Bab. 1—Satu Bintang
****
Jeni Zahra, merasa kesal pada keponakannya. Wanita berambut keriting sepunggung itu menghisap cerutunya dan menyemburkan asap pekat ke udara dengan wajah mengerikan. Usaha yang ia rintis beberapa tahun terakhir mulai mengalami kemunduran, ia harus menyelamatkan bisnisnya dan memiliki banyak uang. Pandangan wanita berpakaian seksi itu tertuju pada Adira Zahra—keponakannya sendiri.
Dengan dibantu dua pengawal setianya yang berbadan tinggi besar, Jeni Zahra menggelandang Adira memasuki mobil panther tua menuju ke sebuah club malam yang terkenal di ibukota. Wanita bertahi lalat di bawah bibir itu mantap dengan niatnya untuk menjual murah Adira pada p****************g yang kebetulan sudah memesan gadis perawan padanya.
"Tante, kita mau pergi kemana? Aku ingin tinggal di rumah," teriak Adira di dalam mobil. Gadis polos dengan rambut panjang sepunggung itu melirik sisi kanan dan kirinya dengan wajah takut. Dua orang suruhan tantenya duduk mengapit dirinya, seolah mereka tahu bahwa Adira bisa kabur kapan saja ketika mereka lengah.
"Sudah saatnya kamu balas kebaikan Tante. Sudah tiga tahun Santi mati dan kau hidup bergantung denganku. Kau kira hidup di rumahku itu gratis, hah? Kamu kira air, listrik, biaya sekolah semua itu sedekah?" Jeni melirik sinis pada Adira melalui kaca spion yang terletak di depan kemudi.
Adira menggigit bibir, ia mencengkeram lututnya dengan rasa gelisah. Baginya, ini bukanlah kali pertama. Selama tiga tahun hidup bersama tantenya, ini adalah yang keempat kalinya Jeni Zahra menggelandangnya bak babi ke meja pemotongan. Hanya saja kali ini Adira tak memiliki alasan kuat untuk menolak.
"Tante, beri aku satu kali kesempatan. Biarkan aku bekerja dan aku akan berikan semua gajiku padamu. Tante Jeni, aku mohon." Adira memohon, menggunakan mimik wajah memelas untuk menggugurkan niat tantenya tersebut. Gadis polos berwajah natural itu menangkup kedua telapak tangannya di depan d**a, memohon dengan sangat kerendahan hati sang tante.
"Tidak. Berapa sih gajimu sebulan jika kau bekerja? Bahkan hingga kamu tua, kamu tidak akan bisa melunasi semua beban hidup yang kau berikan padaku." Tante Jeni menatap jalanan malam dengan wajah penuh waspada. Wanita paruh baya itu masih terlihat seksi dengan gaun bertali tipis warna merah menyala. "Dengan aku menjualmu di club malam, setidaknya aku mendapatkan ratusan juta rupiah dalam sekejap. Tidakkah kau senang bisa membantu tantemu yang miskin ini?"
Adira menelan ludah, ada perasaan takut yang tak bisa ia lukiskan saat ini. "Aku bisa membayar hutang pada Tante tapi jangan pernah berniat untuk menjualku. Tante, ini perbuatan salah."
"Salah apanya? Santi—ibumu, juga menjadi p*****r setelah lulus SMA. Bodoh saja ia memilih pria kere dan akhirnya mati karena diselingkuhi suaminya. Kamu putrinya, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sudahlah, kamu juga tidak akan capek. Kamu akan merasa nikmat dan ketagihan setelahnya. Tante yakin itu." Jeni lalu mengabaikan ucapan Adira, membiarkan gadis polos itu terus mengumpat dan memohon belas kasihannya.
Mobil panther tua warna biru itu memasuki area club terkenal. Setelah memarkirnya dengan rapi, Jeni Zahra menginstruksi kedua pengawalnya untuk kembali menggelandang Adira memasuki club tersebut. Adira menolak, ia bertahan dan mogok jalan. Hal tersebut tentu saja membuat Jeni merasa kesal luar biasa.
"Tante, aku tidak mau dijual! Meski ibuku p*****r, aku tidak mau seperti dia. Tante, lepaskan aku!" Adira berteriak keras, menahan langkahnya agar dua pria berotot itu merasa keberatan saat menarik tubuhnya masuk ke dalam ruangan penuh cahaya lampu kelap-kelip beraneka warna.
