BAB 8 — Suara yang Tak Pernah Diucapkan

632 Kata
Dua hari berlalu sejak Reyhan menuntaskan misi “Cermin Pertama.” Tapi efeknya belum hilang. Ia masih sering terdiam, menatap kosong ke langit-langit kamar kosnya, seolah mendengar suara yang tak bisa didengar orang lain. Dan memang, sejak sistem memberinya skill Inner Echo, ia bisa merasakan sesuatu yang aneh dalam diri setiap orang. Bukan pikiran, tapi perasaan terdalam. Saat menatap mata orang lain, bisikan samar muncul. Bukan dalam kata-kata, tapi seperti gelombang emosi: ketakutan, iri, harapan, kadang bahkan kesepian yang begitu menusuk. Awalnya Reyhan pikir ini akan berguna untuk negosiasi, mencari uang, atau bahkan membangun jaringan. Tapi nyatanya, Inner Echo lebih seperti kutukan daripada anugerah. Di kampus, ia melihat dosen yang tersenyum ramah tapi menyimpan rasa ingin menghilang. Teman satu kelas yang tertawa keras, padahal hatinya memohon seseorang untuk menyadari keberadaannya. Dan setiap kali tatapan mereka bertemu dengannya, Reyhan mendengar: > “Tolong jangan biarkan aku sendirian...” “Aku lelah jadi kuat setiap hari.” “Andai aku bisa ulang segalanya...” Satu demi satu suara-suara itu menumpuk di kepalanya seperti gema dalam gua tak berdasar. Hingga akhirnya, sore itu, notifikasi baru muncul: > 🔔 Misi Cermin Kedua tersedia “Temui orang yang memendam luka lebih dalam darimu — dan tahan untuk tidak berpaling.” Lokasi: Gedung kosong bekas panti rehabilitasi mental, Blok K-17. Reyhan menatap layar ponselnya lama. Tempat itu... dia pernah mendengarnya. Orang bilang bangunan itu angker, ditinggalkan setelah seorang pasien bunuh diri. Tapi baginya, yang lebih menakutkan dari hantu… adalah suara batin manusia yang tak pernah diucapkan. --- Langit mendung saat Reyhan tiba di Blok K-17. Bangunannya tiga lantai, catnya terkelupas, jendelanya pecah. Udara lembab dan berat. Begitu melangkah masuk, sinyal HP langsung hilang. “Selamat datang di Cermin Kedua,” suara sistem muncul. Tapi kali ini, lebih pelan… seakan berbisik takut. Di dalam lorong, Reyhan berjalan perlahan. Dinding penuh coretan, beberapa seperti tulisan anak kecil: > “Aku baik-baik saja kan, Bu?” “Jangan kunci aku lagi...” “Aku nggak gila, aku cuma nggak mau sendiri.” Lalu, dia melihatnya. Seorang perempuan duduk di kursi roda, punggung menghadap Reyhan. Rambutnya panjang, kusut, dan ia menggumam lagu anak-anak dengan nada miring. Reyhan mendekat, pelan. “Permisi...” Gadis itu berhenti menyanyi. Perlahan menoleh. Matanya penuh lingkaran hitam, tapi bukan karena kurang tidur — melainkan luka yang tak sembuh. Saat mata mereka bertemu… > “Kenapa aku masih di sini? Kenapa mereka tinggalkan aku? Kau juga akan pergi kan?” Reyhan tertegun. Suara itu… bukan dari mulut gadis itu, tapi dari dalam dirinya. Inner Echo aktif sendiri. > “Kau juga seperti mereka. Melihat, lalu takut, lalu pergi. Semua pergi.” “Tidak…” ucap Reyhan pelan. “Aku tidak akan pergi.” > “Semua bilang begitu.” Tiba-tiba ruangan berguncang. Lorong jadi hitam. Bayangan-bayangan muncul di dinding — orang-orang dewasa, berteriak, menyeret tubuh kecil dengan kasar. Tangan-tangan besar menampar, suara-suara menuduh: "Anak gila! Setan kecil!" Reyhan menggertakkan gigi. Suara dalam kepalanya makin keras, jeritan, tangis, bisikan minta tolong… dan di tengah semuanya, satu suara muncul paling jelas: > “Tolong... akui kalau aku pernah ada.” Reyhan menutup matanya, menahan air mata. “Aku melihatmu. Aku dengar kamu. Dan kamu... layak diselamatkan.” Tiba-tiba semua lenyap. Gelapnya sirna. Gadis itu tersenyum samar — untuk pertama kalinya. Dan sebelum menghilang seperti kabut, dia berkata: > “Terima kasih… karena tidak takut.” --- Reyhan terjatuh di depan pintu panti, tubuhnya lemas. Sistem langsung memberi notifikasi: > ✅ Cermin Kedua diselesaikan. ✨ Hadiah: “Empath Sync” — Kemampuan menyelaraskan diri dengan emosi orang lain dan meredakan ketakutan mereka dalam jangkauan tertentu. Namun sistem juga menambahkan satu baris kecil di akhir: > “Tapi tak semua emosi bisa kau redakan. Di Cermin Ketiga... kau akan berhadapan dengan seseorang yang mencintaimu — dan menginginkanmu mati.” To be continued…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN