1 : Kunci Loker
Kesan pertama ketika Rinjani melangkahkan kakinya ke dalam kelas adalah; Gugup. Berulang kali Rinjani mengepalkan tangannya yang lembab untuk memotivasi diri bahwa ia bisa melakukannya.
Ayolah, Ini cuma sekedar sapaan kecil. Perkenalan diri. Lalu duduk manis di bangku yang sudah di sediakan. Dan semuanya akan beres.
Rinjani menarik nafas berulang kali. Matanya menyisir pandangan ke penjuru kelas, yang dipenuhi dengan wajah-wajah asing. Saat ia memberanikan diri untuk mengungkapkan identitas diri, pandangan matanya justru tertuju pada satu objek.
Seorang cowok. Yang duduk di bangku ke tiga baris ke dua.Yang menggunakan bando hitam diponinya. Yang terus saja memainkan cermin kecil dan merapikan rambut. Yang bahkan tak memperdulikan keberadaannya di depan kelas; seolah tak ingin tahu siapa namanya, darimana asalnya dan apa alasan kepindahannya.
"Silahkan duduk,"
Rinjani bahkan tidak bisa berkedip ketika menjatuhkan b****g di kursi barunya. Karena, ia duduk di sebelah cowok itu. Dan siapa sangka, kalau ternyata cowok disebelahnya ini menggunakan salah satu tas yang pernah menjadi koleksinya. Bukan tas punggung yang biasa digunakan anak cowok pada umumnya.
Pandangan mereka sempat bertemu. Ketika ia menurunkan cermin kecil yang sejak tadi ia mainkan. Rinjani melambaikan tangan samar. Lalu tersenyum tipis. "H-Hai,"
Arjuna Bagas Putra, namanya.
Cowok dengan tingkah feminim yang langsung membuat Rinjani gondok karena ia justru memutar bola mata ketika Rinjani mencoba bersikap ramah.
Meskipun begitu, Senyum Rinjani melengkung.
Arjuna begitu lucu.
Dan... Unik.
Diam-diam, Rinjani berharap kalau teman pertamanya adalah sosok cowok jutek yang langsung membuatnya tertarik untuk;
b e r t e m a n.
***
Rinjani membuka pintu lokernya. Memasukkan beberapa buku tulis dan tempat pensil kedalam sana. Matanya beberapa detik menatap lama isi loker tersebut.
Lokernya rapih. Bersih.
Tidak seperti loker disekolahnya dulu, penuh sampah, surat-surat dengan tinta merah dan tak jarang ada minuman yang ditumpahkan dengan sengaja ke buku-bukunya.
Rinjani menggeleng, berusaha menetralkan pikiran negatif yang hinggap di benaknya. Nggak ada untungnya juga mengingat masa lalu kelam, kan?
Lagipula, Rinjani sudah cukup beruntung bisa menjauh dari kehidupan sekolah lamanya. Dan yang paling penting, ia jauh dari mereka.
Ketika Rinjani menutup pintu loker. Ekor matanya tak sengaja menengok ke arah kanan. Dalam dua detik, mulutnya terkatup rapat.
Cowok itu lagi.
Berdiri di depan loker dengan tangan kiri memegang sebuah cermin kecil, dan tangan yang satunya memegang sehelai kertas minyak untuk wajah. Ia memoles wajahnya yang kusam karena aktifitas sekolah hari ini.
Rinjani berkedip beberapa kali, melihat fenomena yang sangat nggak wajar untuk ukuran cowok.
Lagi. Pandangan mereka bertemu. Juna menghentikan aksinya lalu melirik Rinjani sinis. Cowok itu langsung memasukan barangnya ke dalam loker dan mengambil beberapa buku.
Suara pintu loker yang dibanting membuat Rinjani berjengit. Rinjani menghela nafas karena ia merasa kesempatannya untuk berteman dengan cowok itu hilang beberapa persen.
Rinjani yakin, Arjuna tidak menyukai keberadaannya.
Tidak sama sekali.
