Melihat seseorang yang biasanya menjadi sosok paling periang seketika terdiam di ranjang tentunya menjadikan satu hal yang sangat canggung sekali. Tak ada yang berani mengeluarkan sepatah kata pun sebagai topik pembicaraan. Tak ada yang berani menegur Bilqis yang biasanya selalu menjadi penyatu bagi anak-anak kelas XI MIPA 4. Toh juga sedari tadi Bilqis hanya terbaring di ranjang unit kesehatan sekolah dengan wajah pucat dan pikiran yang melayang ke mana-mana.
"Kan udah gue bilangin ke lo kalau gue aja yang gantiin hukuman lo. Tapi apa yang lo lakuin? Lo malah berusaha buat sok kuat. Lo malah mau lari dan muterin lapangan lima kali. Gue yang panik, Iqis. Gue yang takut dan khawatir kalau lo kenapa-kenapa." Setelah ada sekitaran lima belas menit hening di dalam ruangan serba putih tersebut, akhirnya Axvel memutuskan untuk membuka suara. Ia memutuskan untuk menegur sang sahabat yang memang semaunya sendiri.
Apakah Bilqis sama sekali tidak tahu jika seluruh anak XI MIPA 4 khawatir dengannya? Pasalnya hanya Bilqis lah manusia paling ceria nan periang di kelas. Hanya Bilqis lah yang mampu menyatukan satu kelas menjadi satu otak yang berjiwa gila. Bilqis memang sering kali seperti itu orangnya. Ia selalu saja menganggap remeh apa yang terjadi, menganggap seolah-olah memang ia bisa melewati itu semua dengan sangat mudah sekali. Menganggap jika itu adalah suatu hal yang sangat biasa dan tak perlu diambil pusing.
Sok kuat, itulah satu kalimat yang sangat melambangkan sifat keras kepala daripada Bilqis. Ia tak mau jika orang lain menganggap dirinya lemah. Ia tak mau jika orang lain menganggap dirinya sepele. Ia mau dianggap sangat luar biasa sekali oleh orang lain.
"Sssttt! Udah deh, Vel. Mungkin Iqis risih kali lo perlakuin dia kayak gitu. Mungkin Iqis ngerasa dia bisa lari lima puteran. Iqis bertanggung jawab atas apa yang udah dia lakuin, dia ribut di kelas dan dia bertanggung jawab akan hal itu. Dia bertanggung jawab atas hukuman yang dikasih ke dia itu." Mendengar Axvel langsung menyalahkan Bilqis, seketika membuat Azila langsung maju dan turun tangan. Ia membela sang sahabat tentunya. Bilqis tak bersalah, bukan? Ini semua mungkin memang sudah takdir. Memang sudah jalannya seperti ini saja, tak perlu menyalahkan siapa-siapa di sini. Apalagi saat ini kondisi Bilqis masih sangat drop sekali, tak sepantasnya Axvel malah menyalahkan gadis tersebut.
"Dia boleh bertanggung jawab atas apa yang dia lakuin, atas hukuman apa yang dia terima, cuma jangan sampai enggak mikir kayak gini. Dia tau apa yang terjadi kalau dia maksain. Dia tau apa yang terjadi kalau dia kecapekan. Dia tau segala konsekwensinya. Gue bersedia dengan sangat menggantikan Iqis buat bertanggung jawab, gue enggak masalah kalau direpotin sama Iqis. Gue enggak masalah kalau gue yang dihukum banyak sama guru. Tapi liat temen lo itu? Dia sendiri yang nyari penyakit," tegas Axvel dengan penuh penekanan di setiap katanya.
Bilqis yang sedari tadi menjadi pusat pembicaraan hanya bisa menunduk penuh dengan rasa bersalah. Ia tak berani mengatakan sepatah kata pun. Ia juga tak berani menatap ke sahabatnya siapa pun juga. Mungkin memang ia menyadari jika keegoisannya ini sangat salah dan sangat berdampak sekali.
"Udahlah, Vel! Lagian juga yang terpenting sekarang Iqis enggak kenapa-kenapa, kan? Biar bisa dijadiin pembelajaran ke depannya untuk enggak egois. Kasian juga Iqis kalau lo salahin terus kayak gitu. Dia baru bangun loh, dia pasti masih pusing, masih banyak keluhan yang lainnya juga." Kali ini gantian Abela yang melerai antara Axvel dan juga Azila yang sempat bersilat lidah.
"Sorry, Vel." Tanpa diduga, si topik pembicaraan yang sedari tadi sedang dibahas langsung membuka suaranya dengan sangat lirih, menunduk seolah merasa sangat bersalah sekali karena diperdebatkan dengan seperti ini. "Maaf kalau gue udah ngerepotin lo. Maaf kalau gue udah ngerepotin kalian semua. Maaf kalau gue udah buat kalian khawatir. Gue emang bodoh banget! Gue emang beban bang—"
"Qis! Lo bukan beban. Kita semua emang rela kok direpotin sama lo. Kita semua enggak apa-apa banget kok kalau bisa bantuin lo. Kita semua sayang banget sama lo. Kita semua enggak merasa terbebani." Axvel yang sedari tadi selalu saja terbawa emosi seketika memotong pembicaraan Bilqis, ia langsung membalasnya dengan sangat lembut sekali. Mendekatkan dirinya juga ke gadis yang menjadi sahabatnya tersebut, lalu memeluk Bilqis dengan sangat tulus sampai mengusap punggung tubuh Bilqis. Rasa sayangnya memang benar-benar terpancar dari hal yang sedang ia lakukan tersebut. "Jangan diulangin lagi, ya. Kita khawatir kalau hal kayak gini sampai terulang lagi. Kita semua enggak mau kalau lo kenapa-kenapa. Gue enggak mau jadi sahabat yang enggak berguna. Apa pun yang lo butuhin, sebisa mungkin bakalan gue penuhi. Lo segalanya."
Sampai kapan pun memang akan seperti itu. Mereka semua sudah bukan terasa sahabat lagi, tetapi sudah terasa sebagai keluarga. Kekeluargaan mereka memang sangatlah dekat dan sangatlah baik sekali. Tak ada saling menusuk dari belakang setelah dua tahun ini menjalani kekeluargaan bersama. Tak ada yang namanya munafik juga, semuanya mendukung dan merangkul satu sama lain. Dan tahukah kalian jika yang menjadi poros dari kekeluargaan ini adalah Bilqis. Bilqis yang selalu dilihat sebagai pusat. Bilqis yang bisa mengatur semuanya supaya menjadi lebih baik.
Ya walaupun Bilqis tak secerdas Abela dan Azila, tak sekalem perempuan lainnya, tak selumayan diam Pelita juga, tetapi Bilqis selalu menjadi sosok yang apa adanya. Bilqis tak pernah munafik. Bilqis memang selalu menjadi dirinya sendiri. Oleh sebab itulah Bilqis menjadi perangkul yang sangat baik sekali. Bilqis menjadi sosok gila yang memang benar-benar digilai oleh semua anak-anak kelas XI MIPA 4.
"So sweet! Kalian itu cocok banget, deh. Dah buru kawin sana, Vel, Qis! Keburu ntar lo hamil tua, Qis. Anak lo cowok kan?" Sudahi ketegangan ini semua, saat ini waktunya bersenang-senang dan gila kembali. Pelita yang menjadi kompor, ia langsung kembali membakar kegilaan di antara teman-temannya, asal mengatakan jika Bilqis dan Axvel sangat cocok padahal Pelita sendiri sangat yakin jika di antara keduanya tak akan pernah terjadi apa-apa. Mereka berdua hanyalah teman belaka. Sahabat yang kemudian menjadi keluarga, sama seperti anak kelas XI MIPA 4 lainnya.
"Iya kan udah empat bulan katanya ya?" sahut Abela mulai mencairkan suasana juga. Tawanya yang renyah seketika membuat yang lain juga turut tertawa. "Mau dikasih nama siapa nih? Jangan sampai Velis, ya! Nanti yang ada di otak gue alis malahan," lanjutnya dengan bercandaan juga.
"Bukan Velis sih, cocoknya Alis aja," balas Azila turut bercanda juga.
"Heh, sembarangan! Mana ada gue mau sama modelan Iqis yang otaknya setengah kayak gini!"
"Semprul! Tadi aja sok so sweet lo! Sekarang udah kayak sahabat dajjal lagi aja!"