KIARA
- Perusahaan kolaps. Beritanya menyebar kemana-mana
- Pacarmu selingkuh dan akhirnya hubungan kalian kandas
Apa yang lebih buruk dari itu? Mungkin banyak orang berpikir demikian. Tapi sejujurnya, ungkapan yang pantas bagiku adalah : Apa dampak yang lebih membahagiakan dari itu semua?
Grup keluarga kolaps dan akhirnya Kak Sena bertolak dari Chicago ke Jakarta demi menyelamatkan Grup. Kedua, aku putus dengan Galang, laki-laki yang sejujurnya hanya sosok yang selalu aku anggap sebagai teman baik dan selama ini tidak pernah berhasil menggeser posisi Kak Sena di hatiku meski kupaksakan sekali pun. Dan ketika akhirnya hubungan yang dipaksakan itu kandas, aku kembali menjadi magnet yang selalu mengitari Kak Sena.
Waktu itu, entah kenapa seluruh keluarga seolah kompak memojokkan kami supaya pulang bersama selepas acara wisuda. Papa yang sehari sebelumnya memang sempat merasa tidak enak badan, tiba-tiba ingin cepat-cepat pulang dan istirahat, yang otomatis ikut menggeret Mama pulang. Sementara Kak Romy lebih sok sibuk lagi, ia tidak menyempatkan datang dan bahkan bilang mau foto di rumah saja asal dandananku masih nempel.
Aku sedang berada di dalam lift bersama Kak Sena ketika tanpa sadar aku berpegangan pada lengannya. Menahan kram di kakiku karena memakai high heels terlalu lama. Yeah, you know …, sometimes being beauty such a damn pain!
“Nggak dilepas aja sepatunya, Key?” tanya Kak Sena yang sepertinya menyadari penderitaanku.
“Aku nggak mau nyeker di kampus, apalagi di acara wisudaku,” balasku.
Tiba-tiba Kak Sena membungkuk. Tangannya meraih kakiku dan melepaskannya dari sepatu ber-hak tinggi yang menyiksa. Jari-jari kakiku meregang sedikit. Aku tidak mau memikirkan apakah mereka mengeluarkan bau.
“Well, makasih …, tapi toh bakal aku pakai lagi deh setelah kita keluar dari .…”
Belum sampai kalimatku selesai, tahu-tahu tubuhku terangkat. Dan demi dewi fortuna, demi bulu mata palsu yang sedari tadi membuat mataku gatal, Kak Sena menggendongku!
“Kalau begini? Is it better?” tanyanya.
Aku menatapnya bingung. Hampir pingsan dibuatnya. Tapi jelas aku tidak akan menyia-nyiakan momen ini untuk pingsan. Jadi, aku mengangguk lemah. Kak Sena pun tersenyum seraya menguatkan gendongannya.
Pintu lift terbuka …, dan aku tertunduk malu. Tidak berani menatap mentah-mentah keramaian yang menyambut kami di lobi gedung.
Tidak jauh berbeda dari hari itu, malam ini aku kembali tersipu ketika Kak Sena mengecup keningku sekilas sebelum membiarkanku masuk ke rumah usai dinner kami. Rasanya aku rela berpenat-penat seharian di kantor jika Kak Sena terus mengakhiri hariku dengan manis seperti ini.
****
Aku hendak menaiki tangga menuju kamar ketika mendengar omelan Tante Wulan soal Kak Romy dan Khayana. Sebagai adik dari Papa, Tante Wulan cukup sering bertandang ke rumah besar untuk menyambangi Opa.
“Temenmu itu makin nempel aja ke kakakmu, Key. Kemarin nemenin launching produk, sekarang ke Bali berdua. Besok ke mana lagi?”
“Te, itu kan cuma urusan kerjaan.” Aku menanggapi dengan malas.
Mama ikut berdecak kesal. “Kamu mikir apa sih waktu ngerekom dia jadi staf kakakmu?”
Aku memutar bola mata. Tahu betul tabiat dua orang ini. “Khayana punya predikat baik di kampusnya. Lagian bukannya Kak Romy emang kerjaannya dikelilingi cewek-cewek ya dari dulu?” balasku. Mengingat dulu, sekali tebar jaring, lusinan cewek bisa terjerat sekaligus. Tinggal pilih.
Aku bahkan ingat salah satu cewek sampai rela membelikanku tiket konser hanya untuk ditukar dengan jadwal les Kak Romy. Padahal, Kak Romy paling malas masuk les dan dia bolos hampir satu semester. Juga kiriman paket berisi novel bertanda tangan Rick Riordan yang langsung didapatkan dari New York. Kali ini agar aku membujuk Kak Romy supaya tidak putus dengannya. Jadi, baru-baru ini aja Kak Romy tobat karena nemuin yang alot banget kayak Khayana.
“Kali ini Tante ngerasa gelagat mereka beda.” Tante Wulan kembali meneruskan keparnoannya.
“Gelagat mereka berdua apa gelagat Kak Romy yang suka sama Khayana? Setahuku Khayana nggak tertarik sama Kak Romy kok, Te …,”
“Omong kosong.” Kali ini Tante Wulan mengibaskan tangannya seraya menertawakan gagasanku.
Aku mengedikkan bahu. Enggan ambil pusing. Bayangkan saja, diajak pulang bareng aja susahnya minta ampun, apalagi diajak Kak Romy ke pelaminan! Wanita-wanita Syadiran ini benar-benar percaya diri. “Terserah Tante deh. Apit aja Kak Romy di ketiak Tante biar nggak digodain cewek-cewek.”
Aku langsung kabur setelah mengucapkan kalimat itu. Takut dengan omelan Mama akibat ucapanku barusan.
SENA Kurang lebih satu bulan yang lalu …,
Ibu kembali mengungkit soal idenya, atau lebih tepatnya obsesinya untuk menjodohkan gue dengan Kiara. Tepat saat gue baru menginjakkan kaki di rumah setelah bertahun-tahun tinggal di negeri orang.
Gue sendiri nggak menolak pesona Kiara. Dia sempurna, saking sempurnanya gue sampai ragu apakah perasaan yang kadang hadir saat gue berada di dekatnya itu cinta atau sekedar reaksi laki-laki terhadap makhluk bernama wanita yang dalam kasus ini indahnya kelewatan.
Gue tahu harapan yang sama juga terbersit di mata Kiara. Sama seperti Ibu. Dan gue nggak mau membuat harapan itu tampak semakin nyata sementara gue nggak punya jaminan apakah harapan itu benar-benar bakal terwujud.
“Aku sayang sama Kiara. Tapi bukan sayang yang itu. Lagi pula Kiara kan sepupunya Romeo, anaknya Om Eras juga.” Gue akhirnya berkomentar setelah panjang lebar Ibu bicara.
“Memangnya kenapa kalau dia adiknya Romy dan anaknya Eras?” tantang Ibu yang waktu itu berbicara sembari mengaduk adonan kue dibantu Mbak Sukma, asisten rumah tangga.
Gue mengedikkan bahu.
“Kamu ngerasa nggak pantes?” Mata Ibu berusaha mencari mata gue. Ketika mata kami bertemu, gue hanya menghela napas. Bingung mau menjawab apa.
“Sena …, Sena, anak Ibu,” gumam Ibu seraya tersenyum. Kemudian membalas usaha penolakan gue yang nggak meyakinkan itu dengan cadas.
Trik Ibu kali ini adalah manas-manasin gue dengan kabar bahwa Kiara baru saja dicampakan oleh cowok b******k bernama Galang. Gue ingat muka cowok itu. Kiara pernah mengunggah foto bersama cowok itu waktu gue masih di Chicago.
Nggak lebih ganteng dari Galang Rambu Anarki-nya Iwan Fals aja belagu sampai berani ninggalin Kiara. Gue gilas perusahaan orang tuanya baru mati gaya tuh anak! Maki gue dalam hati. Diam-diam jadi geram sendiri.
“Tuh tuh mukanya jadi senewen gitu.” Kali ini Ibu menepuk-nepuk bahu gue. “Karena itu. Pernah nggak kamu mikir? Saking deketnya kalian, nggak ada yang pantas bersanding sama dia selain kamu! Cowok-cowok sekarang kan banyak yang b******k. Kamu katanya sayang sama dia. Masa kamu nggak dongkol kalau ada yang nyakitin dia?”