Bahkan sejak hari pertama Rinjani duduk di bangku barunya.
Nggak ada yang aneh dengan Juna, kecuali tingkah lakunya yang lebih condong ke sisi feminim. Bahkan cara berjalannya pun tidak bermasalah. Gesturnya tidak terlalu gemulai dan masih seperti anak cowok pada umumnya.
Mungkin hanya style-nya? Entahlah.
Rinjani menyipitkan matanya, memperhatikan Juna dari jauh, ketika cowok itu melewati kerumunan siswa yang ada di koridor;
Mereka semua tertawa.
Dan yang membingungkan, Juna justru hanya tersenyum, melambaikan tangan seolah ia bangga terhadap gelak tawa yang ditujukan padannya. Rinjani nggak ngerti pola pikir cowok itu.
Aneh, tapi... nge-gemesin.
Ah, ralat. Dia nggak aneh, Dia unik.
Ketika Rinjani hendak mengambil beberapa langkah untuk melenggang pergi, sebuah pantulan cahaya dari benda mengkilap yang terjatuh di lantai membuat langkahnya terhenti.
Rinjani berjongkok untuk memperhatikan sekaligus mengambil benda kecil tersebut.
Sebuah kunci.
Dan Rinjani yakin ini adalah kunci loker. Karena memiliki bentuk yang sama dengan kunci loker miliknya. Kuncinya diberi gantungan sebuah plat nama kecil yang wajib ada untuk setiap kunci loker siswa. Tambahan lain, gantungan kunci yang berupa miniatur sebuah kucing berbulu oranye yang membuat Rinjani tersenyum gemas.
Garfield. Ini kartun kesukaannya.
Ketika ia melirik plat nama mungil yang juga gantungan dari kunci tersebut. Rinjani membeku.
Arjuna Bagas Putra.
Ini milik cowok itu.
Rinjani menenggelamkan benda tersebut dalam kepalan tangannya. Lalu memilih pergi dan menyimpan kunci tersebut jika sewaktu-waktu Juna mencarinya.
***
Suasana kantin cukup ramai siang ini. Bel istirahat baru berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu, dan masih tersisa dua puluh menit lagi untuk mengisi perut yang keroncongan.
Rinjani melirik kesekitar. Suasana yang benar-benar asing. Rinjani nggak suka suara berisik.
Suara sendok garpu yang saling beradu, suara gelak tawa mereka, suara teriakan-teriakan kecil dan semua suara itu menganggu pikirannya. Seolah ia kembali terlempar ke masa lalu, dimana Jam Istirahat adalah mimpi buruknya.
Tentang suasana kantin.
Tentang lumuran Jus Mangga.
Tentang kuah kari di seragamnya.
Tentang semua penghinaan yang ditujukan ke arahnya.
.
Rinjani berjengit. Ketika baru sadar kalau sejak tadi ia hanya berdiri di tengah-tengah meja yang penuh. Membuat banyak tatapan tertuju ke arahnya. Seolah menganggapnya orang aneh yang melamun di tengah kantin.
Faktanya, sejak saat itu sampai sekarang, kantin bukanlah tempat yang cocok untuknya.
Rinjani memutar langkahnya, lebih memilih kembali ke kelas dan melakukan sesuatu yang setidaknya nggak terlalu membosankan. Tapi lagi-lagi pandangannya menangkap siluet seorang cowok yang duduk di meja paling pojok.
Cowok dengan bando hitam di poninya, duduk sambil membaca sebuah majalah dengan segelas Jus Alpukat.
Rinjani diam beberapa detik, mengambil waktu untuk berusaha mengingat sesuatu.
Sebuah kunci.
Benda yang ia temukan beberapa menit lalu. Itu milik Arjuna. Cowok yang kini menjadi objek matanya. Dan disaat seperti ini, Rinjani justru bingung antara memilih menghampiri Juna atau justru tetap diam dan menunggu hingga cowok itu kelimpungan sendiri mencari kunci lokernya.
Pada akhirnya, Rinjani memilih opsi pertama.
