Hari pertama di bulan Agustus. Itu artinya, genap sebulan Rinjani berada di sekolah ini. Iya, baru sebulan. Tapi rasanya seperti sudah setahun. Karena dalam jangka waktu tiga puluh hari, sudah banyak sekali hal-hal buruk yang ia dapatkan disini.
.
Sore itu mendung. Sekolah hampir sepi dengan suasana senyap. Kelas-kelas mulai kosong, kecuali beberapa kelas yang masih di pakai oleh aktivitas ekstrakurikuler.
Biasanya, Pukul lima sore sekolah mulai di kosongkan. Tapi, hari ini, sepertinya banyak di antara mereka yang memilih nongkrong sebelum di usir penjaga sekolah.
Rinjani memasukkan buku catatan Fisika-nya ke dalam tas dengan terburu-buru. Sejak tadi, Ponselnya tak berhenti berdering oleh telfon Mama yang begitu menganggu. Ia mungkin sudah berbaring di atas kasur kalau bukan karena catatan Fisika yang begitu banyak.
Kakinya melangkah keluar kelas dengan ritme cepat, menyusuri beberapa koridor yang sudah sepi. Ia menempelkan ponsel ke telinga dengan malas, ketika ada sebuah panggilan masuk.
"Iya, Ma.. Aku baru keluar kelas. Ini mau pulang."
"..."
"Iyaa,Nggak usah khawatir.."
"..."
"Kalau git-" Rinjani mengulum kembali kalimatnya ketika sampai di persimpangan koridor. Suara benturan yang begitu keras juga suara segerombolan orang terdengar samar.
Ia menurunkan ponselnya. Meremasnya di d**a lalu bersembunyi di balik pilar. Dengan ragu, Matanya mengintip.
Itu, Arsen.
Lalu dengan cepat, ia kembali bersembunyi. Menempelkan ponselnya yang masih tersambung di d**a. Nggak, ini bukan waktu yang tepat buat muncul dan mendadak jadi pahlawan.
"...Lo cari mati, ya?! Maksud lo apa laporin geng motor gue ke Guru BK, hah?!"
"Gue sama lo itu beda! Urusin aja hidup lo sendiri! b******k!"
"Liat aja! Mampus lo entar!"
Lalu suara-suara sadis itu mulai menyamar. Kemudian menghilang seiring suara derap langkah sepatu yang mulai menjauh. Rinjani mengerjap, memperhatikan layar ponsel yang masih menyala dan terhubung dengan panggilan.
"Ah, Iya Ma.." Gadis itu kembali menempelkan ponselnya ke telinga.
"..."
"Enggak, Aku nggak papa.."
Kemudian, Panggilan di tutup secara sepihak. Rinjani menata mentalnya, mencoba berani untuk menghampiri seorang cowok yang terlihat betantakan di dekat pintu gudang.
"Lo nggak papa?" Tanya Rinjani, ia berjongkok.
Juna menatap perempuan di hadapannya dengan tajam. "Nggak usah sok peduli. Lo nggak ada bedanya sama dia."
Rinjani terdiam. Sedetik. Lalu menghiraukan kalimat yang sejatinya cukup nyelekit. Ia merapikan isi tas Juna yang berantakan.
Beberapa barang yang terlihat aneh kalau ditemukan di dalan tas seorang cowok. Sesuatu yang bukan rahasia umum lagi. Semua sudah tau, Cowok yang kini menjadi korban bully di depannya sekarang adalah cowok yang feminim.
Seorang cowok yang selalu menjadi bahan tertawaan teman-teman sekelas, yang selalu berpikir positif, dan ceria tanpa tahu malu. Pengurai tawa untuk setiap orang. Tak peduli, seberapa dalam ia di rendahkan.
Meski begitu, Rinjani hanya ingin.. Juna bisa berubah, gantian menghantam Arsen.
Suatu saat nanti...
.
Beberapa minggu ini, Rinjani jarang berpapasan dengan Juna. Kecuali di kelas. Itupun kalau Juna kebetulan sedang melihat ke arahnya. Lagipula, jika pandangan mereka bertemu, Juna yang terlebih dulu akan memutar bola mata dan menenggelamkan wajahnya diantara lipatan lengan. Pura-pura tertidur untuk mengabaikan Rinjani.
Rasanya, sudah terlalu lama mereka saling memunggungi. Rinjani hanya ingin bilang;
Apa kabar?
Meskipun Rinjani tahu, Juna tidak akan memiliki kabar baik selama Arsen berada di dekatnya.
***
Sialan.
