Sembilan

2427 Kata
Zevana Pov Aku berdiri di pinggir jalan sambil mengamati kendaraan yang lalu lalang di hadapanku. Kenapa Tara lama sekali? Ya tadi pagi dia mengirimkan pesan lewat line kepadaku. Katanya dia mau pergi bersamaku ke kampus. Mengingat jadwalnya sama denganku di hari ini jadi aku iyakan saja ajakannya. Tapi kok Tara belum datang juga? Aku berdecak kesal. Lalu merogoh smartphoneku yang ku simpan di dalam tas kuliahku. Sepertinya aku harus segera menghubungi Tara. Ku dial nomor kontaknya. Nada sambung mulai terdengar dan suara Tara ikut menyusul di dering ke dua. "Hallo!" "Lo dimana? Gue udah nunggu di pinggir jalan nih" "Astaga. Emangnya lo gak terima line gue lagi Ze?" "Hah? Maksud lo?" "Gue kan ngeline lo lagi Ze. Gue bilang gue gak jadi berangkat bareng soalnya gue mau nganter nyokap ke rumah nenek, nenek gue sakit keras dan nyokap khawatir sama keadaannya" jelas Tara begitu Ya Tuhan! Jadi aku menunggu selama sepuluh menit lamanya disini sia-sia dong? Duh kenapa Tara gak coba telpon aja sih? Lewat line kan bisa aja eror gara-gara sinyal internet yang jelek. Huft, sebel deh! "Hallo Ze, lo marah ya? Maafin gue, gue pikir lo terima line dari gue. Jadi gue tenang-tenang aja karena ngira lo udah berangkat tanpa harus nunggu gue. Demi Tuhan! Maafin gue Ze, gue--" "Its okey gak apa-apa kok Tar, emang dasar sinyal internet gue aja yang jelek. Jadinya gak ngeh kalo ada line masuk dari lo!" Selaku memaklumi Ku dengar Tara melenguh panjang di tempatnya, "Duh gue jadi gak enak nih, sumpah deh gue gak bermaksud buat ngerjain lo Ze. Nyokap ngedadak banget minta anternya..." Jelasnya lagi dengan nada menyesal Aku tersenyum mengerti disini, "Iya gak apa-apa kok. Tenang aja, gue masih bisa cari taksi ini. Terus lo gak ngampus dong hari ini?" Tanyaku mengalihkan topik, gak mau kalau Tara terus-terusan ngerasa gak enak karena udah batalin janjinya. "Iya nih gue terpaksa gak ngampus Ze. Ini juga lagi on the way ke rumah nenek. Nyokap khawatir banget kayaknya.." Bisik Tara di akhir kalimatnya "Hem iya deh kalo gitu. Padahal gue udah gak sabar pengen cerita hal yang penting pake banget sama lo!" Ujarku menggebu-gebu "Oyah? Cerita apaan emang?" Balas Tara penasaran "Gue--" belum sempat aku mengucapkan kalimatku dengan sempurna, sebuah fortuner hitam yang amat sangat ku kenal tiba-tiba berhenti tepat di hadapanku sekarang, kaca jendelanya turun terbuka menampilkan sosok berraut datar yang melongok di tempat kemudinya "Mau berangkat kuliah?" Sapanya dari dalam sana Aku mengerjap sekali. Sebelumnya menuntaskan dulu percakapanku dengan Tara yang mungkin sedang menunggu kelanjutan kalimatku. "Emm Tar, kayaknya ceritanya di pending dulu deh. Lagipula gak asik kalo cerita lewat telpon, ntar aja deh kalo lo udah balik lo kabarin gue ya. Gue pasti ceritain sama lo semuanya, okey?" Kataku nyerocos dan setelah mendapat respon setuju dari sahabatku itu aku pun memutuskan sambungan dengan segera "Maaf ya, barusan aku lagi nelpon temenku" ujarku sedikit merunduk agar bisa melihat Rumy di balik kemudinya "Gak masalah. Ayo sekalian ku antar, kebetulan aku juga mau mengunjungi kampusmu." Ajaknya membuatku tertegun, loh ada apa gerangan sampai dia harus ke kampusku? Rumy bukan anak kuliahan kan? Pintu mobil di buka dari dalam. Rupanya Rumy ingin aku segera