Saat kakinya mulai melangkah, tangannya justru ditarik oleh seorang cowok lain. Dan ia menekan bahu Rinjani-seolah memaksa-untuk duduk satu meja bersama teman-temannya.
"Duduk sini, deh."
Rinjani berkedip beberapa kali, menatap satu persatu wajah-wajah asing di depannya. Sekaligus, sekarang Rinjani sadar bahwa ia menjadi pusat perhatian untuk kedua kalinya, bahkan di hari pertama sekolah. Kebanyakan dari mereka adalah cewek yang bisa dikategorikan eksis di sini.
Percaya atau tidak, Rinjani pernah menjadi bagian dari mereka.
"Rin-ja-ni?" Cowok berhidung lancip ini mengeja nama yang tebordir di kemeja putih yang Rinjani kenakan. "Lo... anak baru, kan?"
Rinjani mengangguk samar, lalu mengalihkan pandangan ke meja di pojok sana. Dan, tepat. Pandangan mereka bertemu lagi. Tapi, Rinjani merasakan sesuatu yang aneh dari cara pandang Juna. Lebih kepada... khawatir.
Arsen mengikuti kemana arah tatapan Rinjani. "Kok, ngeliatin dia?"
"Hh?" Rinjani berkedip. Lalu menolehkan kepalanya. "Nggak. Nggak papa."
"Lo kenal dia?" Tanya Arsen.
"Siapa? Juna?"
"Hm," Arsen mengangguk. "Dari awal gue ngeliatin lo. Kayanya lo kenal sama cowok freak itu."
Cowok freak? Rinjani mengulang dalam hati.
"Gue baru liat dia pas masuk kesini, nggak kenal lebih."
Arsen mengulum senyum sinis. "Bagus. Mending nggak usah kenal. Dia emang lebih baik nggak punya temen."
Rinjani mengerutkan dahi. "Kok lo ngomongnya gitu, sih?"
Arsen tertawa kecil. Lalu menatap teman-teman satu mejanya seolah ini adalah lelucon. "Lo mau temenan sama cowok aneh kaya dia?! Gue malah lagi berusaha buat nendang dia dari sekolah ini. Malu-maluin tau punya murid cowok yang-"
"Oke, kita bisa ke intinya aja?" Rinjani memutar bola mata, jengah.
Hal yang paling Rinjani tidak suka adalah; tipe orang yang suka berbasa-basi. Membicarakan hal-hal yang sejatinya nggak berhubungan dengan inti pembicaraan.
Arsen tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Ah, gue sampe lupa,"
Rinjani tetap menunggu, menatap Arsen masih dengan tatapan bosan seperti sebelumnya. Sampai cowok itu mengulurkan tangan, dengan senyum semanis mungkin.
"Nama gue, Arsen. Anak dari pemilik Yayasan SMA Nusa. Lo?"
Rinjani memutar bola matanya. Please, gue nggak butuh sisilah keluarga lo.
"Lo tadi udah tau nama gue, kan?"
Arsen menjentikkan jarinya. "Ah, Iya. Kita sekelas."
Rinjani mengerutkan dahi untuk beberapa saat mencerna fakta kalau nantinya ia akan satu kelas dengan cowok seperti ini. Tapi kemudian, ia mengangguk, lalu tersenyum tipis. "Hm, kalau gitu.. gue mau kesana bentar, ya?"
Perlahan Rinjani mengangkat bokongnya. Sejak tadi ia tidak nyaman dengan situasi ini. Sebelum Arsen menarik tangannya lagi, Rinjani sudah menjauh dan menghampiri orang yang sejak tadi ingin Rinjani ajak bicara.
"Mau keman-Ish! Sialan!" Arsen berdecak, mengepalkan tangan frustasi.
Ini kali pertama ia diabaikan.
Rinjani tersenyum pada Juna. "Hei, Lo-"
Kurang dari dua detik, senyum itu pudar.
Hampir beberapa langkah lagi, Rinjani mendekat ke arahnya. Juna langsung bangkit, menutup majalah Fashion yang ia baca lalu membawa Jus Alpukatnya menghindar dari Rinjani. Sorot matanya memperlihatkan, bahwa Juna harus menjauh dari perempuan ini.
Pandangannya mengikuti kemana Juna pergi. Dengan terburu-buru cowok itu beranjak meninggalkan Rinjani yang masih kebingungan dengan tingkah laku cowok itu yang sulit terbaca.
Dan diam-diam, di belakang sana. Arsen menatap Rinjani tajam. Di bawah meja, tangannya terkepal. Ia benar-benar tidak menyangka, akan mendapat saingan yang tidak setara dengan kelasnya.
Sekarang, Arsen nggak lagi memiliki satu alasan untuk menyerang Juna.
Mungkin dua alasan, atau lebih.
Arsen benci Arjuna dan segala tentangnya.
***
Ceroboh.
Itu salah satu hal yang sampai saat ini sulit di hilangkan oleh seorang Arjuna. Beberapa kali ia mendesah dan membungkukkan badan untuk meneliti lantai koridor. Ia yakin kunci lokernya jatuh disini.
"...Duh, mana, sih!"
Bisa gawat kalau sampai lokernya terkunci. Ponsel dan juga dompetnya ada di dalam. Juna nggak tahu harus bagaimana lagi kalau barang-barangnya terperangkap di sana.
"Nyari apa?"
Juna berjengit. Saking kagetnya dengan kemunculan seorang perempuan berambut sebahu yang memiringkan kepalanya dan tersenyum. Jadi inget... Annabel.
Oke. Itu kejauhan. Nyatanya dia nggak se-seram itu.
"Kunci,"
"Kunci apa? Kunci rumah? Kunci mobil? Atau kunci-"
"Kunci loker." Juna menegakkan tubuhnya. Lalu menghela nafas. "Kalau lo emang nggak niat ngebantu, mendingan lo pergi."
Rinjani menyerigai geli, lalu merogoh saku seragam. Tangannya teruluh dan memberikan benda kecil yang ada di telapak tangan. "Ini? Punya lo?"
Juna menaikkan sebelah alis. "Nemu... dimana?"
Karena Juna tak kunjung meraih kuncinya, dengan paksa Rinjani menarik telapak tangan Juna agar benda itu kembali ke pemiliknya. "Tadi, jatuh disitu. Pas di kantin, gue cuma mau ngembaliin ini, tapi-"
"Makasih." Juna tersenyum. Tipis. Sangat tipis.
Cowok itu membuka lokernya dan memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Hari ini, Juna nggak bawa mobil. Terpaksa, ia harus memilih opsi terakhirnya; naik Bus.
Dan yang paling nyebelin adalah... nunggu lama di halte karena Bus yang datang nggak selalu on time.
Harusnya sekarang Juna cukup bersyukur karena kelas selesai dua jam lebih awal dengan alasan klasik; Rapat Guru. Yah, Juna cuma berdo'a supaya sering-sering ada rapat guru.
***
Rinjani menjatuhkan bokongnya di kursi halte. Tangannya mengutak-atik layar ponsel untuk membuka Playlist lama. Berupa sekumpulan lagu yang tak pernah lagi ia dengarkan beberapa bulan lalu.
Hampir ketika Rinjani akan memasangkan earphone ke telinga, ekor matanya tak sengaja menangkap sosok cowok yang duduk sambil memangku tas-nya di paha. Matanya memperhatikan beberapa mobil dan kendaraan lain yang melintas.
Rinjani mengabaikan alunan musik dari earphone-nya, karena Rinjani mengurungkan niat untuk mendengarkan musik setelah menyadari keberadaan cowok itu. "Lo naik Bus juga?"
Juna tak menoleh, dan baru menoleh ketika menyadari bahwa seorang perempuan menggeser posisi duduknya supaya lebih dekat. "Gue?"
Rinjani mengangguk. "Emang lo biasanya naik Bus, ya?"
"Enggak," Juna menggeleng samar. "Cuma kebetulan aja nggak bawa mobil."
"Hmm," Rinjani manggut-manggut.
Untuk beberapa menit kedepan, terjadi keheningan di antara mereka. Kecuali suara mesin kendaraan yang berlalu lalang. Sampai sebuah Bus melintas dan berhenti di depan halte, menurunkan beberapa penumpang, lalu Juna melirik perempuan di sebelahnya. "Duluan?"
Rinjani menyeringai, menarik tangan Juna untuk naik. "Yuk! Kita satu jurusan, kok."
.
Beruntungnya, Penumpang di dalam Bus tidak terlalu padat. Jadi, tidak ada yang sampai berdiri karena nggak kebagian tempat duduk. Rinjani langsung menjatuhkan bokongnya di kursi dan menepuk kursi sebelahnya; bermaksud agar Juna mau duduk disana.
Beberapa detik Juna diam, tapi lagi-lagi tangannya ditarik. "Duduk, sini."
Rinjani diam-diam tersenyum, mematikan musik di ponselnya dan memasukkan benda itu ke dalam tas berikut earphone-nya. Hidungnya tak sengaja menghirup aroma bedak bayi yang menyengat, dan ia yakin, aroma ini berasal dari parfum yang Juna gunakan.
Berbeda dari kebayankan cowok pada umumnya, yang lebih menyukai aroma-aroma tajam dan menyengat seperti Musk atau Mint.
"Lo... itu aneh, ya?"
Rinjani mengerutkan dahi, lalu memiringkan kepalanya. "Aneh kenapa?"
Juna mengerjap beberapa kali, berusaha menghindari kontak mata dengan perempuan yang duduk di dekat jendela itu. Rasanya aneh, karena saat pandangan mereka bertemu, Juna merasa gugup. "Yaa, aneh aja... kebanyakan orang-orang pada ngejauhin gue, tapi lo justru malah ngedeketin gue."
Rinjani tersenyum lebar. "Kenapa? Lo risih, ya?"
Juna menggeleg. "Nggak juga, sih. Gue cuma lebih suka sendirian."
"Ih, nggak boleh gitu. Manusia itu, kan mahluk sosial, mungkin nggak sekarang, tapi suatu saat nanti lo pasti butuh temen."
Juna memangku tasnya di paha, dan meletakkan tangannya disana. Ia diam beberapa saat untuk sekedar memandangi kuku-kukunya yang baru saja di potong rapi. "Kalau sendiri, gue ngerasa bebas ngelakuin apa aja yang gue mau. Gue cuma nggak mau bikin orang yang temenan sama gue malu karena tingkah gue yang aneh ini."
"Gue nggak malu, kok. Temen, kan harus nerima apa adanya."
Juna mengangkat wajahnya, menatap Rinjani lembut. "Kenapa lo mau temenan sama gue?"
Rinjani bertopang dagu. "Nggak beralasan, sih. Temenan, kan nggak harus punya alasan?"
Juna diam. Lalu menggeleng cepat. "Jangan temenan sama gue, nanti lo kena masalah."
"Kenapa? lo lagi ada masalah, ya?"
Juna menggeleng cepat dan tersenyum kikuk. "Bukan. Bukan apa-apa, kok."
Rinjani mengerjap sekaligus mengerutkan dahi bingung, tapi setelah ia menatap mata elang milik Juna cukup lama, ia tersenyum. "Lo salah, Gue justru yang bakal bantuin lo kalau lo kena masalah,"
Kalimat barusan berhasil membuat Juna tertegun. Memilih untuk mengakhiri pembicaraan tanpa menatap Rinjani lagi. Sampai ia merasakan sebuah tinjuan ringan di lengannya. "Lo harus tau dulu, apa fungsinya temenan, My Bro."
Sejak saat itu, untuk pertama kalinya, Juna merasakan dadanya bergetar, lalu bergemuruh. Degupan jantungnya sudah melebihi batas normal.
.
.
.
(TBC)