"Juna!"
"Juna, Tunggu!"
"Juna! Gue mau ngomong!"
Ujung sepatunya berdecit, ketika akan mengejar cowok yang langsung melarikan diri begitu Rinjani baru akan menghampirinya. Mungkin, ini bukan kali pertama untuk Rinjani saat Juna menghindarinya.
Namun, entah kenapa. Rinjani merasa ada sesuatu aneh yang menyelundup saat ia menerima perlakuan aneh cowok itu. Diabaikan. Dijauhi. Dihindari.
Siluet punggung Juna tak lagi terlihat begitu cowok itu berbelok ke koridor kanan. Menghilang begitu saja. Rinjani menarik nafas dan memilih untuk memasukkan buku paket IPA yang terasa berbobot itu ke dalam loker dan menguncinya langsung.
Sekarang, Rinjani sadar; Bahwa ini adalah resiko yang harus ia terima. Kehilangan satu teman, padahal niatnya hanya ingin melindungi satu teman itu. Setidaknya, Rinjani sekarang senang Arsen nggak lagi mengganggu Juna.
Dan Rinjani merasa ini lebih baik.
.
.
Tapi, Tunggu.
.
.
Rinjani menghentikan langkahnya. Seolah merupakan respon dari apa yang diterima oleh sel-sel dalam otaknya. Berulang kali Rinjani berusaha untuk menolak, kenyataannya;
Enggak.
Ini nggak membuatnya menjadi lebih baik.
Pacaran dengan Arsen untuk melindungi Juna bukanlah satu-satunya opsi yang harus ia ambil.
Iya. Rinjani salah.
Seharusnya perempuan itu tetap berdiri di samping Juna, sebagai temannya. Bersama-sama melawan apa yang selama ini menjadi ketakutan Juna. Bukan malah meninggalkannya sendirian, meskipun Juna dalam keadaan baik-baik saja.
Karena yang sebenarnya cowok itu butuhkan adalah seorang teman.
Untuk saling berbagi.
Dengan memiliki teman, Juna bisa bangkit untuk melawan ketakutannya sendiri. Ia tidak lagi merasa sendirian. Seharusnya, Rinjani tidak begitu saja menerima ancaman halus Arsen dan tetap menjadi teman Juna sekalipun harus sama-sama dibully.
Setidaknya, itu lebih baik di bandingkan saling memunggungi seperti sekarang.
Lalu, ia merasa hatinya sedikit tergerak.
Sekarang Rinjani tahu apa yang harus ia lakukan.
***
Saat jam istirahat berbunyi, Rinjani dibingungkan dengan sikap dan tatapan aneh siswa-siswi sepanjang koridor. Kebanyakan dari mereka melemparkan tatapan meneliti dari atas sampai bawah, atau bersikap seolah Rinjani adalah mafia—karena saat perempuan itu melintas, semua siswa langsung menyingkir untuk memberi jalan dan tertawa sinis.
Kenapa, sih?
Dahinya berkerut begitu dua orang cowok yang wajahnya familiar, namun Rinjani tidak bisa mengingat nama mereka kendati hampir satu bulan berada di sekolah baru.
"Ikut kita," Salah satu dari mereka menarik tangan Rinjani pelan.
"Tunggu, deh. Kalian di suruh Arsen?"
"Iya," Jawabnya. "Makanya ngikut aja."
Saat tubuhnya digiring, Rinjani hanya bisa mengikuti langkah mereka dengan eskpresi linglung. Pasalnya, sejak tadi Rinjani tak pernah lepas dari sikap sinis seantero sekolah. Dari awal, niatnya pindah sekolah agar bisa memulai hal baru yang lebih baik. Berusaha untuk berurusan dengan orang-orang yang biasa saja dan tidak terlalu famous di sekolah.
Tapi, sepertinya, prinsip yang sudah ia bangun harus dikubur dalam-dalam karena sekarang Rinjani terlanjur mengenal Arsen.
Perempuan itu mengerjap berkali-kali saat di dorong pelan ke tengah lapangan basket. Dimana semua orang berkerumun membentuk lingkaran besar dan menjadikannya pusat perhatian.
"I-Ini apaan, sih?" Rinjani menolehkan kepala ke belakang, bingung pada dua teman Arsen yang membawanya kesini.
Mereka berdua hanya mengangkat kedua alis, memberi gestur agar Rinjani tetap diam di tengah lapangan. Dan ketika ia menolehkan kembali kepalanya ke depan, ada Arsen yang berjalan ke arahnya.
Rinjani hanya bisa tersenyum kikuk sambil mengusap lehernya yang mendadak merinding. Hal-hal seperti ini bukanlah tipe-nya. Ini benar-benar membuatnya geli dan merasa tidak nyaman. Belum lagi puluhan pasang mata yang menjadikan aksi Arsen ini sebuah tontonan.
Mulai, deh syuting film-nya, Rinjani merutuk.
"Rin," Suara berat itu menjadi jelas karena siswa-siswi yang menontonnya mendadak tutup mulut dan membuat suasana menjadi hening.
Bahkan, terlalu hening.
"Sen.. ini apaan, sih?" Rinjani bersuara selembut mungkin, agar tidak ada yang bisa mendengarnya. Wajahnya mendadak pias dan seluruh perasaannya kalut.
Tapi, Arsen hanya tersenyun lebar. "Gue tau, lo nggak suka hal-hal romantis kaya gini. Tapi, gue cuma pengen satu sekolah ini tau, kalau lo itu pacar gue."
Rinjani menghela nafas, ekspresinya justru terlihat seperti sedang memelas. "Sen, ini lebay banget sumpah. Gue nggak..."
Seolah tidak peduli, Arsen menunjukkan sesuatu dari belakang punggungnya. Membuat Rinjani semakin bingung dan tidak tahu harus melakukan apa.
"Gue sayang lo," Katanya.
Dan riuh tepuk tangan juga seruan tidak jelas itu semakin membuat Rinjani keringat dingin. Kalau kebanyakan orang justru merasa terbang atau seakan ada sesuatu yang menggelitik perut, Rinjani justru merasakan sebaliknya.
Merinding dan rasanya mual.
Rinjani baru tahu, kalau Arsen ternyata tipe orang yang terlalu berlebihan. "Sen..."
Arsen mengangkat kedua alisnya. Meminta Rinjani agar meraih sebuket bunga yang ada di tangannya. "Ayo, terima,"
Rinjani mengepalkan tangannya yang lembab dan berkeringat. Masih terlalu ragu untuk meraihnya, mengingat ini juga soal perasaan yang selama ini Rinjani rasakan. Sejauh ini, Rinjani tidak merasa ritme degupan jantungnya meningkat setiap dekat Arsen. Tidak ada yang istimewa dan cenderung biasa saja.
Oke. Mungkin hubungan yang Rinjani jalin belum seberapa, baru sekitar tiga atau empat hari.
Tapi, justru...
Sebelum semuanya berjalan terlalu lama, sepertinya Rinjani harus mengakhiri ini sekarang.
Membohongi perasaan sendiri terlalu lama juga bukanlah hal yang baik. Karena pada akhirnya, ini juga akan menyakiti Arsen sendiri ketika tahu kalau selama ini yang Rinjani lakukan hanya untuk membuat cowok itu berhenti mengganggu Juna.
Arsen mengerutkan dahi ketika Rinjani tidak juga meraih buket bunga yang ada ditangannya. Rinjani terus saja menunduk seperti sedang berpikir keras. "Kenapa, sih?"
Rinjani mengangkat wajahnya dengan tatapan sayu yang tidak Arsen sukai. "Sorry,"
"Kenapa?"
"Gue nggak bisa,"
Lalu atmosfir lapangan ini berubah. Setelah kalimat yang cukup objektif itu keluar dari bibir Rinjani, mereka semua menutup mulut dan menghentikan aksi tepuk tangan.
"Ayo dong, Rin. Lo jangan bikin gue malu." Arsen berdesis.
Tapi Rinjani tetap menggeleng. "Sorry, gue nggak bisa."
Arsen berdecak. "Ya udah lo terima dulu! jangan bikin gue malu, deh."
Tapi sebelum Rinjani mendengar penuturan Arsen lebih lanjut, perempuan itu sudah terlanjur memundurkan langkah. "Kita omongin lagi di tempat lain, ya?"
Ketika Rinjani keluar dari kerumunan, semua orang yang tadi menjadikannya pusat perhatian langsung mencecar Rinjani sedemikian rupa. Dan untuk kedua kalinya, Rinjani merasakan aura tidak suka dari semua orang di sekolah ini. Persis seperti apa yang ia rasakan di sekolah sebelumnya.
Harusnya, Rinjani tidak boleh berurusan lagi dengan orang-orang yang kelewat populer; Arsen, Contohya.
Sedangkan di tengah lapangan. Arsen hanya bisa menahan malu dan meremas buket bunga itu sekuat mungkin. Ia benar-benar sudah dipermalukan, wajahnya seperti ditampar oleh Rinjani secara tidak langsung.
***
"Ikut gue!"
"Ish! Sakit!"
Dengan nafas memburu, Arsen langsung memasukkan buku-buku Rinjani asal-asalan dan menarik tas juga mencengkram tangannya keluar dari kelas, beberapa menit setelah bell pulang berbunyi.
"Ya udah nggak usah tarik-tarik! Sakit!"
"Diem aja, bisa nggak, sih?!"
Sekuat tenaga, Rinjani menghentakkan tangannya di pertengahan koridor yang agak sepi. Beberapa kelas memang belum usai meskipun bell sudah berbunyi. "Ngomong disini aja, mau lo apa?!"
Arsen berdecih. "Giliran gue udah mulai serius sama lo, lo malah kaya gini, Rin! Lo tau? Yang lo lakuin tadi siang itu bikin gue malu banget, sumpah!"
Rinjani mendengus. "Ya, lagian suruh siapa bikin acara lebay kaya gitu?! Lo tau, kan gue paling nggak suka hal-hal kayak tadi!"
"Walaupun lo nggak suka, seenggaknya lo hargain gue. Nggak pergi gitu aja sok-sok jual mahal, lah! Lo pikir lo siapa bisa ngelakuin itu ke gue, hah?"
Rinjani tertawa getir. Seperti meremehkan beberapa kosa kata yang baru saja Arsen lontarkan. "Gue nggak harus jadi siapa-siapa buat ngelakuin itu ke lo, Sen. Berhenti buat jadi orang paling sok di sekolah ini! Sekarang udah nggak zaman lagi pake sistem kasta, sistem blok-blok an, sistem bully-bully an. Lo, tuh terlalu—"
Cewek b******k, Arsen berdesis. "Gini, ya? Keliatannya aja sok manis, padahal sebenernya lo itu—"
"Mendingan kita udahan aja," Rinjani memotong kalimat Arsen tak kalah sengit.
"Hh?" Arsen berkedip. "Kita baru jadian bahkan kurang dari seminggu, hey!"
"Nggak masalah, menurut gue lebih cepet malah lebih baik, kan? Dari awal gue emang nggak pernah ngerasa nyaman sama lo, Sen." Rinjani menyilangkan tangannya di bawah d**a. "Lagian gue tau, endingnya gue juga bakal kaya mantan-mantan lo sebelumnya. Udah terlalu banyak tipe cowok yang nggak serius kaya lo."
Arsen memutar bola matanya. "Lo nggak nganggap gue serius? Lo pikir kemarin-kemarin gue ngungkapin 'aib keluarga gue itu lo anggap spele gitu aja? Lo tau sendiri kalau gue nggak bakal ngumbar 'aib ke sembarang orang, Rin! Kalau gitu, itu artinya gue percaya sama lo."
Rinjani menahan nafasnya. Diam-diam membenarkan penuturan Arsen. "Ya udah kalau gitu kita jadi temen aja."
Arsen tergelak. Tidak menyangka bahwa kata-kata itu akan meluncur mulus dari bibir Rinjani. Arsen nggak mengenal hubungan baik setelah putus dalam kamusnya. "Gue baru tau, kalau ternyata kata 'temen' itu ternyata nyakitin."
"Ya terus lo maunya gimana, sih?!" Rinjani menghentakkan kakinya ke lantai, kesal.
Arsen melengos, mulai mengambil langkah untuk pergi. "Ya udah, Semerdeka lo aja! Gue nggak peduli."
Baru sekitar dua langkah, cowok itu memutar tubuhnya dan kembali mendekat ke arah Rinjani. Dan membisikkan sesuatu yang tajam dan menusuk. "By the way, gimana sama Juna?"
Anjir.
Reflek, Rinjani menahan tangan Arsen sebelum ia kembali melanjutkan langkahnya. "Tunggu, lo udah janji sama gue buat nggak ganggu Juna lagi?! Gimana, sih?!"
"Itu udah nggak berlaku lagi," Arsen tersenyum getir. "Lo inget? perjanjiannya, kan selama kita pacaran."
Ternyata, itu benar-benar sebuah perjanjian.
Semakin hari, rasanya Arsen ingin membunuh Juna. Tanpa ada yang memberi tahu, ia sendiri juga tahu salah satu alasan mengapa Rinjani bersikap seperti itu. Itu hanya sekedar kemungkinan, tapi pasti.
Ah, Juna menang banyak...
Diam-diam, sekarang Arsen nggak ingin menjatuhkan Juna saja. Tetapi, juga orang-orang yang berusaha melindunginya.
Sekarang Rinjani mengerti, Setiap keputusan yang ia ambil selalu memiliki resiko. Itu udah jadi hukum alam. Karena nggak ada keputusan yang tidak beresiko.
Ketika punggung Arsen mulai berjalan menjauh, dan akhirnya mengilang di persimpangan koridor, Rinjani menghentakan kakinya ke lantai saking kesalnya. Perempuan itu menggerutu sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Dih! Kenapa, sih jadi cowok, tuh sinetron banget orangnya!"
.
.
.
(TBC)