"Menurutlah! Jangan membuatku malu," tegas Jeni sambil berkacak pinggang, merasa marah dengan tingkah Adira yang begitu berlebihan.
"Tidak! Aku tidak mau. Jangan jual aku!" Adira lagi-lagi berteriak, membuat perhatian seluruh pengunjung club malam terpusat pada gadis belia dengan dandanan polos dan pakaian sopan tersebut.
Jeni Zahra meradang, wanita paruh baya itu maju lalu menampar wajah keponakannya dengan begitu keras. Tamparan itu sukses memecah perhatian siapapun yang datang ke club malam tersebut. "Hidupmu tergantung pada Tante! Jika kau masih ingin bernapas sampai besok, menurut pada Tante!"
Adira menahan tangis, rasa panas di pipinya berhasil membungkam teriakannya yang membahana. Kedua pengawal tantenya kembali mencekal kedua tangan Adira, menggelandang gadis belia itu agar bersedia masuk ke dalam ruangan.
Teriakan Adira sama sekali tak dihiraukan. Jeni Zahra menghampiri seorang pria berjanggut lebat dengan beberapa wanita yang menempel bak ulat di sisi kanan dan kirinya. Melihat kedatangan Jeni, wajah pria itu berubah semringah seperti bocah dibelikan es krim.
"Tuan Darma, aku sudah membawa pesananmu. Kira-kira berapa transaksi yang bisa aku terima?" tanya Jeni tanpa basa-basi seraya menggosok kedua tangannya dengan pelan. Bola mata wanita itu melirik sejenak pada Adira yang sibuk berontak dan melepaskan diri cengkeraman sang pengawal Jeni.
"Tidak! Aku tidak mau dijual. Aku masih perawan, tolong hargai aku!" teriak Adira terus membuat kegaduhan. Jeni menatap tak suka, ia mengisyaratkan kedua pengawalnya untuk memukul Adira agar diam.
Benar saja, pria itu melayangkan bogem mentah ke pipi Adira. Tak hanya bogeman, tamparan juga diterima Adira hingga sang gadis tersungkur ke lantai dengan darah mengucur dari hidung dan sudut bibir Adira.
"Tunggu! Ada apa ini?" Seseorang mulai terlihat menengahi keributan di club yang tak kunjung usai. Adira mendongak, menatap sosok pria berpenampilan cukup dewasa dengan kisaran umur 35 tahunan. Pria itu terlihat tak biasa, pakaiannya berkilau dan sangat rapi. Melirik sekilas pada Adira yang babak belur, pria itu menaruh hati. "Kau tidak bisa melakukan hal ini. Jika gadis muda ini tak mau, lalu kenapa harus dipaksa?"
Jeni menyipitkan mata, ia maju beberapa langkah dan menghadang pria bertubuh tinggi lagi kekar tersebut. "Hei, Tuan, jika kau tidak memiliki uang yang cukup sebaiknya jangan turut campur masalah orang. Aku menjual keponakanku karena dia begitu banyak berhutang padaku dan nyaris membuatku bangkrut."
Pria itu melirik sekali lagi pada Adira. Tatapan keduanya bertemu sesaat. Adira menatal pria itu dengan penuh permohonan, berharap ia bisa membebaskan Adira dari penderitaan yang disebabkan oleh tantenya. "Kau jual berapa? Aku akan membayarnya."
"Hei, Bung, kau tidak bisa berbuat demikian. Aku yang telah lebih dulu memesan perawan ini." Pria bernama Tuan Darma itu bangkit dari duduknya dan mulai menentang pria rupawan tersebut.
"Aku bisa membayar lebih banyak dari tuan ini. " Pria itu berkata mantap, berkacak pinggang dengan bola mata terus awas dalam menatap Tuan Darma.
Jeni Zahra mendadak merasa bangga. Kini keponakannya mulai diminati, ia bisa menjual Adira dengan harga yang jauh lebih fantastis. "Tuan Darma, katakan berapa rupiah uang yang akan kau berikan padaku?"
"100 juta." Tuan Darma menjatuhkan angka tanpa rasa takut dalam sorot matanya. Jeni terkesiap, angka awal yang sungguh menggiurkan.
