Zevana Pov
Aku meringkuk di salah satu kursi yang tersedia di sebuah taman kota yang cukup jauh dari keramaian. Setelah melarikan diri dari pesta menyakitkan tadi dan mengabaikan teriakan memanggilnya pria yang membawaku ke pesta itu, aku menyetop sebuah taksi yang kebetulan melintas. Dengan pikiran yang kalang kabut aku meminta supir taksi itu menjalankan kemudinya. Membawaku menjauh dari areal pesta laknat itu.
Demi Tuhan! Aku hanya ingin menenangkan diri saja setelah mendapatkan kenyataan pahit yang ku lihat dengan dua bola mataku secara langsung.
Aku menundukkan kepalaku dan menangis sejadi-jadinya. Bahuku berguncang hebat menahan rasa pedih yang melanda. Aku memang tidak langsung pulang, karena aku tidak mau membuat Ayah dan Bunda mendadak panik karena melihat anaknya yang tiba-tiba menangis histeris sepulangnya dari pesta, maka setelah membayar argo taksinya aku pun mengunjungi taman kota yang sunyi sepi tak banyak di lalui orang-orang.
Aku butuh sendiri!
Aku menekan dadaku dengan keras. Rasanya begitu sakit, melihat dua orang yang semula ku anggap sebagai orang-orang yang menyayangiku dan juga sebaliknya namun kini malah berbalik arah menjadi dua makhluk yang ku benci karena alasan yang pasti.
Kau tau? Penghianatan itu sangat menyakitkan. Sakitnya melebihi ketika tanganmu tergores oleh ujung pisau tajam yang baru saja di asah untuk memotong daging yang cukup liat.
Ya Tuhan! Kenyataan macam apa yang aku dapatkan ini?
Kenapa harus mereka yang melakukan penghianatan sebegitu kejamnya terhadapku? Apa aku pernah menyakiti mereka sehingga apa yang di lakukannya itu merupakan sebuah ajang balas dendam kepadaku.
Tega sekali!
Aku memukul-mukul pahaku, untuk melepaskan emosi yang ada dalam diriku. Mengapa mereka sekejam itu?
Aku membungkam mulutku dengan tangan erat-erat. Berusaha meredam suara tangisanku sendiri. Hingga suara bariton itu terdengar sedikit menyentakku.
"Tidak baik menangis sendirian di tempat sepi seperti ini." Ujar suara bariton yang muncul dari sampingku. Sepertinya aku kenal dengan suara ini? Suaranya terdengar familiar, tapi mana mungkin itu suara dia?
Aku mengangkat wajahku lantas melemparkan tatapanku ke arah si pemilik suara. Ternyata benar dugaanku, sosok lelaki berwajah tampan namun selalu menampilkan raut datarnya yang tak lain adalah lelaki pilihan orangtua ku tengah menatapku hangat namun sedikit iba melihat penampilanku yang begitu berantakan. Dia duduk di sebelahku dengan sikap tenang yang ada pada dirinya.
Raditya Rumy Erjaya. Lelaki itu ternyata berhasil menemukan aku.
Aku sekilas meliriknya yang sudah duduk di sisiku dengan kelopak mata yang masih di penuhi genangan air hangat. Sempat heran mengetahui dia bisa berada disini dan tau keberadaanku, padahal aku tidak menghubunginya atau apapun itu mengingat keadaanku seperti sekarang.
"Kenapa kamu bisa ada disini? Kamu gak lagi nguntit aku kan?" Tuduhku sembari menatapnya penuh selidik
Dia mendengus, sebelum akhirnya mata hitam pekatnya menyorot hangat ke arahku.
"Instingku yang mengatakan, kalau kamu sedang berada di sini sekarang."
Aku membuang muka, tapi dia tidak merasa terpengaruh dengan sikap ketusku. Insting? Jawaban macam apa itu huh?
"Ini .. " ujarnya menyodorkan sapu tangan ke depan wajahku "Ambil dan hapuslah air matamu sekarang!" Sambungnya dengan nada memerintah
Aku menatap saputangan di depanku beberapa saat. Dengan ragu, ku arahkan tanganku untuk meraih saputangan yang di sodorkannya.
"Hentikanlah tangisan yang tidak berguna itu!"
Aku tersentak mendengar kalimat bernada datar yang di lontarkannya, lantas menengok ke arahnya dan memandangi dirinya dengan perasaan terkejut, apa yang dia katakan? Tangisan tak berguna?
Dengan emosi ku kembalikan saputangan itu tepat ke tangannya, "Ambil ini dan aku tidak membutuhkannya!" Putusku sengit lalu bangkit berdiri.
"Tunggu!" Cegahnya, lelaki itu ikut berdiri dan ku rasa dia menyesali perkataannya tadi.
"Maaf kalau kata-kataku barusan sudah menyinggungmu, pakailah saputangan ini dan hapuslah air matamu. " pintanya melembut
Aku menoleh dan menatap dia penuh ragu, kemudian beralih pada saputangan yang sudah bertengger di tanganku lagi. Meski sempat tidak yakin, namun pada akhirnya aku pun memakai saputangan pemberiannya itu.
"Terima kasih" ucapku lirih, kemudian menghapus bekas air mataku yang masih menempel di kedua pipiku
----
Rumy Pov
Tangisnya sudah reda. Dan aku bersyukur karena bisa menemukannya di kursi taman kota yang sepi. Setelah berlari mengejarnya yang tiba-tiba pergi dengan tangis yang terdengar pilu, aku pun melihat Zevana menaiki sebuah taksi. Tanpa ingin membuang kesempatan aku pun melesatkan langkahku ke arah mobil dan segera mengikuti taksi yang di tumpangi oleh Zevana.
Dan sekarang gadis itu sedang duduk di atas ayunan yang terletak tak terlalu jauh dari taman kota. Seusai dia menghapus air matanya dengan saputangan pemberianku, aku pun mengajaknya ke sebuah lahan permainan anak-anak yang menyediakan dua buah ayunan yang terpasang kokoh dan kuat di atas tiang kecil yang memanjang. Kami duduk bersebelahan, memandangi langit malam yang sepi tanpa di temani bintang-bintang.
Diam-diam aku memperhatikan Zevana yang sedang sibuk di ayunannya, keceriaannya tidak lagi aku temukan di raut wajahnya. Hanya gurat kesedihan dan kekecewaan lah yang sekarang aku dapati di mukanya.
Lelaki itu, kenapa dia sampai tega hati menyakiti gadis semanis dan seriang Zevana. Ya aku tau. Aku tau apa yang membuat Zevana menangis. Lelaki yang masih menjadi kekasihnya telah berkhianat, dia malah bertunangan dengan perempuan lain. b******k sekali bukan?
Ku harap lelaki pecundang seperti dia mendapatkan balasan yang lebih menyakitkan dari apa yang Zevana rasakan sekarang. Aku berdoa begini karena aku tidak rela melihat gadis itu menangis tersedu-sedu seperti tadi. Aku ikut merasakan sakit kau tau? Entah alasannya apa, yang jelas aku akan turut merasakan apa saja yang sedang dia rasakan.
Jika dia bahagia. Maka aku akan ikut bahagia. Dan jika dia bersedih maka hatiku pun akan seperti itu adanya. Aku tidak mengada-ada, tapi memang begitu lah yang ku rasakan.
Aku melirik Zevana yang masih menikmati langit malam di ayunannya. Ada sorot terluka dari tatapannya, aku tau dia masih merasa sakit karena kenyataan pahit yang di alaminya beberapa waktu lalu.
"Taman ini selalu sepi saat malam hari." Cetusku memecah sunyi, dia menoleh menatapku "Kalau kamu butuh ketenangan untuk mengembalikan suasana hatimu yang sedang rapuh, ku rasa ini adalah tempat yang cocok." Lanjutku balas menatapnya hangat
Dia membuang nafas. Kepalanya di tundukan dan bahunya melemah lagi. Aku pikir dia kembali teringat akan kesakitannya. Aku menghela nafas panjang, "Jangan menangis lagi! Semuanya akan baik-baik saja. Dan kau perlu tau nona manis, aku tidak akan segan-segan untuk menculikmu kalau kamu menangis lagi seperti tadi" ancamku setengah bergurau
Ku lihat dia tersenyum kecil. Dan rasa lega langsung menghampiri, walaupun hanya separuh. Setidaknya gurauanku barusan cukup berhasil membuatnya tersenyum.
Aku melirik arloji di tangan kiriku. Sudah malam, ku rasa aku harus segera mengantar Zevana pulang. Aku tidak mau membuat Om Rendi dan tante Maura khawatir karena anaknya belum aku pulangkan. Aku beranjak dari ayunanku dan berdiri di hadapan Zevana yang masih betah di ayunannya.
"Sudah malam. Sebaiknya aku antar kamu pulang sekarang!" Putusku mengajak
Zevana mengangguk setuju. Dan kemudian dia ikut beranjak menjauhi ayunannya. Kini kami sudah berbalik arah hendak meninggalkan taman bermain ini. Melangkah beriringan menuju fortuner hitamku yang terparkir di sekitar taman kota tadi.
Angin berhembus cukup kencang membuat gadis di sebelahku bergidik kedinginan. Kedua tangannya melingkup memeluk tubuhnya sendiri dan mengusap-usap lengan polosnya yang tak tertutupi gaun abu-abu tanpa lengan yang di kenakannya.
Merasa tidak tega melihat seorang gadis kedinginan seperti itu, aku pun berinisiatif melepas jas abu-abuku. Tanpa seizinnya aku lantas menyampirkan jasku ini menutupi bagian tubuh belakangnya, membuat Zevana terhenyak dan langsung menoleh ke arahku.
"Pakailah. Setidaknya kau tidak akan kedinginan lagi" ucapku tulus menyunggingkan senyuman tipis di bibirku yang sukses membuatnya termangu beberapa saat.
Ada apa? Apakah gadis ini terpesona dengan senyumanku?
Haha. Ku rasa aku mulai kegeeran sendiri. Sudahlah!
-----
Zevana Pov
Untuk pertama kalinya. Aku melihat dia tersenyum. Meski sangat tipis tapi senyumannya mampu membuat detakan jantungku berhenti sepersekian detik.
Astaga! Apa yang aku pikirkan?
"Sudah sampai. Apa kau tidak mau turun?"
Aku tersadar dari pikiranku dan menoleh ke arah samping. Ku lihat Rumy sedang menatapku bingung. Ah ya, aku memang membingungkan sekarang. Dengan sikap anehku sehabis melihat senyuman Rumy tadi, aku jadi serasa seperti orang linglung.
Haish~
"Ah? Em ya.. Tentu saja aku akan turun" sahutku gelagapan, duh kok jadi grogi gini sih?
Sebelum Rumy menangkap keanehanku, aku buru-buru melepas seatbelt yang menyilang di tubuhku. Sebaiknya aku cepat turun atau aku akan mempermalukan diri sendiri hanya karena sikapku yang mendadak grogi.
"Aku turun ya. Terima kasih sudah mengantar" ucapku sedikit membungkuk, lalu berbalik untuk membuka pintu mobil.
Tapi saat aku melihat lengan jas yang menggantung menutupi sebagian bahuku seketika aku kembali berbalik lagi menghadap Rumy.
"Kenapa?" Tanyanya mengernyit
"Ah tidak. Ini jas milik mu dan--"
"Pakai saja! Aku tidak akan kedinginan meski hanya memakai kemeja saja." Potongnya sedikit menyindir
Uh. Kalimat macam apa itu? Menyebalkan sekali.
"Baiklah kalau itu mau mu. Ku harap tidak ada angin nakal yang berniat memasuki tubuhmu yang tanpa mengenakan jas ini" balasku sedikit ketus dan memutuskan untuk segera keluar dari mobil lelaki itu.
Aneh. Kenapa dia jadi menyebalkan seperti itu? Huh.
"Selamat malam dan sampaikan salam hormatku pada Ayah Bundamu" ucapnya berpesan setelah aku menutup pintu mobilnya dari arah luar
"Ya. Semoga saja ayah dan bundaku belum tertidur. Jadi aku bisa menyampaikan salam hormatmu pada mereka"
Rumy mengangguk singkat. Lalu segera menyalakan mesinnya setelah aku berbalik badan untuk memasuki halaman rumah melewati pintu pagar.
"Kenapa ekspresinya datar lagi? Padahal aku berharap dia memunculkan senyumannya lagi seperti di taman tadi."
Arrrghhtt!!
Aku menggeleng kuat. Apa yang ku pikirkan? Kenapa aku jadi aneh begini. Bukankah seharusnya aku kembali bersedih setelah penghianatan yang di lakukan oleh Rissy dan Audy di pesta sialan tadi?
Lalu kenapa sekarang aku malah merasa baik-baik saja ya? Apalagi dengan adanya jas milik Rumy di tubuhku. Yaampun aku rasa aku sudah gila!!
Aku menggelengkan kepala lagi dan memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Kebetulan pintunya tidak di kunci dan dengan cepat aku pun melangkahkan kakiku menuju ruangan tengah.
----
Author Pov
Brug.
Rumy baru saja menutup pintu mobilnya yang langsung ia masukkan ke dalam garasi sesampainya ia di halaman rumahnya yang luas.
Pria itu sedikit termenung, menyandarkan dirinya ke sisi mobil yang sudah ia kunci. Sebuah senyuman geli seketika terbit dari bibirnya.
"Gadis itu.. Kenapa selalu membuatku ingin terus tersenyum ya" gumamnya bergeleng kepala, rupanya pria ini memikirkan tingkah laku si gadis yang sudah menemaninya ke pesta tadi
Meskipun pesta itu membawa kesedihan bagi sang gadis, tapi Rumy sedikit bersyukur karena ia cukup berhasil membuat Zevana sedikit melupakan kesedihannya sewaktu Rumy mengajaknya duduk di ayunan
"Ku rasa aku mulai menyukainya..." Gumamnya lagi, tersenyum kecil dan mengusap tengkuknya sekilas sebelum akhirnya dia melangkah masuk ke dalam dapur yang menembus dari garasi mobilnya.
Rumy berjalan melewati dapur rumahnya. Ia melirik arlojinya sesaat, jarum jam sudah mengarah ke angka 10 dan Rumy berpikir sebaiknya dia langsung masuk kamar saja untuk merehatkan tubuhnya yang sedikit merasa lelah.
"Rumy!"
Lelaki itu menghentikan langkahnya yang hendak berbelok menuju tangga, saat suara lembut mamanya terdengar memanggil namanya.
Rumy menoleh, mendapati sang mama yang baru beranjak dari sofa dengan gaun tidur yang melekat di tubuh rampingnya.
"Mama?" Gumam Rumy mengernyit
"Mama kok belum tidur? Ini sudah malam.." Lanjut Rumy menghampiri Kiki yang sudah memutari sofa
"Sengaja sayang. Mama mau nunggu kamu sampai pulang" sahutnya tersenyum
Rumy mendesah pelan, "Kenapa begitu? Aku kan bukan anak kecil yang harus mama tungguin sampai pulang. Usiaku sudah 23 mah" ujar Rumy mengingatkan
"Iya mama tau." Angguk Kiki terkekeh geli, kini anak dan ibu itu sudah berdiri berhadapan "Mama hanya ingin mendengar kabar baik yang kamu bawa saja, apa salah?" Tuntutnya membingungkan Rumy
"Kabar baik apa?"
"Kamu ini pulang dari pesta kemana dulu hem? Pasti kencan dulu ya sama Zevana?" Tuduh Kiki mengerling menggoda
"Maksud mama?"
"Jangan pura-pura tidak tau seperti itu ah!" Cibir Kiki seraya melengos kembali ke sofa
Rumy memang tidak tau apa yang di maksud mamanya. Lantas dia pun menguntit sang mama dengan expresi bingungnya sambil garuk-garuk leher tak jelas.
"Mama dapat kabar dari tante Femi, katanya setelah acara pertukaran cincin berlangsung dia tidak menemukanmu di lingkungan pesta sayang. Dan mama pikir kamu memiliki acara lain bersama calon menantu mama" tutur Kiki menjelaskan, dia sudah kembali duduk di sofa panjang sambil bersedekap santai
Rumy yang mendengar penjelasan sang mama langsung merutuk dalam hati. Bagaimana bisa mamanya berpikir kalau Rumy memiliki acara lain bersama Zevana, yang ada Rumy mengejar gadis itu sampai ke taman kota.
"Heh Rumy! Kalian kencan dimana? Apa kamu sudah melamarnya secara langsung?" Tegur sang mama membuyarkan lamunan Rumy
Lelaki itu menoleh spontan, "Melamar? Tidak! Aku hanya mengajaknya jalan-jalan di malam hari saja. Lagi pula pestanya kan sudah memasuki acara puncak jadi aku ajak saja Zevana meninggalkan pesta." Jawab Rumy tidak sepenuhnya berbohong
Setidaknya mama tidak perlu tau tentang cerita yang sebenarnya..
"Ah syukurlah.. Mama rasa kalian sudah semakin dekat. Mama jadi tidak sabar ingin segera melihat kalian menikah." Ujar Kiki girang dan tersenyum sumringah
Rumy sedikit meringis tanpa sepengetahuan mamanya. Ada rasa tidak enak ketika melihat kebahagiaan yang terpancar dari raut muka wanita cantik yang sudah melahirkannya itu.
Tapi apa boleh buat? Berbohong sedikit apa tidak apa-apa?
---
Zevana sudah memasuki kamarnya. Sedikit terhadang oleh Bundanya yang masih terbangun, untungnya dia tidak di tanyai apa-apa. Zevana bersyukur karena bundanya tidak menyadari akan matanya yang sedikit sembab.
Dengan alasan capek dan ngantuk Zevana pun pamit pergi ke kamar pada Maura. Bundanya mengizinkan dan Zevana langsung melenggang ke kamarnya.
Dan kini dia sedang berada di depan cermin wastafel. Menggosok gigi sambil memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan untuk membongkar kebohongan Rissyi dan Audy selama ini. Zevana yakin kalau dua penghianat itu pasti belum tau kalau dia sudah menghadiri acara pertunangan mereka. Walaupun tidak di sengaja tapi Zevana bersyukur karena tanpa kesengajaan itu dia bisa mengetahui apa yang selama ini terjadi di belakangnya.
Rissyi dan Audy. Mereka pasti bersekongkol untuk menjalin hubungan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Zevana. Pantas saja kelakuan Audy selalu aneh jika Zevana menceritakan soal Rissy dan sikap romantis lelaki itu ketika memperlakukan dirinya.
Ternyata itu alasannya?
Zevana tidak habis pikir. Atas dasar apa mereka membohonginya? Kalau saling jatuh cinta kenapa tidak bicara saja secara jujur. Kenapa harus sembunyi-sembunyi?
Berterima kasihlah pada Rumy. Berkat dia Zevana jadi bisa menguak kebohongan dua orang itu yang sama sekali tak di sadarinya. Terima kasih juga untuk Rumy karena dia sudah membuat suasana hati Zevana jauh lebih baik dari sebelumnya.
Mengingat nama Rumy, gerakan tangan yang sedang menggosok giginyapun terhenti mendadak. Ingatannya kembali melayang ke kejadian dimana Rumy tersenyum tipis untuk pertama kalinya. Zevana sedikit terpesona melihat senyuman itu dan entah kenapa dia jadi senyum-senyum sendiri seperti sekarang.
Menyadari akan kekonyolan itu Zevana pun langsung menggeleng kuat
"Arghht! Kenapa jadi teringat itu lagi? Ya Tuhan. Sepertinya otakku harus segera di benarkan sebelum benar-benar gila karena selalu terbayang senyuman lelaki itu!"