Ajaibnya, kali ini Ibu berhasil. Gue mengiyakan permintaannya untuk “mencoba” dengan Kiara. Berusaha mengenyahkan bayangan bahwa misi ini bisa-bisa didomplengi keinginan untuk mengukuhkan posisi keluarga gue di Syadiran Group. Apalagi untuk menyaingi Romeo yang digadang-gadang merupakan calon kuat Chairman saat pemilihan mendatang. Sebuah konspirasi yang ujung-ujungnya cuma melukai gadis itu. Dan itu jelas-jelas melanggar prinsip gue yang nggak mungkin tega bikin Kiara nangis.
Akhirnya, di suatu malam setelah hari itu, gue mengajak Kiara keluar berdua sambil nostalgia beberapa tempat-tempat di Jakarta yang udah lama nggak gue kunjungi. Meski sempat terkejut, Kiara menyetujui ajakan gue.
Dan dua hari kemudian, Kiara muncul di depan pintu rumahnya dengan dress lengan panjang berbahan rajut. Warnanya hitam. Kontras dengan kulitnya yang cerah. Dan karena panjangnya nggak sampai ke lutut, dia jadi sedikit canggung. Well, karena memang Kiara jarang pakai rok kalau nggak wajib seperti karena sekolah atau acara-acara penting. Dia lebih nyaman pakai celana. Tapi demi jalan sama gue, dia bela-belain berpenampilan seperti itu. Bahkan rambut panjangnya yang biasa digelung asal, malam itu diurai demi terlihat agak feminin. Itulah kedua kalinya gue melihat Kiara tampil seniat ini selain waktu dia wisuda.
Tapi yang namanya Kiara, ada ..., aja tingkah lucunya. Gue menahan tawa saat dia dengan gugup merutuki penampilannya yang sudah sempurna itu.
“Duh aku habis belajar masak sama si Mbok. Jadi tadi buru-buru. Pasti tampilanku kucel banget ya? Ya Tuhan …, aku lupa pakai parfum lagi, aku ambil dulu ya?” katanya, hendak berbalik.
“Key ….” Gue meraih lengannya dan akhirnya menatap mata indahnya yang malam itu bebas tanpa kacamata dan sedikit ditonjolkan dengan sapuan make up super tipis, sederhana, yang lagi-lagi Kiara banget.
Dan sesederhana itulah dunia sekitar gue seolah lenyap. Mungkin perasaan ini bukan hanya perasaan terpikat sesaat, mungkin perasaan ini adalah perasaan yang menginginkan sosok ini ada bersama gue.
Dan seluruh darah gue berdesir ketika melihat bibirnya yang sedikit terbuka karena mendapati reaksi gue. Tiba-tiba, seluruh saraf gue langsung memerintahkan dan menggerakkan gue untuk melakukan satu hal. Mencium bibir ranum itu.
Gue menatap matanya yang masih terpana, kemudian merapikan helai rambutnya yang keluar.
“Nggak usah. You’re perfect, just the way you are. And …,” gue menahan napas. Kemudian diiringi detak jantung yang seolah mendesak ingin keluar, kata keramat yang bahkan untuk mengucapkannya gue cuma bermodal diyakinkan oleh kemungkinan-kemungkinan yang baru tercetus beberapa detik lalu, meluncur begitu saja.
She’s really beautiful! Sampai gue berpikir apakah yang gue lakukan kepada sepupu kesayangan dari sahabat gue ini benar dan pantas gue dapatkan. Dan sejak hari itu, hubungan kami berkembang, mungkin layak disebut sebagai pasangan.
****
“Jadi lo udah resmi sama Kiara?”
Romeo menodong gue dengan pertanyaan itu keesokan harinya. Saat gue bertandang ke rumahnya.
“Kiara cerita?” balas gue, nyaris tersedak kopi yang gue minum.
Romeo menggeleng. “Dia udah jadi lebih feminin semenjak tahu lo mau pulang. Dan beberapa hari ini, makin kelihatan aja perubahannya. Gue yakin ada sangkut pautnya sama lo.”
“I kissed her last night. Is that okay?”
Romeo menoleh ke arah gue seolah memastikan.
“Tiba-tiba kejadian gitu aja. Gue …”
“Sen!” Romeo memotong kalimat gue. Tersenyum. “Gue malah nggak habis pikir kenapa kalian baru melakukan itu sekarang,” katanya yang kini menggeleng-gelengkan. “Kiara udah kayak pengikut setia lo. Sedangkan lo perhatian ke dia, bahkan lebih telaten ngeladeni dia daripada gue yang saudaranya. I’m happy for both of you.”