Tangan gue gemetar waktu nerima amplop itu.
Warnanya udah kuning pudar, lipatannya rapuh. Tapi aroma kertas tua itu... entah kenapa, berasa kayak narik gue balik ke masa kecil.
Tante duduk di seberang, diem.
Wajahnya tegang. Dia nggak bilang apa-apa lagi. Cuma ngelirik gue, nunggu.
Gue buka pelan-pelan.
Amplopnya tipis, tapi isinya berat bukan secara fisik, tapi batin.
Gue tarik satu lembar kertas.
Tulisannya tulisan tangan. Tegas, rapi, dan familiar... karena itu tulisan Ayah.
Untuk Rifky dan Dira, anak-anakku yang paling berharga.
Jika surat ini sampai ke tangan kalian, mungkin Ayah dan Ibu sudah nggak bisa lagi nemenin kalian langsung. Tapi Ayah percaya... kalian kuat. Kalian hebat.
Rifky, kamu anak pertama. Kamu yang akan jaga Dira nanti. Tapi kamu nggak harus sendirian. Ayah titip kalian... bukan ke saudara, bukan ke teman Ayah...
Tapi ke Om Dimas.
Dia bukan orang asing. Dia adalah sahabat Ayah, dan... juga kakak tiri Ayah.
Ya, Ayah nggak pernah cerita. Karena dulu hubungan kami rumit. Tapi Dimas orang baik. Dia tinggal di Jakarta, kerja di bidang teknologi. Kalau suatu hari kamu dewasa dan siap, carilah dia.
Dia akan bantu kalian. Bukan cuma soal uang atau tempat tinggal. Tapi tentang masa depan.
Gue berhenti baca.
Mata gue langsung basah.
Om Dimas? Kakak tiri Ayah? Jakarta? Teknologi?
Gue ngerasa kepala gue penuh tanda tanya.
Selama ini, yang gue tau, Ayah anak tunggal. Nggak pernah cerita soal keluarga. Dan Tante pun... nggak pernah nyebut nama itu sekalipun.
Gue liat ke Tante.
“Tante tau siapa Om Dimas?”
Dia angguk pelan. “Tapi hubungan mereka ribet, Ky. Dulu ada konflik keluarga. Rebutan warisan, masalah masa lalu, nggak selesai.”
“Terus kenapa Ayah nitip kami ke dia?”
Tante diem.
“Karena dia satu-satunya yang ngerti jalan hidup Ayah... dan mungkin, satu-satunya yang bisa buka jalan baru buat kalian.”
Gue narik napas panjang.
Kertas di tangan gue udah mulai lecek karena kelamaan digenggam.
Gue nggak tau harus marah, sedih, atau bingung.
Tapi satu hal yang pasti: gue harus cari orang ini.
Dan kalau Ayah percaya dia, berarti... gue juga harus percaya.
Siangnya, gue balik ke kos.
Dira lagi duduk di teras kecil, minum teh, sambil nyatet sesuatu di buku catatan.
Pas gue dateng, dia langsung bangkit.
“Gimana, Kak? Tante bilang apa?”
Gue nyodorin surat ke tangannya.
“Ini... surat dari Ayah.”
Dia buka perlahan, lalu baca. Dan seperti gue tadi... matanya berkaca-kaca.
Pas dia nyebut nama “Om Dimas,” dia langsung nengok ke gue.
“Berarti kita masih punya keluarga?”
“Mungkin... bukan keluarga dekat. Tapi seseorang yang bisa bantu kita. Yang Ayah percaya.”
Dira senyum kecil. “Kalau Ayah percaya, aku juga percaya.”
Sore itu, kami duduk bareng di kamar kos, depan laptop.
Gue buka Google. Ketik:
"Dimas Teknologi Jakarta"
Muncul banyak hasil. Tapi terlalu umum.
Gue tambahin: “Dimas kakak tiri Junaedi Suryana” nama lengkap Ayah.
Dan… di halaman dua pencarian...
Ada satu artikel lama dari tahun 2015:
“Dimas Surya: Pendiri Startup EduTech yang Kini Hilang dari Dunia Publik”
Gue klik.
Isi artikelnya singkat. Tapi cukup buat bikin bulu kuduk gue berdiri.
Dimas Surya, mantan insinyur perangkat lunak, sempat mendirikan platform pendidikan daring yang booming tahun 2012. Tapi di tahun 2015, dia tiba-tiba keluar dari dunia startup, tanpa jejak.
Rumornya, dia kecewa sama dunia bisnis dan memutuskan hidup sederhana di pinggiran Jakarta, fokus ke pendidikan anak-anak miskin.
Nama terakhir yang tercatat: Yayasan Cahaya Cita, Tangerang Selatan.
Gue dan Dira saling pandang.
“Besok kita ke sana?” tanya Dira.
Gue angguk.
“Besok kita mulai perjalanan ini.”
Malam itu, gue nggak bisa tidur.
Bukan karena nyamuk atau kipas yang bunyinya kayak alarm bom.
Tapi karena jantung gue deg-degan.
Buat pertama kalinya... ada harapan besar. Jalan yang lebih luas. Peluang yang bisa ngebalik hidup kami.
Tapi di sisi lain, hati gue juga takut.
Takut kalau Om Dimas udah nggak mau campur.
Takut kalau dia udah beneran menghilang.
Atau yang paling gue takutin...
Takut kalau masa lalu lebih rumit dari yang kami siapin.
Tapi satu hal yang pasti:
Gue udah terlalu jauh buat mundur.
Dan apapun yang nunggu di depan sana...
Gue bakal jalanin, selama Dira ada di samping gue.
Gue liat Dira lagi duduk di lantai, senderan ke tembok, sambil ngetik-ngetik sesuatu di HP. Mungkin dia juga belum bisa tidur, walau mata udah sayu.
“Ra,” gue manggil pelan.
Dia nengok, “Hm?”
“Kita beneran jalan besok ya. Lu siap?”
Dia diem sebentar, terus angguk. “Siap. Walau takut juga.”
“Takut kenapa?”
“Takut... kecewa. Takut ternyata Om Dimas nggak mau ketemu. Atau... ternyata dia bukan orang yang kita bayangkan.”
Gue ngerti maksudnya. Harapan itu emang bahaya. Dia bisa bikin kita kuat, tapi juga bisa bikin kita jatuh lebih dalam kalau nggak kesampaian.
Tapi gue bilang gini:
“Kalau kita nggak berani cari tahu, kita bakal terus hidup di kamar kos 3x3 ini, sambil nebak-nebak isi dunia di luar.”
Dira senyum dikit.
“Kamar kos ini sempit sih... tapi hangat.”
Gue ketawa pelan. “Iya, hangat karena nggak ada pilihan.”
Jam udah nunjukin 00.47.
Gue akhirnya bangkit, matiin lampu, dan rebahan. Dira juga udah mulai selonjor di sisi kasur. Kami berdua tidur di posisi kepala berseberangan, biar nggak saling tendang.
“Ky...” suara Dira pelan, sebelum gue bener-bener merem.
“Ya?”
“Kalo kita ketemu Om Dimas dan dia nolak bantu... lo bakal nyerah?”
Gue diem sebentar.
“Nggak. Gue nggak nyerah. Karena kita udah sampe titik ini. Kita udah berdiri di pinggir jurang, Ra. Udah nggak mungkin mundur. Yang bisa kita lakuin cuma loncat... dan percaya kita bisa terbang.”
Dira nggak jawab. Tapi gue denger dia narik napas panjang, lalu bilang:
“Kalau gitu... ayo kita terbang bareng.”
Besok paginya, udara Jakarta nggak segar-segar amat. Tapi pagi itu beda. Langit sedikit biru, dan motor-motor yang lewat terasa kayak iringan musik latar hidup kami yang lagi naik level.
Gue dan Dira berdiri di depan kos, bawa tas ransel seadanya. Isinya: baju ganti, charger HP, satu botol air minum, dan... harapan.
Gue cek saldo e-wallet:
Rp114.000.
Pas-pasan. Tapi bisa cukup buat naik KRL dan makan sekali.
Dira nanya, “Nggak naik ojek online aja?”
Gue nyengir. “Nanti pas udah jadi anak startup sukses, boleh lah. Sekarang, kita tim ‘Kaki Keliling Rakyat’.”
Perjalanan ke Tangerang Selatan lumayan jauh. Naik angkot, lanjut KRL, lalu jalan kaki. Tapi sepanjang perjalanan, Dira banyak ngobrol. Tentang sekolah, tentang cita-citanya dulu yang pengen jadi penulis, dan tentang mimpi kecil dia: punya rumah kecil di atas bukit.
“Bukit mana? Di Cibubur?”
“Bukan. Di mana aja asal ada angin dan pohon.”
Gue senyum. Dira tuh unik. Di balik kesederhanaan hidupnya, dia punya imajinasi yang bikin gue sering malu sama sempitnya pikiran gue sendiri.
Sampai di dekat lokasi Yayasan Cahaya Cita, kami jalan kaki masuk gang kecil. Di ujungnya, ada sebuah rumah yang sederhana tapi bersih. Ada papan kayu kecil bertuliskan:
“Rumah Baca dan Belajar – Cahaya Cita”
Gue dan Dira saling pandang.
Ini dia tempatnya.
Gue ketuk pintu pagar.
Dari dalam, keluar seorang pria paruh baya. Rambutnya agak panjang, ubanan. Tapi wajahnya kalem. Matanya tajam, tapi nggak menyeramkan.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?”
Gue maju pelan.
“Pak... nama Bapak Dimas?”
Dia ngangguk pelan. “Iya. Saya Dimas.”
Gue langsung narik napas dalam-dalam.
“Saya... Rifky. Ini adik saya, Dira. Kami anak dari Junaedi Suryana.”
Mata Om Dimas langsung berubah.
Terbuka lebar. Wajahnya kayak tersedot balik ke masa lalu.
“Junaedi...?”
Dia ulang pelan.
Gue angguk.
“Dan... kami nemu surat dari Ayah. Dia titipin kami... ke Bapak.”
Untuk beberapa detik, Om Dimas cuma berdiri diam.
Lalu dia buka pagar. “Masuklah.”
Kami jalan masuk ke dalam. Rumahnya hangat, penuh rak buku, ada meja belajar, dan papan tulis kecil.
Om Dimas duduk, lalu narik napas panjang.
“Ayah kalian... sahabat terbaik saya. Sekaligus musuh terbesar saya dalam hidup ini.”
Dira langsung merapat ke gue.
“Musuh?” gue tanya.
Om Dimas mengangguk.
“Kami beda pandangan soal banyak hal. Tapi satu hal yang saya tau pasti... dia mencintai kalian lebih dari apapun. Dan kalau dia bilang saya harus jaga kalian... maka itu perintah.”
Gue dan Dira saling pandang.
Om Dimas lanjut:
“Tapi saya harus jujur dulu. Sebelum saya bantu kalian... kalian harus tau semuanya. Termasuk... kenapa saya dulu menjauh dari keluarga kalian.”
Gue bisa ngerasain, ini bukan sekadar pertemuan.
Ini pembuka dari cerita yang lebih rumit. Dan yang bikin deg-degan...
Gue belum siap... tapi juga nggak boleh lari.