Aku langsung mendial nomor Anandhito kembali. Seperti biasa, laki-laki itu selalu stand by membawa ponsel. Sehingga kalau ada telepon, pasti akan langsung diangkat. "Iya, Pak Anara? Ada yang bisa saya bantu?" Seperti biasa pula, Anandhito selalu menghormati dan berkata lembut pada lawan bicaranya. "Maaf, Pak. Saya mengganggu lagi." Aku berucap agak ragu, rasanya tak enak mengganggu Anandhito terus, padahal ia punya segudang kesibukan sebagai lurah. "Jangan sungkan, Pak. Jika saya bantu, akan saya lakukan semampu saya. Asal tujuannya baik." Anandhito berusaha membuatku merasa nyaman. Nyatanya hak itu berhasil. Aku merasa kembali nyaman, meski rasa tak enak tetap aku rasakan juga. Meski tak sebesar sebelumnya. "Begini, Pak Anandhito ... saya sudah berusaha menghubungi nomor Ardina yang

