BAB 5

859 Kata
KHAYANA             Perjalanan pulang dari Bali terasa lebih lama dibanding keberangkatan kemarin. Entah karena aku terlalu lelah atau memang pesawat yang kutumpangi sengaja berlama-lama mengambang di udara.             “Mau dipanggilin dokter setelah ini?” tanya Romeo. Aku tidak begitu kaget dengan pertanyaannya. Seharian berjalan dan duduk berdampingan, mau tidak mau membuat kami merekam beberapa tindakan atau raut sama lain baik sengaja maupun tidak. Jadi, ketika ada yang tidak beres, akan sulit sekali disembunyikan. Tidak heran dia menyadari kondisiku yang kurang fit sejak pagi tadi.             Aku menurunkan satu tangan yang semula kugunakan untuk memijit keningku. Mencoba tersenyum untuk menolak tawarannya dengan sopan.             “Nggak perlu. Saya udah minum obat tadi. Bentar lagi juga baikan,” balasku. Memberikan kesan bahwa keadaanku tidak separah yang dia khawatirkan. Sebagai gantinya, aku meraih permen di sisiku.             Alih-alih menjawab, Romeo justru meraih permen di tanganku kemudian membuka bungkus permen itu sebelum akhirnya ia serahkan padaku. “Bilang ke saya kalau ada apa-apa,” ucapnya kemudian menyandarkan kepala di kursi. Memejamkan mata tanpa menunggu responku. Respon yang mungkin sudah bisa dia tebak.             “Ehm…, baik.” Entah kenapa, kali ini aku tidak membantahnya. KIARA            Aku buru-buru turun dari timbangan berat badan sebelum Kak Romy memergokiku tengah mengecek berat badan dan akhirnya meledekku.             “Gimana honeymoon-nya di Bali?”             Kak Romy yang baru saja keluar dari kamar Opa, menoleh padaku.             “Honeymoon kepalamu, Key!” balasnya, kemudian membanting diri ke sofa.             “Kan Bang Romy ke sana bawa gandengan …,” godaku.             “Jangan ngaco kamu.”             “Aku jadi kena omelan Tante sama Mama gara-gara itu.”             “Oh ya? Berarti gue sama Khayana kelihatannya emang ada peluang married ya sampai Mama khawatir gitu?” Wajah Kak Romy yang semula suntuk malah berubah antusias.             Aku tergelak. “Kali ini serius, ya?”             Kak Romy cuma tersenyum. Mengambil koran yang tergeletak di meja. Matanya menangkap judul artikel di halaman depan : Mulai pulih, investor kembali buru saham SYD .             Wajah Kak Romy makin sumringah.             “Nggak salah Om Agung manggil Sena ke sini. Baru sebentar di sini, udah bantu nyelametin grup dari kolaps.”             Kini giliranku yang tersenyum.             Melihat senyumanku, Kak Romy buru-buru berkomentar. “Kakak nggak muji kamu, Key … Kenapa kamu yang senyum-senyum?” ledeknya seraya tertawa menyebalkan, yang langsung kubungkam dengan melemparkan bantal sofa ke arahnya.             “Rese’ banget deh,” gerutuku.             Tawa nyaring terdengar dari mulutnya. Diikuti ocehan apa jadinya kalau Kak Sena tahu bahwa aku begitu kekanak-kanakan dan suka menganiaya saudaraku sendiri.             Aku masih memasang muka cemberut pada Kak Romy ketika ponselku tiba-tiba berdering.             My other half             Kalian bisa membacanya Sena saja. Karena Kak Sena bukan other half  kalian. Tanpa menunggu lama, aku mengangkatnya. Tersenyum dan menjulurkan lidah ke Kak Romy.             “Sen, hati-hati sama Kiara, Sen! Habis lo, dipukulin melulu entar!” Kak Romy berseru, yang buru-buru kujauhkan dari ponselku supaya Kak Sena tidak mendengarnya. Namun tetap saja, dari ujung sana aku mendengar tawa renyah Kak Sena yang mengindikasikan bahwa seruan Kak Romy sampai di telinganya.             “Itu Romeo?” Sialnya, itulah kalimat yang dilontarkan untuk menyapaku.             Aku mendengus sebal. “Siapa lagi …”             Suara tawa Kak Sena terdengar lagi.             Aku menghela napas, mencoba meredam kejengkelan dan memilih membahas hal yang lebih manis. “Percaya atau enggak, kami baru aja ngomongin kamu.”             “Oh ya?”             “Iya, dan aku bangga banget!” kataku bersemangat. “Dan …,” kalimatku menggantung.             “Dan?”             “Aku udah kangen lagi,” balasku yang langsung memejamkan mata setelah mengucapkan kalimat itu. Malu sekali.             Dengan berhias tawa yang selalu membuatku nyaman, Kak Sena membalas dengan suara lembut. “I miss you too.”             Aku diam sejenak, mengunyah dan mencerna kalimat itu kemudian menyusupkannya ke tiap-tiap bagian diriku.             “Kamu besok ke rumah, kan? Opa udah dibolehin pulang sama dokter. Beliau nanyain kamu terus.”             “Sayangnya nggak bisa, Key. Setelah nemenin Romeo di rapat sama pemegang saham nanti, aku harus bawa Khayana ke panti dulu minggu ini. Udah janji sama Bunda dan orang-orang di sana soalnya.”             “Oh ..., ya udah kalau gitu.” Aku mengiyakan. Maklum dengan kesibukannya. Di samping itu, rasa rindunya kepada Khayana juga belum sepenuhnya terbayarkan sejak kali pertama mereka bertemu akibat kesibukan yang sulit diajak kompromi. Karenanya, baru sekarang lah mereka bisa punya waktu agak lama untuk melepas rindu-rindu masa kecil mereka yang sudah terlalu lama tertunda. Dan aku memaklumi semua itu.             “Aku usahain balik cepet. Supaya Minggu-nya bisa nyamperin kamu,” ucap Kak Sena akhirnya. Mungkin menyadari nada kecewaku.             “Minggu jadwalku ngelukis. Dan aku nggak suka kalau diliatin waktu ngelukis.”             “Tapi aku suka ngeliatin kamu ngelukis, Key.” Aku mendengar guncangan tawa di sana. Sial! Mana bisa aku menolaknya melihat apa yang dia sukai dariku?             “Ya udah, boleh. Tapi, kamu yang harus jadi modelnya.”             Dan pembicaraan itu berakhir dengan satu dua kalimat setelahnya. Menyisakan bulir-bulir bahagia yang semoga menjadi obat penunda rindu sebelum si empunya rindu-ku benar-benar muncul di depan mata. Di belakangku, Kak Romy tersenyum geli mendengar kalimatku kepada Kak Sena yang seperti merajuk. Sambil berjalan ke kamar, aku menyempatkan untuk menendang kakinya. Kak Romy mengaduh dan lagi-lagi mengancam akan mengadukanku ke Kak Sena.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN