BAB 6

1366 Kata
SENA             “Selamat pagi, Pak!” Seseorang menyapa gue di lobi kantor             Rupanya Andri, CFO (Chief Financial Officer) berusia pertengahan tiga puluh yang sekarang kerja bareng gue dan Romeo untuk menyelamatkan perusahaan, kelihatan seperti gelandangan yang tiba-tiba datang ke kantor dengan hanya menyampirkan jas ke tubuhnya.             “Pagi, Ndri! Tidur berapa jam kamu semalam?”             “Seperti yang Bapak bilang, untuk maksain sistem darurat ini di seluruh aspek, saya cuma punya waktu sekitar sejam jam buat tidur. Itu pun di perjalanan.”             Gue nyegir. “Gimana? Udah beres, kan?”             “Beres, Pak. Istri saya sampai saya suruh nyuapin saya gara-gara saya nggak bisa lepas laptop untuk sekedar makan.”             Gue terkekeh. “Nggak apa-apa. Lagi pula kapan lagi suap-suapkan kayak pengantin baru ya, kan?”             Mendengar itu, Andri mengangguk malu-malu.             “Tapi kamu juga harus bersih-bersih diri sebelum ketemu investor kita, Ndri. Nanti mereka sangka kita bener-bener bangkrut sampai karyawannya nggak bisa beli sabun buat mandi.” Gue kembali angkat bicara.              Andri membaui tubuhnya. “Saya akan pakai fasilitas kantor. Lima menit saya sudah ada di ruang rapat.” Andri melirik arlojinya.             Gue mengangguk setuju, kemudian beranjak menuju ruangan sebelum akhirnya menyusul ke ruang rapat. ****             Langit udah memerah saat gue bertolak ke tempat tinggal Khayana. Saat gue perlahan masuk ke komplek tempat tinggalnya, ada perasaan nggak nyaman merambat ke d**a gue. Jadi begini lingkungan tempat adik gue tinggal selama ini. Waktu gue minta Maryam untuk nyari tahu komplek ini sesuai dengan alamat yang Khayana kasih ke gue, sekretaris gue itu sempat mengirimi foto hasil pencariannya. Dan versi real-nya ternyata lebih miris dari yang terlihat di foto.             Gue sebenarnya nggak terlalu mempermasalahkan bagus atau enggaknya suatu tempat. Toh kami sama-sama dari panti asuhan yang jauh dari kesan mewah. Yang gue permasalahkan, ke mana aja gue selama ini? Hidup nyaman sementara Khayana begini? Apalagi setelah melihat tongkrongan preman di beberapa titik, gue nggak tahan untuk buru-buru mindahin Khayana dari sini dan mencarikan dia apartemen layak dekat kantor. Lingkungan begini benar-benar nggak cocok ditinggali seorang cewek, cuma berdua dengan temannya pula. Terlebih Khayana yang waktu kecil paling takut sama geng anak-anak sok preman di sekolah.             Saat sosok Khayana akhirnya terbingkai oleh mata gue, seolah ada aliran segar membasahi tenggorokan gue yang sedari tadi menahan getir membayangkan kehidupan Khayana selama belasan tahun ini.             “Hai, udah makan?”             Khayana menggeleng. Dan gue sempat kehilangan kemampuan gue untuk merangkai kalimat. Padahal di perjalan tadi banyak banget yang mau gue tanyakan seputar dia. Mungkin karena gue terlalu excited ketemu seseorang yang deket banget sama gue dari dulu dan udah lama gue rindukan. Seseorang yang buat gue masuk ke dalam lingkaran keluarga dan gue kenal sebagai adik gue sendiri. Ya, gue terlalu antusias sampai-sampai gue merasa udara jadi mendadak pengap setelah Khayana masuk.             Pada akhirnya, yang keluar dari mulut gue justru basa-basi anak ala SMP terkait sudah makan atau belum. Meski sadar betapa basinya kalimat itu, toh gue masih terus menggunakan basa-basi i***t itu.  Karena …, yah karena gue bukan Romeo yang jago mengendalikan situasi saat dia gugup. Dan yang paling bodoh adalah …, kenapa gue mesti gugup ketemu adik gue sendiri? Lagi-lagi, mungkin karena gue udah lama nggak melihat dan berinteraksi satu sama lain namun tiba-tiba dipertemukan saat kami udah sama-sama dewasa dan segalanya terlihat berbeda.             “Em …, masih suka nasi goreng pakai telur? Atau udah pindah selera karena Nana dewasa punya program diet?” tanya gue, mencoba rileks dengan mengungkit masa kecil kami. Berjuang dengan topik basi yang terlanjur gue pilih tadi.             Senyum Khayana mengembang. “Aku nggak diet.”             Well, mungkin topik basi ini nggak terlalu buruk. Gue menambah kecepatan. “Oke, kalau gitu meluncur ….”             Dan gue lupa kapan terakhir kali gue bisa seriang dan sesenang ini hanya dengan mengemudikan mobil.   KHAYANA                  “Is it a date?” seru Sheryl  ketika mendengar jawabanku terkait pertanyaannya saat melihatku mematut diri di depan cermin. Sheryl adalah temanku berbagi tempat tinggal. Dan dia tidak pernah menyaksikanku memiliki agenda lain selain agenda kantor dan belanja kebutuhan rumah. Jadi ketika aku menjawab bahwa aku sedang bersiap-siap untuk pergi bersama Kak Sena, beginilah reaksinya.             “Dia kakakku, Sher,” ralatku.             Sheryl mengamatiku, kemudian menambahkan lipstick warna merah di bibirku. “Lo kayak orang sakit tahu kalau pakai nude,” cetusnya.             Aku menghela napas panjang. Tidak yakin apakah aku bisa menikmati pertemuan kami nanti alih-alih sibuk menahan debaran jantungku mengingat sudah lama sekali kami tidak bersama. Dan semuanya mendadak aneh.             “Senyum dong!” Sheryl mencubit daguku. “Waktu lo bilang ketemu orang namanya Sena, gue nggak nyangka kalau Sena yang lo maksud adalah temen lo di panti asuhan itu. Gue ikut seneng, Na. Lo bisa ketemu lagi sama dia.” Sheryl sudah bangkit dari duduknya, kini ia mondar-mondar di kamar sambil berceloteh. “Yah, meski lo irit ngomong dan cerita ke gue karena kepaksa dan kelepasan, gini-gini gue tau arti dia buat lo,” ujarnya.             Aku tidak menanggapi kalimatnya lebih lanjut karena tiba-tiba terdengar deru mesin mobil yang kemungkinan besar adalah milik Kak Sena. ****             Sheryl sengaja mengantarku ke gerbang ketika Kak Sena datang menjemput. Untuk apalagi kalau bukan karena ingin melihat Kak Sena secara langsung. Terlihat jelas antusiasmenya ketika Kak Sena turun dan memperkenalkan diri padanya.             “Sama sekali nggak kelihat potongan anak dari panti asuhan,” bisiknya padaku yang langsung kubalas dengan lirikan tajam.             Kini, di perjalanan, aku menoleh ke arah Kak Sena yang tengah mengemudi. Terlepas dari tampilan maskulinnya yang khas eksekutif muda, aku melihat Kak Sena kecil yang selalu ingin tahu perihal sekolahku, bagaimana hariku, dan apa yang ingin kulakukan. Mata hitamnya juga masih meneduhkan sampai sekarang.             Ketika ia mulai masuk ke kehidupanku di masa lalu, aku mulai menanggapinya setengah hati atau lebih tepatnya berusaha menghindar. Pada titik inilah ilusi yang dibangun Kak Sena sejak tadi memudar. Bahwasannya sekeras apapun dia mencoba menghadirkan suasana yang sama seperti bertahun-tahun lalu, tetap ada perbedaan besar antara Khayana yang sekarang dengan Khayana kecil sebelum dipisahkan dengannya. Ketika Khayana kecil yang belum terluka sanggup menceritakan apapun kepada kakak ataupun Bundanya, Khayana dewasa justru lebih banyak menyimpan cerita dalam kotak sepi di dadanya.             Mungkin akan berbeda bila babak hidup yang kualami berjalan seperti kehidupan yang dijalani Kiara atau gadis normal lain, aku akan senantiasa membaginya kepada orang yang kutunggu kehadirannya seperti Kak Sena. Tapi nyatanya tidak demikian. Untuk satu ini, aku mungkin menyimpannya sendirian.             Menyadari sikap defensifku, Kak Sena akhirnya menyerah saat aku menggiringnya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar dirinya. Dan cerita pun akhirnya diambil alih olehnya.             Kak Sena bercerita tentang keluarga barunya, pendidikannya di Amerika, sampai alasan kepulangannya sekarang. Dan aku menyadari nama Kiara banyak disebut di momen-momen penting dalam hidupnya. Seperti saat dirinya dan Romeo mendapat gelar di negeri orang, Kiara hadir di sana untuk melengkapi kebahagiannya. Juga saat Kak Sena baru belajar mengendarai motor. Ia menjatuhkan Kiara yang saat itu diboncengnya dan membuat gadis itu terluka dari pergelangan tangan sampai siku.             “Dia nangis lumayan kenceng, Na. Tapi anehnya, waktu ditanya orang tuanya dia malah bilang kalau dia yang nekat nyobain motor itu dan akhirnya jatuh. Dia nggak nyalahin Kakak.” Senyum tak lepas dari Kak Sena ketika bercerita, terutama ketika bersangkutan dengan Kiara.             “Terus, dia masih mau dibonceng Kak Sena setelah itu?”             Kak Sena mengangguk. “Sejak itu, Kakak selalu lebih hati-hati kalau bawa kendaraan apapun, terutama saat bareng Kiara. Dia udah kayak kamu aja, Na.”             Aku menatapnya. Bertanya-tanya maksud kalimatnya yang terakhir.             Kak Sena menoleh ke arahku sekilas kemudian kembali menatap ke depan. Membelokkan mobil ke satu belokan terakhir. Kami hampir sampai di panti asuhan.             “Selama Kakak nggak bisa ketemu kamu, Kiara kayak jatuh dari langit dan ngingetin Kakak sama kamu. Kamu tahu, Kakak nggak pernah lupa sama kamu.”             Apa dia memikirkanku sebagaimana aku memikirkannya selama ini?             Dan Kiara. Jadi Kiara yang selama ini menggantikan posisiku. Kiara yang selama ini mendampingi Kak Sena. Membuat posisinya yang semula hanya mengisi kekosongan kini naik menjadi kekasih Kak Sena.             Fakta itu mengarak rentetan pertanyaan dan harapan yang bermuara ke sebuah kalimat menyesakkan.             Jika kami dipertemukan lebih cepat, apakah aku yang akan menduduki posisi Kiara sekarang?             Aku meremas jemariku ke rok yang kukenakan, menahan air mata. Tidak. Hubunganku dengan Kak Sena selamanya bukan seperti itu. Kak Sena pasti melihat kami dengan cara yang berbeda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN