Pagi di kamar kos nggak pernah romantis.
Nggak ada sinar matahari hangat masuk jendela, yang ada sinar matahari nyolot nembus genteng bolong.
Gue kebangun karena suara motor lewat ngegas pol dan suara Bagas kentut di kamar sebelah. Fix, hidup ini emang keras bahkan dari subuh.
Gue ngelirik ke kasur.
Dira masih tidur. Nyenyak. Nafasnya pelan. Rambutnya agak berantakan, tapi wajahnya damai banget. Kayak semua beban kemarin malam ilang sejenak.
Gue senyum sendiri.
Satu malam bareng adik gue, rasanya cukup buat ngisi energi yang udah lama habis.
Tapi... hidup tuh suka jail.
Baru aja gue mau buka HP dan cari sarapan murah di ojek online, tiba-tiba...
Tok... tok... tok...!!
Pintu kamar diketuk.
Awalnya gue kira Bagas. Tapi suara ketukannya... keras.
Nggak pake sopan.
Gue bangkit, ngelirik peephole—yang sebenernya cuma lubang bekas gantungan.
Dan...
Seorang perempuan.
Pake kemeja hitam, celana jeans. Rambut dikuncir. Dan tatapannya... tajem.
Bukan kayak penghuni kos.
Lebih kayak debt collector atau... mantan yang dendam.
Gue buka pintu setengah.
“Pagi, Mas. Saya nyari Dira.”
Gue langsung kaku.
“Maaf, ini siapa ya?”
“Saya guru BK dari sekolah Dira. Namanya Ibu Ratna. Dia kabur dari rumah sejak dua hari lalu. Dan saya ditugaskan pihak sekolah buat bantu cari.”
Gue liat ke dalam. Dira langsung duduk panik di kasur.
Wajahnya pucat. Tangannya gemetar.
“Ibu...” suaranya pelan banget, kayak bisikan.
Bu Ratna langsung masuk tanpa nunggu gue persilakan.
Dia ngelihat Dira, lalu ngelirik gue.
“Mas ini siapa?”
“...Kakaknya,” jawab gue cepat.
“Kenapa Dira bisa sampai ke sini tanpa pemberitahuan orang tua? Ini udah masuk ranah hukum lho, Mas.”
Gue tarik napas dalam. Oke. Panik mulai merangkak.
Dira turun dari kasur, berdiri di belakang gue.
“Ibu... aku cuma pengen ketemu Kakak. Nggak tahan di rumah. Tante marah terus, tiap hari disalahin, tiap malam nangis sendirian.”
Bu Ratna ngelipat tangan. “Itu bukan alasan buat kabur. Sekolah tanggung jawab atas kamu, Dir. Dan sekarang... semua orang nyari kamu.”
Gue masuk di tengah.
“Bu... saya tanggung jawab. Saya minta izin rawat Dira beberapa hari. Saya akan urus surat keterangan kalau perlu.”
“Mas ini masih kuliah. Hidup ngekos. Gimana mau tanggung jawab?”
Petir.
Gue langsung jawab, “Saya kerja juga sekarang. Freelance. Nggak besar, tapi cukup. Dan saya... satu-satunya keluarga Dira yang dia percaya.”
Bu Ratna diem. Tapi tatapannya belum luntur.
“Kalau begitu... saya kasih waktu dua hari. Setelah itu Dira harus balik. Kita akan mediasi sama wali. Saya tunggu kabar dari Mas Rifky.”
Dia kasih kartu nama.
Lalu pergi.
Dan gue... masih berdiri bengong sambil nutup pintu pelan.
“Dira... lo nggak bilang sama sekali ke sekolah?”
“Gue takut, Kak...”
Dia duduk lagi. Matanya merah lagi.
“Gue beneran takut kalo pulang, hidup gue nggak bakal berubah.”
Gue duduk di sebelahnya.
“Mungkin hidup emang nggak berubah dalam semalam, Ra. Tapi... lo nggak sendiri. Kali ini lo nggak harus nanggung semuanya sendirian.”
Siangnya, gue ajak Dira ke warung nasi sederhana.
Duduk berdua, makan ayam suwir sama tempe goreng.
Murah, tapi lebih nikmat dari makan di cafe karena makan bareng orang yang paling kita perjuangin.
Dira cerita sedikit tentang tante. Tentang omelan, tekanan, dan perasaan nggak pernah cukup.
Dia juga cerita...
Kalau dia pernah nemuin amplop surat di laci kamar tante.
Dan di dalamnya... ada nama gue.
“Amplopnya tua, warnanya udah kuning. Tapi gue inget nama lo ditulis tangan. Terus di belakangnya... ada nama Ayah.”
Gue langsung diem.
Ayah?
Surat?
Gue belum pernah denger cerita apapun tentang surat dari Ayah.
“Aku nggak buka. Tapi waktu tante masuk kamar, dia langsung rebut amplopnya. Dia marah, bilang jangan buka-buka masa lalu.”
Oke.
Sekarang ini bukan cuma soal Dira kabur.
Tapi soal... rahasia yang disimpen dari gue.
Malamnya, gue rebahan di kasur. Dira udah tidur.
Tapi kepala gue muter.
Surat dari Ayah?
Kenapa Tante simpen itu? Kenapa nama gue ada di sana?
Dan kenapa semuanya disembunyiin?
Gue tau... hidup gue selama ini cuma ngeraba-raba arah. Tapi makin ke sini, makin jelas, kalau ternyata masa lalu kami... belum selesai.
Dan mungkin... jalan menuju kesuksesan itu nggak cuma tentang kerja keras. Tapi juga tentang berani buka lembaran yang selama ini dikunci rapat.
Tapi malam itu, walaupun badan capek, mata gue nggak bisa diajak kompromi.
Gue ngelirik Dira yang udah tidur pulas. Nafasnya tenang, pelan, kayak anak kecil yang lagi mimpi indah.
Gue tarik napas panjang, duduk di ujung kasur sambil buka HP. Bukan buat scroll medsos gue nggak punya cukup kuota buat itu. Tapi buat buka galeri... nyari foto-foto lama.
Dan di sana, ada satu folder bernama “Ayah & Ibu”. Isinya cuma empat foto.
Gue, Dira, dan mereka waktu kita masih satu keluarga utuh.
Waktu masih ada tawa di ruang tamu. Waktu makan malam bukan soal cukup atau nggaknya nasi, tapi soal rebutan sambel sama ayam terakhir.
Lalu semuanya berubah sejak kecelakaan itu.
Gue masih inget jelas.
Mobil kami terguling di tanjakan.
Ayah langsung tewas di tempat. Ibu sempat koma, lalu menyusul dua hari kemudian.
Gue waktu itu umur sembilan tahun. Dira baru lima.
Sejak saat itu, kami hidup berpindah-pindah. Dari rumah paman, ke rumah tante. Gue tumbuh lebih cepat karena dipaksa realita. Dan Dira... tumbuh dalam diam.
Tapi satu hal yang selalu gue pertanyakan sejak dulu:
Kenapa surat dari Ayah baru muncul sekarang?
Dan kenapa Tante menyimpannya sendiri?
Gue jadi curiga... ada sesuatu yang nggak pernah dikasih tau ke gue dan Dira.
Sesuatu yang selama ini disimpen rapat mungkin demi kebaikan. Atau... justru demi menutupi sesuatu?
Besoknya, pas matahari baru nongol setengah, gue bangun lebih pagi dari biasanya.
Gue nyalain air panas, siapin mie instan dua porsi satu buat Dira, satu buat gue.
Lalu gue nulis satu pesan di post-it kecil dan tempel di meja:
“Ada urusan penting bentar. Jangan ke mana-mana. Sarapan udah siap ya, Ra ❤️”
Gue ambil jaket, nyalain motor, dan langsung tancap gas ke rumah tante.
Yes.
Gue nekat dateng tanpa kabar.
Gue tau bakal ada drama. Tapi kalau gue nggak mulai sekarang, rahasia itu bakal terus ngegantung.
Rumah tante nggak jauh-jauh amat dari pusat kota. Masih satu kota, tapi beda dunia. Rumahnya besar. Pagar tinggi. Ada CCTV di ujung tembok.
Kontras banget sama kosan gue yang isinya cuma kasur, jemuran, dan harapan.
Gue parkir motor, lalu pencet bel.
Beberapa detik, pintu dibuka. Dan muncullah sosok yang dulu gue panggil “pelindung” sekarang lebih kayak “penjaga kebenaran yang belum kebuka”.
Tante kaget liat gue. Tapi langsung pasang wajah kaku.
“Rifky?”
“Assalamualaikum, Tante.”
“Waalaikumussalam. Kamu ke sini ngapain? Dira mana?”
Gue tahan emosi. Tarik napas.
“Dira aman. Dia di tempat gue. Dia cuma butuh tenang. Dan... gue ke sini bukan buat berantem. Tapi buat nanya sesuatu.”
Tante diem. Lalu ngebukain pintu.
Gue masuk. Duduk di sofa ruang tamu yang dulu pernah gue tidurin waktu baru pindah dulu.
“Gue tau tentang surat itu, Tante.”
Wajahnya langsung berubah. Tegang.
“Surat apa?”
“Surat dari Ayah. Yang Tante simpen. Yang Dira nggak sengaja liat di laci kamar Tante.”
Dia diem. Lama.
Gue lanjutin, “Kenapa nama gue ada di surat itu? Dan kenapa Tante sembunyiin?”
Tante berdiri. Jalan bolak-balik. Lalu akhirnya duduk. Dan untuk pertama kalinya... wajahnya retak. Kayak topeng yang jatuh pelan-pelan.
“Karena surat itu... bukan sekadar surat.”
Gue nunggu.
“Itu... semacam pesan terakhir dari Ayah. Ditulis beberapa hari sebelum kecelakaan. Dia nggak sempat kasih ke siapa-siapa. Dan waktu gue diberi berkas-berkas peninggalannya, surat itu ikut.”
Gue makin bingung.
“Kenapa nggak dikasih ke gue sejak dulu?”
Tante narik napas.
“Karena isinya... bisa ngerubah semuanya.”
BRAK.
Hati gue langsung jungkir.
“Ngerubah gimana?”
Dia ngelirik ke arah lemari.
“Surat itu nyebutin satu nama. Seseorang yang Ayah kamu minta buat jaga kalian... kalau terjadi apa-apa.”
“Dan itu bukan Tante?”
Tante mengangguk pelan.
Gue ngerasa kayak dihantam ombak. Bukan karena pengkhianatan tapi karena selama ini, hidup gue dan Dira dititipin ke tangan yang... bahkan bukan pilihan terakhir Ayah kami?
Gue nggak marah. Tapi hampa.
Lalu Tante berdiri, jalan ke arah lemari. Dia buka laci, ngeluarin satu amplop. Kuning. Tua.
Dikasih ke tangan gue.
“Ini suratnya. Kalau kamu yakin udah siap... baca.”
Gue terima amplop itu dengan tangan gemetar.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup gue...
Gue ngerasa jalan hidup gue dan Dira, mungkin selama ini udah keluar jalur.
Mungkin... jalan sukses kami bukan cuma dari perjuangan keras.
Tapi juga dari kebenaran yang selama ini dikubur.