masuk ke dalam mobilnya. Duh moga aja gak bikin repot! ---- Sesampainya kami di kampus. Aku pun melepas seatbelt yang membelenggu tubuhku. Begitupun juga dengan Rumy. Dia sudah siap untuk turun dari tempatnya. "Emm tunggu!" Cegahku, Lelaki itu lantas menoleh dan menatapku bertanya "Ada apa?" "Kamu ke kampus ini ada urusan apa? Maksudku, bukannya kamu sudah bekerja di kantor papamu ya? Lalu ada keperluan apa kamu kesini? Maaf bukannya aku ingin mencampuri urusanmu, tapi aku heran aja sama kedatanganmu ke kampusku ini!" Tuturku sedikit lancang, habisnya aku penasaran sejak tadi di perjalanan okey! Ku lihat Rumy mengangguk mengerti. Lalu dia kembali menegakkan duduknya seperti semula. "Aku kesini untuk menemui temanku. Dia salah satu dosen di kampus ini. Dan tadi malam dia memintaku untuk menemuinya. Jadi aku sengaja menunda pekerjaanku untuk memenuhi permintaan temanku itu" urai Rumy menjelaskan, dan aku hanya mengangguk bertanda paham Jadi temannya itu dosen disini? "Siapa?" Pertanyaan ambigu itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut nakalku, duh kan tidak seharusnya aku banyak bertanya! "Namanya, Nugie. Apa kau kenal?" Liriknya menatapku Aku mengerutkan dahiku. Nugie? Sepertinya namanya tidak asing. "Dia dosen tertampan di kampus ini. Jika kau tidak percaya aku bisa mengenalkannya padamu.." Ucap Rumy menambahkan dan ingatanku langsung tertuju pada satu orang yang sempat di tunjukkan oleh Tara sekaligus di elu-elukannya "Oh ya! Aku ingat sekarang" pekikku nyaring sedikit membuat Rumy terkesiap dalam duduknya Menyadari akan hal itu aku langsung meringis tak enak padanya. Tanganku beralih mengusap tengkukku salah tingkah. "Maaf, suaraku terlalu nyaring ya? Sampai-sampai membuatmu kaget seperti itu" ujarku pelan, duh kebiasaanku memang seperti ini. Jadi gak enak deh! "Gak masalah. Mari kita turun!" Ajak Rumy kemudian, dia sudah turun duluan dan tak lama kemudian aku menyusulnya ikut turun dari pintu tempat dudukku Aku sudah berjalan menjauhi fortuner hitam itu, bersama Rumy di sebelahku yang berhasil membuat semua mata memandang ke arah kami. Tidak! Lebih tepatnya ke arah pria bersetelan kerja lengkap yang berjalan tegap di sebelahku. Raditya Rumy Erjaya. Dalam sekejap dia mampu menebarkan pesonanya kepada seluruh mahasiswi yang berkeliaran di pekarangan kampus yang luas ini. Meski rasa risih menyerangku tapi tidak untuk Rumy. Dia justru terlihat tenang meskipun dirinya menjadi pusat perhatian para mahasiswi berpakaian seksi itu. "Tuan Erjaya!" Seseorang memanggil nama belakangnya, baik Rumy maupun aku kami sama-sama menoleh ke asal suara Tepat di tepi koridor seorang pria jangkung berkemeja putih dan celana bahan hitam melambaikan tangannya ke arah Rumy. Senyuman lebar tersungging di bibirnya dan Rumy pun membalasnya dengan lambaian tangan juga. Aku mendesah kecewa karena dia tidak tersenyum untuk membalas senyuman Pak Nugie juga. Padahal aku mengharapkan sekali bisa melihat lagi senyumannya.. Ya orang yang memanggil Rumy itu adalah Pak Nugie. Dosen tertampan yang berhasil membuat sahabatku Tara tergugu tak karuan jika sedang berdekatan dengannya. "Kau mau ikut bersamaku?" Tawar Rumy sebelum ia melangkah menghampiri temannya itu Sejujurnya aku tidak keberatan jika harus ikut dengan Rumy menghampiri pak Nugie. Karena