Gara-gara tinggi tubuhnya yang kurang sedikit saja, Rinjani harus bersusah payah untuk menaruh kembali Buku di rak sejarah yang berada dibagian paling atas. Minggu ini, Rinjani kebagian jadwal menggantikan Pak Purnomo-pustakawan yang kebetulan tidak masuk hari ini.
Tugasnya sederhana; merapikan buku-buku yang berserakan di ruang baca dan mengembalikannya ke rak sesuai aturan. Dan rak buku sejarah adalah rak yang paling banyak, juga paling tinggi.
Samar-samar, Rinjani mencium aroma musk yang pekat dari belakangnya. Seakan indra penciumannya sudah mengenali siapa pemilik aroma ini, Rinjani menoleh ke belakang.
"Lo lagi?!" Rinjani membulatkan matanya. "Lo, tuh maunya apa, sih?"
"Gue nggak mau putus."
Rinjani mengerutkan dahi. "Ih, kok labil, sih?!"
"Gue bilang, gue nggak mau putus!" Arsen berdesis, karena sejatinya ia ingin meneriakkan kata-kata ini di depan wajah Rinjani kalau bukan karena aturan tidak tertulis yang ada di perpustakaan; dilarang berisik.
"Tapi gue maunya putus, gimana?"
"Gue tetep nggak mau."
"Kita udah nggak ada urusan lagi, Sen. Lo sendiri yang nggak mau kita jadi temen, kan?"
"Gue pengennya lebih dari temen!"
"Berisik," Rinjani melotot. Membuat Arsen mengepalkan tangan untuk menahan emosi. "Lagian ngapain ngomong disini, sih? Cari waktu lain, kan bisa!"
"Jangan lupa. Lo yang selalu ngehindar."
"Ya karena gue pikir urusan kita udah selesai. Jangan datengin gue lagi, mulai sekarang!"
Kesal, Arsen mendorong bahu Rinjani hingga punggungnya membentur rak buku di perpustakaan. "Lo nggak bisa lepas gitu aja dari gue." Desisnya, penuh penekanan.
"Arsen, sakit!" Rinjani meringis, karena merasakan punggungnya nyeri. "Sebenernya mau lo itu apa, sih?"
"Gue mau elo."
"Apa nggak cukup kalau kita cuma jadi temen? Kalau jadi pacar, jujur gue nggak-"
"Lo harus bisa, lah." Arsen semakin mendorong Rinjani hingga punggungnya semakin tertekan.
Rinjani berusaha mendorong tubuh Arsen agar menyingkir. Bisa-bisa ia remuk kalau terus berhadapan dengan cowok kasar seperti Arsen. "Ini yang bikin gue nggak suka, lo kasar."
Arsen tak berkutik, hingga Rinjani menatap Arsen tajam. "Minggir,"
"Nggak." Ia tetap bertahan di posisi semula. "Lo harus dengerin gue,"
"Apaan lagi, sih?! Lo lebay banget jadi cowok!"
Emosi, Arsen menarik tangan Rinjani yang mulai melangkah untuk pergi. Untuk yang kesekian kalinya, cowok itu nyaris membanting tubuh Rinjani ke rak perpustakaan dan siapapun juga tahu, rasanya sakit.
"SAKIT! b******k!" Matanya berkaca-kaca karena punggungnya terasa semakin nyeri. "Lo mau bunuh gue?!"
Beberapa orang yang tidak jauh dari posisi rak dimana Arsen dan Rinjani berdebat, iseng mengintip ketika mendengar pekikan Rinjani. Baru saat itu Arsen sadar bahwa ia sudah keterlaluan. "Ya makanya lo dengerin gue! Kalau Lo terus aja ngehindarin gue kaya gini, gue nggak bakal bisa berhenti."
"Nggak! Nggak bakalan mau!" Sebelum Arsen meremukkan tubuh mungilnya, Rinjani langsung melesat pergi. Melewati rak-rak buku yang menjulang tinggi dan tanpa sadar telah melewati tubuh seseorang yang sedang berdiri di dekat salah satu rak sambil memegang buku.
Pandangannya mengikuti kemana perempuan itu pergi, dan Rinjani ternyata berbelok ke arah ruang baca.
***
Sayup-sayup Juna mendengar suara isakan tangis seseorang. Dengan hati-hati, kakinya yang di balut kaus kaki putih mulai melangkah memasuki ruang baca. Ia mendapati Rinjani sedang duduk sambil bersandar pada sekat yang berupa rak buku pendek.
Ruang bacanya juga bahkan di sekat menjadi beberapa blok dengan rak buku setinggi satu meter. Dan percaya atau tidak, keunggulam SMA Nusa terletak pada perpustakaannya yang luas dan tertata rapih.
Juna ikut mendudukan diri di samping Rinjani yang sibuk menghapus air matanya. "Jangan nangis disini, lo bikin yang lain jadi parno."
Rinjani melempar tissue yang sudah kucel itu kesembarang arah, yang penting tidak mengenai seseorang. "Ya abisnya gue kesel!"
Juna mencubit bibir Rinjani gemas. "Berisik, heh!"
Perempuan itu menepis tangan Juna. Lalu melipat kedua lututnya dan meringkuk sambil menyembunyikan wajahnya. Juna yakin lima puluh persen kalau Rinjani kembali menangis.
Juna berdecak, menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Cowok itu melirik punggung Rinjani yang sedikit bergetar. "Sakit, ya?"
Meskipun awalnya ragu, Juna mencoba melarikan tangannya untuk memijat lembut bahu Rinjani. Ia sendiri bisa mendengar bagaimana tubuh Rinjani dibenturkan ke rak buku yang terbuat dari besi itu. "Arsen emang bener-bener kasar. Gue sampe nggak bisa bayangin gimana nasib anak sama istrinya nanti."
Juna sendiri cukup mengenal Arsen. Tipikal cowok yang suka main tangan. Dan terkadang Juna adalah sasaran emosi Arsen waktu SMP dulu. Untungnya, mereka nggak lagi satu rumah.
"Apaan, sih.." Rinjani bergumam, mengangkat wajahnya dan menghapus sisa air mata yang membuat pipinya basah. Ia menyibak rambutnya ke belakang, dan memalingkan wajahnya dari Juna agar cowok itu tidak bisa melihat bagaimana jeleknya wajah Rinjani ketika menangis.
Tapi, Juna justru menggeser posisi duduknya. Bersila di depan Rinjani dan membelai rambut lurus milik perempuan itu. Juna merabanya, dari pangkal rambut hingga ujung rambut. "Rambut lo kok bisa bagus gini, sih? Jadi pengen."
Beberapa waktu yang lalu, Juna pernah bermimpi memiliki rambut panjang seperti rapunzel. Yang bisa dirombak sedemikian rupa, dan kayaknya seru kalau punya rambut yang bisa di sulap jadi apa yang dia mau.
Rinjani menepis tangan Juna pelan. "Ngelantur mulu ngomongnya, nggak tau apa gue lagi nggak mood bercanda,"
Juna mendengus. Menarik tangannya dan memperbaiki sedikit posisi duduknya agar lebih nyaman. Cowok itu masih bertahan dengan duduk bersila di depan Rinjani sambil menopang dagu; siap mendengarkan cerita. "Jadi, kenapa?"
"Tumben banget lo peduli." Kata Rinjani, penuh dengan nada menyindir.
Selama berminggu-minggu Juna menghindarinya. Untuk kali pertama, Juna menghampiri Rinjani dalam situasi yang mungkin bisa dibilang cukup tepat.
Truth to be told, Rinjani sedikit terhibur.
"Nggak papa. By the way, abis ini lo mau langsung pulang, kan?"
"Kenapa emang?" Juna mengerutkan dahi. Dan terlihat manis karena kedua alis tebalnya terangkat samar.
"Nggak, sih. Cuma hari ini gue nggak mau pulang ke rumah."
"Terus lo mau ngegembel, gitu?" Ekspresi Juna langsung membuat Rinjani tergelak, karena persis seperti tokoh antagonis dalam sinetron.
"Kan, ngegembel-nya di rumah elo." Rinjani nyengir.
"Jadi, Mau ke rumah gue?"
Otomatis, Rinjani mengangguk. "Iya, boleh yaaa?"
Awalnya Juna mendengus, karena belum pernah ada satu pun orang yang penasaran seperti apa tempat tinggalnya. Dan Rinjani adalah orang pertama yang terlalu bersemangat. Setelah bungkam beberapa detik, Rinjani mengangguk.
"Yee, Asik!" Juna memutar bola mata melihat Rinjani yang bertingkah seperti anak kecil yang baru saja di beri permen.
Juna bangkit dan merapikan seragamnya. Cowok itu mengangkat sebelah alis, melihat Rinjani yang mengacungkan tangannya. "Apa?"
"Bantuin berdiriii.." Rinjani merengek.
Dengan dengusan kecil, Juna mengurlurkan tangannya dan membantu perempuan itu berdiri.
Salahkan Rinjani, yang memiliki tubuh mungil.
Meski begitu, image Rinjani yang menggemaskan tidak akan pudar di mata Juna.
.
.
.
(TBC)