"150 juta." Pria itu tak kalah membandrol harga untuk Adira. Hal ini membuat Adira tak percaya jika pria yang baru saja datang berniat sama untuk membelinya. Entahlah, apakah ia harus bersyukur atau sebaliknya.
"175 juta." Tuan Darma menautkan alis, mulai merasa kesal pada pria yang turut campur dalam urusannya. Bagi Darma, jika ia kalah dalam taruhan maka ia tidak memiliki muka lagi terlebih ia sudah terkenal sebagai pria paling kaya di club malam tersebut.
Pria itu terdiam sejenak, ia merogoh cek dari dalam kantong jas hitam yang ia pakai lalu menampakkannya ke hadapan Darma dan juga Jeni. "300 juta. Penawaran terakhir untuk gadis itu."
Semua orang terkejut terlebih Jeni. Wanita paruh baya itu menutup mulut rapat-rapat saat sang pria tak dikenal berani menyebut angka fantastik itu tanpa merasa berat hati. Tuan Darma menggeram, ia lalu berbalik badan dan meninggalkan acara pelelangan itu dengan wajah malu sekaligus murka.
"Tuan, apa benar kau akan membeli keponakanku seharga 300 juta?" Jeni Zahra memastikan, menatap penuh binar pada pria ganteng yang kini sibuk mengisi cek tersebut dengan uang sebesar 300 juta.
Pria itu lalu menyodorkan kertas berharga ke hadapan Jeni Zahra tanpa ekspresi. "Ambil ini. Dan keponakanmu resmi menjadi milikku."
****
Adira menggigit bibir, ia tertunduk saat tubuhnya dibawa masuk oleh sang pembeli ke dalam mobil BMW milik pria tersebut. Ia tidak mengira jika pria yang semula ia harapkan untuk menolongnya justru ikut-ikutan melelang tubuhnya. Pria itu memasuki mobil, ia melirik sekilas pada sosok Adira lalu memakai seat belt. "Jangan salah paham, aku tidak seperti mereka."
Adira mencoba mengangkat wajah, menatap sosok tampan bak malaikat itu dengan berbagai asumsi yang terlintas dalam benaknya. Pria itu menyalakan mesin mobil, membawa Adira pergi jauh dari suasana club malam yang ramai dan penuh dengan transaksi haram.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Kau membeliku seharga 300 juta. Tidakkah kau merasa sayang dengan uangmu, Paman?" Adira berkata pelan, menatap serius pada pria berusia 35 tahunan itu dengan tatapan tak mengerti.
Pria yang bernama Gama Adiyaksa menaikkan alisnya sebelah saat sapaan 'paman' ia terima dengan begitu sangat jelas dari bibir Adira. Benarkah ia terlihat sangat tua? Kurang ajar sekali bocah ini?!
"Hei, seharusnya kau bersyukur bertemu pria baik hati sepertiku. Lalu—jangan pernah sebut aku Paman. Aku bukan pamanmu!" Gama merasa buruk rupa saat Adira memanggilnya paman.
"Kenapa tidak boleh? Panggilan itu sangat cocok untukmu." Adira berkata jujur. Sebuah kejujuran yang membuat Gama Adiyaksa merasakan malu hingga ke ujung ubun-ubun. Ah sudahlah!
"Aku membelimu bukan karena aku ingin memakaimu. Aku hanya ingin membebaskanmu," jelas Gama tanpa menatap ke arah Adira.
Gadis itu terdiam, menyeka darah yang masih sesekali mengucur dari hidungnya. "Jika itu memang niatmu maka aku pantas berterima kasih padamu. Aku akan mulai bekerja keras membayar 300 jutanya secara bertahap."
Gama menyeringai, uang 300 juta tidaklah mudah untuk dicari. Terlebih dengan pekerjaan yang memiliki gaji kecil, harus menunggu berapa lamakah Gama menunggu uang 300 jutanya kembali?!
Dering ponsel Adira membuyarkan lamunan Gama, pria itu menoleh ke arah Adira yang sibuk mengangkat teleponnya.
"Halo Arman, ada apa?" Gadis itu menyapa, membuat perhatian Gama sesekali pecah dan menoleh beberapa kali ke arah gadis itu.
"Aku dengar tantemu membawamu ke club malam lagi. Benarkah itu?" tanya pria itu dibalik ponsel Adira. Gadis itu tersenyum tipis, menatap jalanan malam yang masih ramai dengan lalu lalang kendaraan.
"Tenang saja, ada seseorang yang baik hati menyelamatkanku saat ini." Adira menatap sekilas pada sosok Gama.
"Syukurlah. Apa kau baik-baik saja? Aku mengkhawatirkanmu." Pria bernama Arman terdengar resah, kali ini Adira mencoba tertawa meskipun terdengar sangat kaku.
"Aku tidak apa-apa, jangan mengkhawatirkanku seperti itu." Adira mencoba menghibur, memberi kesan kerutan yang mendalam di dahi bersih Gama Adiyaksa.
Sebenarnya Gama sudah mengenal Adira sejak lama. Gadis itu adalah teman sekelas Tyas Adiyaksa—adik Gama. Beberapa kali bertemu dalam acara sekolah, membuat Gama tak bisa menghilangkan bayang wajah Adira yang begitu eksotik.
Ya, Adira Zahra adalah gadis bertubuh kecil dan ramping. Posturnya yang imut semakin terlihat menggemaskan ketika rupanya ia memiliki sepasang bola mata berwarna biru langit yang menenangkan bagi siapa saja yang menatapnya. Gadis itu tidak begitu ayu, hanya saja sepasang bola mata indah dengan bulu mata lentik lagi lebat itu menjadi penambah daya tarik yang tak terelakkan.
Perhatian Gama pecah saat Adira memutus sambungan telepon. Dia menoleh sekali lagi ke arah Adira. "Siapa yang meneleponmu? Apakah dia pacarmu? Kenapa tak minta dia saja untuk menebusmu?"
Adira terdiam, merasakan gelagat aneh dalam setiap cecaran pertanyaan Gama yang sama sekali tidak ia mengerti. "Apa maksudmu, Paman? Dia Arman, teman SMA-ku dan kami sama sekali tidak berpacaran."
Gama terdiam, merasa tak yakin dengan pengakuan yang dibuat gadis itu padanya. "Jika teman, kenapa dia begitu perhatian padamu?"
Adira merasa kesulitan untuk menjawab. Ia terkesiap saat mobil BMW warna putih itu mendadak menepi dan akhirnya berhenti di salah satu jembatan layang di ibukota. Gama menatap sekitar, ia lalu menatap gadis itu dengan seksama. "Aku ingin bertanya padamu, Adira Zahra."
Adira melongo, tak percaya jika pria tak dikenal ini mengenal namanya. Namun rasa penasarannya harus tenggelam saat pria itu mengajukan pertanyaan berat ke arahnya.
"300 juta bukanlah uang yang mudah untuk didapat. Aku memiliki penghasilan dan uang 300 juta itu adalah modal usahaku. Jadi, kira-kira dengan apa kau akan membayarnya?" Gama bertanya dengan nada pelan. Pertanyaan itu sukses membuat bulu kuduk Adira meremang.
"Paman, kau sedang tidak mencoba untuk mengambil keperawananku bukan?" Wajah Adira menegang, terlihat jelas kepolosan hati anak itu di hadapan Gama.
Pria itu menghela napas, bergeming setelah jawaban Adira terlontar. Sebagai pria yang pernah kehilangan dompet berisi uang jutaan dan juga lima buah kartu ATM berisi penuh dengan pundi-pundi uang di sekolah Tyas, ia tidak pernah melupakan bagaimana gadis itu mengembalikan dompetnya tanpa minta imbalan sedikitpun.
"Seperti yang kukatakan tadi Paman, aku akan bekerja dan menyicil hutangku padamu. Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan mungkin kabur." Adira mencoba menjamin ucapannya, membuat Gama menatap sekali lagi ke arah Adira.
"Bagaimana jika kau menjadi kekasih gelapku saja?" Gama dengan berani menawarkan hal itu pada Adira.
"A-apa?" Adira mengerutkan dahi, tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Ya, kekasih gelap. Aku akan mencarikanmu pekerjaan yang mapan, dengan begitu kau bisa bekerja dan menyicil 300 juta tersebut. Tenang saja, kekasih gelap hanya sebuah jaminan agar kau tidak kabur dariku. Bagaimanapun 300 juta adalah modal usahaku. Bagaimana Adira? Apakah kau setuju untuk menjadi kekasih gelapku?"
****