****
Hari ini Moizha punya kesibukan. Tadi dia lagi duduk-duduk santai di bagian belakang rumah. Tiba-tiba nenek Giarti datang dan cerita kalau tanaman anggreknya pada kurus karena arangnya gak diganti-ganti.
Gak enak cuma ongkang-ongkang kaki di rumah orang, Moizha menawarkan diri. Pikirnya tanaman itu sedikit, lima atau sepuluh pot, cincai lah. Ternyata, pas dia lihat banyak banget, ada kali 100 pot lebih.
Karena sudah telanjur menawarkan diri, mau gak mau tetap lah dia kerjakan. Dari pagi dan baru selesai menjelang maghrib.
Selesai mandi Moizha langsung turun ke bawah. Ternyata hampir semua penghuni rumah sudah pada berkumpul di ruang makan. Tumben banget.
Padahal biasanya jam segini rumah masih sepi. Ranu dan orang tuanya 'kan sibuk mengurus restaurant yang -katanya sih- cabangnya ada di mana-mana.
Itu restaurant atau ojek online? Pikir Moizha waktu kemarin nenek cerita.
"Kok masaknya banyak banget, siapa yang ulang tahun?" Tanya Moizha, bawa-bawa kebiasaan waktu masih tinggal ramai-ramai di flat. Banyak makananan di atas meja sama dengan ulang tahun.
"Tante lagi nyoba beberapa menu baru buat restaurant." Tante Wida, ibu Ranu yang sedang memindahkan bungkusan daun dari panggangan ke piring keramik membalas.
Moizha cuma ber O panjang, lalu dia duduk di kursi yang ditunjuk oleh nenek Giarti.
Gak berapa lama Ranu muncul dari garasi lalu duduk persis di sebelah Moizha.
"Enak juga ya dilihatnya." Celetuk nenek Giarti. Wanita berambut putih yang dandanannya apik itu tersenyum senang, "sebelah kanan menantu, sebelah kiri cucu menantu. Nanti kalau udah nikah, Moi. Ajak suamimu bikin anak yang banyak, biar gak sepi."
Moizha yang pertama kali berada di situasi seperti ini cuma bisa tersenyum hambar. Dia melirik Ranu.
Huh! Kemarin aja ngajak koalisi buat gagalin rencana perjodohan. Sekarang teman koalisi dalam posisi terjepit dia diem aja. Kerja sama macam apa tuh?
"Makan yang banyak, Moi."
Gadis itu cuma menjawab tawaran Wida dengan anggukan. Gak usah disuruh pun dia pasti makan banyak. Soalnya selama di perantauan dia penganut paham seperti anak kost pada umumnya.
Bangun agak siang supaya lewat jam sarapan. Makan siang agak sorean biar awet kenyang sampai malam.
Gak heran kesempatan tinggal di sini mau dia pakai buat perbaikan gizi juga. Habis masakannya enak- enak, beda sama di rumahnya di jawa sana. Pantas saja restaurant mereka cabangnya sudah dimana-mana.
"Cobain ini deh," tante Wida mengangsurkan piring berisi bola-bola daging mirip saus spagheti.
"Lho? emang jual spagheti juga?"
"Bukan, ini sambel goreng kreni." Ralat tante Wida, ketawa.
"Itu makanan kesukaanmu lho, inget gak?"
Eh? Masa sih?
"Gak inget ya?" Tanya nenek Giarti lagi. "Padahal dulu kamu sering main kerumah minta dibuatin ini. Hampir setiap hari loh."
Moizha nyengir, sebenarnya sih sedikit-sedikit dia ingat. Tapi gak mau mengaku. Ngapain? Nanti makin panjang urusannya.
"Rakus sama doyan beda tipis ya?" Akhirnya Ranu bersuara juga.
"Iya gak mungkin banget. Nenek pasti ngarang, soalnya aku agak alergi sama orang sok."
"Ngarang gimana? Emang bener kok." Nenek Giarti menimpali ucapan Moizha. "Ranu juga pake sok-sok an malu, padahal dulu manjanya minta ampun. Gak mau makan kalau gak ada Moizha. Waktu itu kelas berapa dia, Wid?"
"Kalau gak salah pas baru masuk smp deh, Bu."
Moizha cuma mendengarkan nenek dan tante Wida yang asyik mengoceh sambil terbengong-bengong. Masa sih Ranu pernah begitu?
Nenek Giarti manggut-manggut. "Iya bener kelas satu. Kamu nih ya, Nu. Saking gak maunya pisah sama Moizha. Sampe mau ngajak kawin lari pas tau Moizha mau pindah."
"Nek! Gak usah ngarang, deh!!!"
Orang tua Ranu langsung menatap anaknya dengan tajam karena sudah bersikap gak sopan sama orang tua. Sementara neneknya memberi peringatan dengan serius.
"Lain kali jangan teriak begitu! Nenek mu ini gak tuli!"
****
Selesai makan Moizha cuma bantu membereskan meja. Karena gak ada kerjaan lain, gadis itu langsung naik ke atas. Begitu sampai, hatinya langsung merosot ke dalam rongga pinggul. Ternyata Ranu sudah di sana duluan, menunggunya sambil bersandar ke dinding dekat tangga.
Moizha terus berjalan ke kamar. Berlagak gak melihat tubuh yang hampir 190 sentimeter itu sedang memandangnya geram.
"Kenapa tadi makanmu banyak banget sih?"
Moizha berhenti, memutar badannya dan melihat Ranu dengan tampang sebal. "Emang kenapa? Timbang makan doang."
Bukan masalah makannya, Moi! Kamu gak liat gimana senengnya nenek sama ibuku tadi? Kalau mereka makin seneng sama kamu, kita yang susah. Pokoknya, selama di sini kamu gak usah keliatan baik deh. Kalo bisa, bikin ulah sana supaya nenek jadi membencimu."
Dia bercanda 'kan? Moizha tertawa dengan terpaksa. Ketika melihat muka Ranu yang serius dia langsung diam.
"Itu strateginya?"
"Huh?" Ranu gak paham.
"Nyuruh aku bikin ulah supaya dibenci itu, termasuk strategimu buat batalin perjodohan kita?"
Ranu mengusap dagu dengan sebelah tangan dan menimbang-nimbang dalam hatinya. "Sebenarnya aku kepikiran sampe sana. Tapi gak papa deh, kita bisa pake cara itu aja dulu."
"Kalau gitu aku gak mau!"
"Terus apa maumu? Katanya mau kerja sama!" Ranu mulai emosi.
"Apa ini yang namanya saling menggaruk punggung? Itu sih sama aja mencoreng nama baik ayahku depan nenekmu!" Ujar Moizha tegas.
"Ya dari pada kita disuruh nikah!"
Orang ini benar-benar.
"Ya udah kalo gitu kamu aja yang bikin ulah!" Moizha memberi saran. "Sana gih cari cewek, terus dihamilin atau gak sewa kek dimana gitu. Suruh dia dateng ke rumah, minta tanggung jawab. Kelar deh masalah!"
Tatapan Ranu kembali dingin dan tajam, tapi Moizha yang sibuk membayangkan gimana hebohnya kalau sampai hal itu terjadi, gak sempat memperhatikan ekspresinya itu.
Ranu menyambar tangan Moizha. Dicengkeramnya pergelangan yang kecil itu kuat-kuat lalu dia menarik perempuan itu masuk ke dalam kamarnya.
"Apaan sih, Nu!"
"Dengar ya, Moizha." Desisnya kesal. "Seandainya bisa, aku udah lakuin saranmu dari dulu."
Eh, seandainya bisa? masa sih dia...
Ranu mengembuskan napas berat dan bersamaan dengan itu, rona di wajahnya berkurang sedikit.
"Aku ini gak bisa nikah sama perempuan."
Gay? Homo? Ah, gak mungkin! Gak mungkin!
"Waktu nenek ngasih tau tentang perjodohan kita, aku udah berniat ngasih tau aib ini ke mereka." Ranu menggeleng-gelangkan kepalanya dengan sedih. "Tapi gak bisa, Moi. Aku gak tega bikin mereka kecewa."
Mereka berdua terdiam beberapa saat. Moizha mendongak memandang Ranu tanpa berkedip. Dilihat dari ekspresi wajahnya yang sendu, kayaknya gadis itu benaran percaya dengan semua ucapan Ranu.
"Kamu mau 'kan berkorban sedikit, biar semuanya gagal?"
Moizha yang menatapnya dalam sambil memikirkan sesuatu tiba-tiba mendekat. Sekarang hanya gadis itu hanya terlihat di mata Ranu. Mula-mula yang dilihatnya sepasang mata cokelat gelap yang dilingkari sederetan bulu mata yang hitam tebal, kantung mata yang selalu dihindari hampir sebagian perempuan, anehnya justru membuat gadis itu kelihatan tambah imut. Lalu hidung yang tinggi dan kecil. Kemudian bibir berwarna pink lembut.
Kalau diperhatikan dari dekat, ternyata Moizha itu...cantik.
Sial! Ranu menggeleng keras-keras. Darimana coba munculnya kata 'cantik' itu?
Ranu hanya berdiri dan terdiam kaku ketika perempuan bertubuh mungil itu melingkarkan kedua tangannya ke pinggangnya. Napas Moizha juga terasa hangat di dadanya.
"Sorry, aku gak tau kalo masalahmu ternyata lebih berat dari masalahku. Tapi jangan khawatir, pasti kubantu kok. Pokoknya kita sama-sama berjuang demi cinta." Tiba-tiba perempuan itu melepaskan pelukannya. "Tentang kamu yang sekarang jadi gay, aku gak bakal bilang ke siapa-siapa."
"Thank's."
Moizha beranjak meninggalkan kamar Ranu. Sesaat sebelum menutup pintu, dia melihat Ranu yang terduduk dipinggir tempat tidur. Gak tau kenapa, dia jadi merasa kasihan sama pria itu.
Dirinya dan Shawn mending, masih ada kemungkinan buat bersatu.
Kalau Ranu? Seumur hidup bakal tersiksa menahan perasaannya sendiri.
Begitu pintu ditutup, Ranu langsung mengembuskan napas lega. Entah si Moizha yang polos atau bego, dia gak peduli. Yang penting dia sudah maju selangkah, dan waktu perjodohan mereka berhasil digagalkan. Namanya masih tetap bersih.
Bukankah ini strategi yang bagus?
Tbc.
*****