cleopatra, reinkarnasi Aphrodite, terserah kau menyebutnya apa. Dengan wajah tirus yang terpahat sempurna, ditambah polesan make up yang membuatnya nyaris tidak nyata, ia mengarahkan tatapan matanya yang membius tepat ke kamera. Dan seperti itulah, satu lagi ada kilatan dan sebuah foto eksklusif berhasil diambil.
“Keren!” puji sang fotografer berwajah anak SD itu sambil tersenyum polos.”Nana-ku emang selalu keren.”
Leona, model yang populer setelah menjadi juara dalam ajang Asian Top Model dua tahun lalu itu hanya mendengkus tanpa ekspresi dan menatap pria di hadapannya bosan. Ia segera melepas heels miliknya dan melemparnya sembarangan.
“My name is Leona, itu sudah paling pendek yang boleh kamu sebut. Jangan mengarang nama dan jangan sok akrab.”
Leona melempar diri ke sofa kosong yang tersedia, lalu menggapai androidnya yang sejak tadi tergeletak di atas meja dan terus berkelip sementara Leona melakukan pemotretan. Ada banyak sekali panggilan tidak terjawab dan pesan masuk di sana.
“Dia nelpon? Aku nggak yakin,” cibir Aiden di belakangnya. Pria itu dari tadi diam-diam mengintip. Kemudian, ketika Leona menoleh dengan tatapan mengerikan yang sangat baik terpasang di matanya, Aiden pura-pura sibuk menikmati air mineral.
Gadis itu mengalihkan perhatiannya kembali ke ponsel dan menggeram kesal.
“Cuma si Besta sialan! Dia nggak punya otak apa sampai harus nelpon di jam kerja?!”
Aiden menyesap air mineralnya perlahan diiringi gumaman. “Iya, deh. Cuma kamu yang punya otak yang digunakan dengan baik, Nana Sayang. Yang lainnya masih segel, belum pernah dipak─”
“Finally!”
Nyaris saja Aiden tersedak ketika Leona berseru sampai melompat dari kursinya. Tidak perlu ditanyakan apa yang membuatnya seperti itu. Ia sudah bisa menebaknya.
“Sudah kubilang! Levant pasti menghubungi. Aku enggak ada menghubunginya dalam lima jam terakhir. Dan taruhan, dia pasti sedang kangen berat tapi berusaha menahan diri biar enggak ketahuan. Makanya pesannya dilama-lamain.”
Iya, terserah kamu saja, Leona.
Ada sebuah pesan singkat dari pria itu di layar ponselnya. Di bawah pesan terakhir Leona yang menanyakan apa yang sedak Levant lakukan.
Aku mau makan siang di Braga. Mau ikut?
Leona mengumpulkan pakaian dan sepatunya kembali, tergesa-gesa mengangkut semuanya dalam dekapan menuju ruang ganti. Berikutnya, tidak lebih dari lima menit ia sudah kembali dalam pakaian casual dan kacamata menutupi hampir sebagian wajahnya.
“Mau kemana?!” teriak Aiden di belakangnya.
“Makan!”
“Kemana?”
“Restoran lah, berisik!”
“Tunggu!” Aiden buru-buru meraih jasnya.“Biar kuantar!”
Ia baru akan berlari menyusul Leona ketika gadis itu berbalik sebelum mencapai pintu. Bibirnya menyunggingkan senyum miring.
“Kalau mau mati dibunuh Levant, silakan. Aku juga udah bosan liat muka bayimu!”
***
“.... bisa dikatakan, anak perusahaan yang satu itu sedang stagnan. Namun, ada yang lebih mendesak yang patut kita kuatirkan,” Harlan, pria yang hampir menginjak kepala empat itu memberi jeda pada presentasinya. Ia menggeser slide, kemudian, setelah menatap Levant yang masih sibuk membaca berkas laporan, ia melanjutkan. “Situasi keuangan di A-One Group sedang bermasalah besar. Target pasar yang dibidik untuk peluncuran gawai dua bulan lalu tidak sesuai perkiraan. Pemasukan begitu minim sehingga bahkan tidak bisa mengganti separuh dari biaya yang telah dikeluarkan. Usaha marketing dan promosi telah secara maksimal dijalankan namun masih tidak menemui hasil yang memuaskan.”
Ruangan hening. Seluruh pegawai yang hadir dalam rapat siang itu tertunduk. Sebagian pasang mata di antaranya memberanikan diri mengekor, membidik subjek masalah di ruangan ini. Dehaman Harlan kemudian menarik fokus mereka kembali. Pria itu menatap Levant, begitu hati-hati ketika ia akhirnya menyuarakan pikirannya. “Saya khawatir, jika dibiarkan ... perusahaan itu tidak lama lagi akan brangkrut, Sir.”
Bom barusaja dijatuhkan. Bom yang bahkan sudah semua orang ketahui kebenarannya, hanya tidak berani mengucapkannya keras-keras, utamanya di depan Levant. Semua orang menahan napas sekarang, menunggu. Yang nyaris membuat mereka gila karena Levant belum beranjak dari laporan di tangannya.
“Dia paham, kan, apa yang sedang dibahas?” Seseorang di ujung yang jauh berbisik pada rekannya.
“Entah. Saya jadi ragu apakah dia cukup pantas menjabat sebagai CEO baru? Hanya karena dia anak tunggal CEO yang lama kan tidak serta merta dia bisa─”
“Katanya dia lulusan terbaik Oxford? Dan katanya lagi dia ‘kan berhasil membangun perusahaan game dengan jerih payah sendiri? Dan sukses.”
“Tapi game kan berbeda dengan─”
“Ekhem.” Deham halus Levant menyentak semua orang. Semuanya, yang mulai ribut dengan opini masing-masing.
Dengan tenang, Levant mengangkat wajah, menatap seluruh karyawannya. Dan tidak bisa disembunyikan pekikan tertahan atau wajah memerah para bawahan perempuan. Siapa memangnya, yang sanggup memandangi pahatan wajah Levant Elenio Devara tanpa merasakan jantung yang kacau?
“Mengenai anak perusahaan MSD, A-One Group,” jeda sekali lagi mengambil alih. Levant memutar kursinya, ujung pulpen di tangan ia ketukkan di ujung meja. “Saya sudah memutuskan untuk menjual sebagian saham A-One pada perusahaan yang bergerak dalam bidang sejenis. Mereka sudah ada yang menawar.”
Selesai bicara, ia menutup berkas laporan di depannya, menegakkan duduk, dan sekali lagi, menatap jajaran peserta rapat satu-persatu. Sulit untuk tidak bergetar di tempat duduk berkat tatapannya itu. Nyaris semua orang mengartikannya tatapan mengintimdasi, dengan mata elangnya yang tajam itu, sulit bagi orang lain untuk beradu tatap dengannya lebih dari dua detik. Semua kalah.
Kecuali satu orang yang duduk di ujung meja. Pria muda, jangkung, kurus, begitu tampan seandainya Levant meninggalkan ruangan. Atau seandainya ia tidak menunjukkan emosi yang begitu kentara berkilat di matanya. Ia segera mengangkat tangan begitu Levant menemukan tatapannya.
“Aku keberatan.”
“Ya?”
Pria itu, Levant menatapnya ringan, seolah tidak peduli. Meskipun sebaliknya, wajah orang itu mengeras karena terlalu serius.
“Maaf, Pak Levant Devara yang terhormat. Tapi, setahu saya, A-One Group itu adalah perusahaan keluarga saya, dan akan menjadi tanggung jawab saya. Saya tidak menyetujui ide tentang menjual—“
“Bapak ... Remy, Remy Adrianata,” potong Levant. “Kalkulasi terakhir menunjukkan bahwa saham MSD yang menguasai A-One sudah lebih dari cukup untuk memberikanku otoritas terhadap perusahaan itu. Perusahaan itu secara teknik telah diakusisi. Ditambah, saham A-One sudah sangat melemah. Kamu tidak bisa menutupi bahwa perusahaan kecil itu akan segera menjadi sampah tanpa MSD. Jadi, menurut anda, anda memiliki hak untuk menginterupsi saya?”
“LEVANT—“ Remy menggebrak meja dan berdiri, menyentak orang-orang di sekitarnya.
“Dan tolong perhatikan etika anda, Bapak Adrianata.” Levant memandang ke seluruh ruangan, lagi. Tatapannya kali ini, meski ia tampak duduk dengan santai, namun rasanya dua kali lipat lebih mematikan dari sebelumnya.
“Sebaiknya rapat kita tutup sampai di sini saja. Semua sudah diputuskan. Dan Pak Harlan, saya menunggu laporannya di meja saya dalam tiga hari.”
Levant menjadi orang pertama yang berdiri. Ia melakukannya dengan anggun, tanpa beban. Ia membenarkan jasnya, menyelipkan pena di sakunya. Lalu, dengan diirngi sang sekretaris, pria itu meninggalkan ruangan dalam langkah wibawa.
Belum lagi ia dalam langkah kedua melewati ambang pintu, seseorang menarik kerah jasnya. Dan sebelum ia sempat menyadari, sebuah tinju keras telah bersarang ke wajahnya, telak mengenai hidung. Levant hampir terjungkal ke belakang jika saja tidak di tahan oleh orang-orang di sekitarnya. Ia mengusap darah segar yang segera merembes melewati rongga hidungnya dan berdecap.
Ia menatap orang itu, yang sedetik lalu memberikan pukulan membabi buta padanya, yang beberapa menit lalu tampak begitu emosi terhadapnya. Semua orang sedang menahan pri itu agar tidak kembali menyerang CEO mereka. Perlu lebih dari tiga orang untuk melakukannya. Karena pria itu semuda Levant, dan memiliki energi berkali lipat karena amarah.
“b******k! MATI AJA SANA!” teriaknya.
Levant diam, membiarkan pria itu terus bicara.
“Asal lo tahu, ya! Sampai beberapa menit lalu gue masih menganggap lo teman! Tapi apa balasan lo, hah?! Lo emang nggak punya hati!”
Levant melirik arlojinya. Ia menunggu hingga pria itu berhenti bicara, tersengal hingga kesulitan bernapas. Wajahnya memerah dan tubuhnya bergetar. Sementara Levant kemudian membalasnya dengan senyum miring. Benar, ia kenal pria ini. Dulu A-One dan MSD adalah anak-anak yang tumbuh bersama. Dulu, keduanya setara.
Anak kecil itu dulunya adalah teman Levant, satu-satunya. Yang bermain sepeda bersamanya. Yang memiliki sepeda baru dan memamerkannya pada Levant. Yang membuat Levant iri setengah mati sehingga nekat meminjam sepeda itu dan mengayuhnya dengan terlalu cepat. Sampai kecelakaan itu terjadi. Sampai ketika ia keluar dari rumah sakit dan menemukan sahabat kecilnya telah menghilang dari hidupnya. Sampai situ saja, persahabatan mereka.
“Berisik,” katanya, menatap tajam Remy. “Anda barusaja menghambat makan siang saya.”
***