dosen itu sudah cukup mengetahuiku sejauh ini. Hanya saja kami belum pernah berkenalan secara langsung dari jarak yang dekat. Tapi mengingat sebentar lagi aku ada kelas, jadi dengan berat hati aku pun menolak tawaran Rumy "Maaf, aku gak bisa ikut denganmu. Aku harus segera pergi ke kelas, atau Pak Dendi akan mendepakku dari dalam kelas jika aku terlambat walau hanya beberapa detik saja." Ujarku ngeri membayangkan betapa galaknya dosen beralis tebal itu. "Baiklah. Semoga harimu menyenangkan" ucap Rumy mengerti, kemudian dia pun pamit pergi untuk menemui Pak Nugie yang sudah menunggunya disana. Seperginya Rumy kesana, aku pun berniat untuk melenggang menuju gedung dua. Dimana aku akan memasuki kelasnya Pak Dendi dan mengikuti mata kuliahnya. Bisa gawat kalau sampai aku terlambat! Namun di saat aku hendak mengayunkan langkahku, tiba-tiba pergelangan tanganku di cekal oleh tangan besar yang langsung membalikkan tubuhku menghadapnya. Perlakuannya sangat kasar. Sehingga membuatku meringis nyeri karena cekalan tangannya terlalu kuat. "Apa-apaan sih?" Bentakku tanpa melihat si pemilik tangan itu lebih dulu, tapi ketika aku tau siapa orangnya mataku pun terbelalak lebar apalagi melihat wajah mengeras penuh emosi yang ia tunjukkan sekarang "Rissyi" gumamku berupa bisikkan "Iya ini aku! Kenapa? Kamu kaget ada aku disini hah? Apa kamu akan jauh lebih kaget lagi kalau aku bilang aku melihat kamu datang ke kampus ini bersama pria lain?" Teriaknya murka menatap mataku seolah ingin mengulitiku hidup-hidup Dia kenapa? Marah? Saat aku tersadar dan teringat dengan kejadian tadi malam yang bukan sebuah ilusi ataupun mimpi di tengah malam yang sunyi. Dengan berani aku pun menghempaskan cekalannya di pergelangan tanganku. Seharusnya aku yang marah! Ku tatap dia lebih sengit dari yang ia sorotkan untukku. Setelah dia menghianatiku, dia tidak berhak untuk memarahiku seperti barusan okey! "Kenapa?" Tanyaku pendek Tampaknya pria berambut coklat ini tidak mengerti dengan apa yang ku lontarkan. Dahinya mengerut dan raut bingung menghiasi wajah tampan nan imutnya. Sayang sekali aku bahkan sudah muak melihat muka duanya itu! "Maksudmu?" Aku tersenyum masam. Melipat kedua tanganku di d**a. Dan mengabaikan tatapan penasaran yang di tujukan oleh sebagian orang yang berlalu lalang di sekitar sini. "Kenapa kamu harus membohongi aku Rissyi? Kenapa kamu harus menyembunyikannya? Kenapa--" jedaku sejenak menatapnya dengan sorot terluka, air mataku sudah siap untuk meluncur sepertinya karena rasa panas sudah menjalar tak tertahankan. Rissyi masih bergeming di tempatnya. Dia masih kebingungan juga rupanya. Apa perlu aku mengatakan yang sebenarnya agar dia tau? Apa perlu aku membeberkan seluruh kenyataan yang sudah ku ketahui tadi malam agar dia mengerti? Apa perlu-- "Maksudmu apa sayang? Aku--" "JANGAN PANGGIL AKU DENGAN SEBUTAN ITU LAGI RISSYI ABIYASA!!" jeritku membuat semuanya melihat ke arahku, hancur sudah pertahananku. Air mata itu meluncur bagaikan hujan deras yang menuruni bumi. "Kenapa kamu tega khianati aku Rissyi kenapa? Kenapa kamu harus pura-pura mencintaiku kalau pada kenyataannya kamu menyematkan cincin ikatan itu di jari manisnya Audy. Kenapa Rissyi kenapa?" Isakku pilu dan sukses membuat tubuh Rissyi menegang di tempatnya Aku bisa menyadari itu. Dia sangat shock sepertinya. Shock karena mungkin aku mengetahui kebusukannya yang ntah sampai kapan akan di sembunyikannya. Aku menangis. Menahan rasa sakit yang menyerang hatiku. Mencoba mengenyahkan rasa sesak yang menghujam dadaku. Pedih. Perih dan menyakitkan.. "Ka--kamu ... Kamu tau itu?" "Iya! Aku tau semuanya. Bahkan aku melihat secara langsung bagaimana bahagianya kamu saat menyematkan cincin itu di jari Audy. Kalian terlihat bahagia, dan kalian terlihat serasi. Senyuman yang kalian sunggingkan terlihat lepas tanpa beban di dalamnya." Lirihku di tengah menderasnya air mata, aku terisak. Tangan Rissy bergerak merengkuh bahuku. Tapi dengan cepat aku memundurkan langkahku menolak sentuhan tangannya di bahuku. Tidak! Aku tidak sudi menerima sentuhan tangan Rissyi. Jika dulu aku selalu tersenyum bahagia dan akan selalu senang ketika tangan hangatnya menggenggam tanganku kapanpun waktunya, maka sekarang aku tidak senang akan hal itu. Setelah melihat semuanya yang terasa menghunus jantungku, aku tidak sanggup lagi untuk sekedar menatap wajahnya. "Zevana maafkan aku.." Ucapnya lirih dan aku semakin memundurkan langkahku saat dia mendekatiku "Zevana.." Bisiknya parau, aku menggeleng menunjukkan bahwa aku tidak ingin di dekatinya "Zeva--" "Jangan pernah ganggu dia lagi!" Sergah sebuah suara bariton yang sangat ku hafal dan bersamaan dengan itu punggungku menghantam sesuatu yang keras. Aku mendongak, menolehkan kepalaku ke belakang. Sosok Rumy dengan garis bibir yang datar tengah berdiri tegak di belakangku Dan satu hal yang aku sadari, punggungku sudah merapat dengan tubuh bagian depan Rumy yang terasa keras dan kekar saat tak sengaja ku tubruk barusan "Jangan pernah lagi mengusik gadisku dan sebaiknya jangan pernah menunjukkan mukamu lagi di hadapanku jika kamu masih ingin hidup dengan wajah yang sempurna! Lanjut Rumy dan selanjutnya dia menarikku pergi menjauhi Rissyi yang menatap berang dengan kedua tangan yang terkepal kuat di masing-masing sisi tubuhnya. Sepertinya aku pernah mendengar kalimat ancaman itu sebelumnya ... ---- Author Pov Zevana masih menangis dalam diam. Dan Rumy tetap fokus melajukan kemudinya. Dia bukannya tidak perduli kepada gadis di sebelahnya, hanya saja Rumy tidak tau harus berbuat apa agar gadis itu berhenti untuk tidak menangis lagi. Apa Rumy perlu membawa Zevana ke taman bermain lagi agar tangisnya mereda? Saat sedang berbincang dengan Nugie di tepi koridor tadi, Rumy terkejut mendengar suara bentakan gadis yang sangat di kenalnya. Perhatiannya pun teralihkan sewaktu Nugie ikut mengarahkan pandangannya lurus ke tempat dimana dua orang mahasiswanya yang tengah beradu mulut. Ketika Rumy melihat Zevana yang sedang bertengkar dengan lelaki b******k yang ia lihat di pesta pertunangan tadi malam, Rumy lantas mengepalkan tangannya. Dia meminta izin pada Nugie untuk menunda dulu obrolannya. Menyelamatkan Zevana dari lelaki laknat seperti itu lebih penting di banding apapun. Dan selepas mendapatkan persetujuan dari Nugie, Rumy pun bergegas menghampiri Zevana yang sedang memundurkan langkahnya sambil menangis terisak. Dan disinilah mereka sekarang. Di dalam mobil yang ntah akan di lajukan kemana oleh si pengemudi. Tangisan Zevana belum juga berhenti. Rumy memutar otaknya keras mencari cara agar gadis itu tak lagi menangis yang menyebabkan dirinya ikut merasakan sakit yang menimpa sang gadis. Tapi sudah sejauh ini mobilnya melaju menjauhi kampus sang gadis, Rumy pun belum juga mendapat pencerahan untuk menghibur Zevana gadis pilihan orang tuanya. ---- Rumy Pov Kata orang kalau menghadapi gadis yang sedang menangis karena patah hati, dia wajib membawa sang gadis ke tempat sepi yang menyejukkan pikiran dan hatinya. Seperti pantai, danau atau tempat lainnya yang bisa memanjakan kedua matanya dengan objek indah yang terhampar luas. Dan setelah menimbang-nimbang selama melajukan mobil tadi, akhirnya aku pun memutuskan untuk membawa Zevana ke sebuah danau yang cukup sejuk dan cocok untuk menenangkan diri. Zevana sudah tidak menangis lagi. Tapi bekasnya masih melekat dengan sangat jelas. Mata beriris coklat gelapnya terlihat sembab, hidungnya yang berukuran mungil pun tampak merah dan bibirnya yang tipis cukup bengkak karena mungkin di gigitinya selama menangis tadi. Sungguh! Wajah manis Zevana terlihat begitu berantakan sekarang. "Zevana!" Panggilku, ia lantas menoleh menatapku sayu "Mau turun?" Tawarku hati-hati sembari melepas seatbelt di tubuhku Dia tidak langsung menjawab. Zevana menarik nafasnya dalam dan menghembuskannya dalam satu desahan panjang. "Mungkin duduk di pinggir danau bisa membuat pikiranmu tenang.." Ujarku mengusulkan, aku tidak ingin dia menangis lagi. Lelaki b******k seperti itu sangat tidak pantas untuk di tangisi! Zevana adalah gadis manis yang memiliki sisi periang. Dia menyenangkan dan dengan sifatnya yang bawel banyak bicara aku yakin tidak sedikit dari para lelaki yang akan mendekatinya. Bahkan aku berani bertaruh kalau gadis manis ini pasti akan di sukai banyak lelaki, ya salah satunya aku.. Aku menyukainya. Tapi aku belum berani mengatakannya, kondisi Zevana sedang tidak stabil. Hatinya masih sensitif dan aku tidak mau dia mencapku sebagai lelaki egois yang tidak bisa mengerti akan perasaannya saat ini. Aku akan mengungkapkannya jika keadaan sudah kembali normal. Bahkan jika perlu aku akan memintanya untuk menikah denganku dan hidup mendampingiku sampai maut memisahkan. Sesuai yang di inginkan oleh mamaku selama ini. Menjadikan Zevana sebagai menantunya di keluarga Erjaya. Entahlah, aku rasa pilihan mama tidak akan pernah salah... "Ayo!" Ajakku setelah dia melepas safetynya Dia mengangguk samar. Lalu beranjak dari duduknya dan keluar dari mobilku. Aku mengikutinya dari sisi pintu kemudi. Kemudian kami pun melangkah beriringan menuju tepi danau yang terdapat pohon beringin besar untuk meneduh. Zevana mendudukkan dirinya lebih dulu. Menyandarkan punggungnya ke batang pohon yang sangat kokoh dan cukup lebar. Sementara aku menyapukan pandanganku ke sekitar danau. Berharap ada sesuatu yang bisa aku tunjukkan pada gadis itu agar dia sedikit terhibur. Sampai akhirnya mataku pun menangkap seorang pria tua yang sedang mendayung rakitnya menuju daratan. Rakit? Mengajak Zevana menaiki rakit ke tengah danau sepertinya bukan ide yang buruk. Tanpa sepengetahuan Zevana yang sedang menatap danau dengan nanar, aku lantas melengos pergi hendak menemui pria pemilik rakit itu. Semoga saja pria itu mau meminjamkan rakit dan dayungnya untuk kami naiki. Ku harap Zevanapun tidak akan menolaknya...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN