5 : Jarak

1417 Kata
  "Lo... kenapa disini?" Rinjani membasahi bibirnya, gugup. Cowok itu juga sama kagetnya saat menemukan Rinjani berada dalam Bus yang sama. "D-Dari mana?" "Lo yang dari mana! Lo nggak sekolah?!" Rinjani bertanya balik dengan berapi-api. "Gue—" "Ya ampun, berarti tadi lo bolos, gitu?!" Juna menarik nafas dan melemparkan pandangan keluar kaca. Malas berdebat dengan suara delapan oktaf milik Rinjani. Juna baru sadar, kalau ternyata perempuan itu nggak punya malu untuk teriak di tempat umum. "Kecilin suara lo," Rinjani menoleh ke sekitar, dan membalas tatapan aneh para penumpang dengan senyum kikuk. "Ah, sorry." Rinjani benar-benar nggak bisa membaca pola pikir Juna. Bagaimana bisa cowok itu bolos sekolah dengan keadaan seperti ini? Maksudnya, Seharusnya Juna beristirahat di rumah jika memang alasannya bolos karena sekujur tubuhnya nyeri gara-gara insiden kemarin. Pasalnya, Juna mengenakan seragam almamater lengkap, membawa tas berisi buku pelajaran, meskipun ada yang sedikit berbeda karena hari ini cowok itu tidak mengenakan bando, dan dari poninya yang mulai memanjang, Rinjani bisa melihat dahi milik Juna di balut oleh plester. "Lo sakit?" Juna menggeleng tegas dan buru-buru menepis tangan Rinjani yang sepertinya hendak menyentuh kepalanya. "Udahlah," "Kalau lo sakit harusnya lo di rumah, bukan keluyuran pake baju seragam gini. Kan kesannya lo kayak anak bad boy yang suka mabal pelajaran." Komentar Rinjani, panjang lebar. Juna memutar bola matanya, mencabut dua earphone yang menyumbat telinga dan memasukkannya ke dalam tas yang ia pangku di paha. "Tadi juga udah niat mau ke sekolah," "Terus, kok malah nyasar kesini?" "Males aja, jadi pas udah mau nyampe gerbang gue balik lagi." Rinjani tergelak. "Ih, bego." "Suka-suka gue, dong." Rinjani menatap Juna sebentar dan mendesah, lalu memilih untuk meng-iya-kan ucapan Juna. Perempuan itu menyandarkan punggung ke kursi dan memejamkan mata saat dirasa Bus mulai melaju. Selama beberapa detik, ia terbayang lagi dengan ucapan Arsen beberapa saat lalu. Juna itu saudara gue. Rasanya nggak mungkin. Tapi, Rinjani juga nggak bisa bilang itu mustahil. Karena apa yang Arsen rasakan juga cukup manusiawi, Jika Rinjani ada dalam posisinya, mungkin Rinjani juga akan melakukan hal yang sama. Tapi nggak separah apa yang Arsen lakukan pada Juna. Menindasnya. Menginjak harga dirinya. Mempermalukannya. Dan tidak menganggap Juna manusia yang bisa kapan saja berontak. Rinjani membuka mata, menolehkan kepala pada Juna. Dan, mata mereka bertemu. "Jun—Lo ngeliatin gue?" Rinjani menyipitkan matanya penuh selidik. Juna gelagapan dan ia kesal sendiri karena menunjukkan kegugupannya. Cowok itu menelan ludah dan memalingkan wajah ke sembarang arah. "Eng-Enggak." Rinjani menyikut lengan Juna usil, dan dengan eskpresi Rinjani yang seolah menggodanya membuat Juna semakin gelagapan. Sejauh ini, selama Juna bermain dengan teman-teman perempuannya di Bandung, Juna nggak pernah merasa gugup atau salah tingkah seperti ini. "Lah, kebanyakan gengsi, deh. Oh, Iya. Gue mau nanya," Akhirnya. Rinjani mengalihkan topik. "N-Nanya apa?" "Rumah lo... dimana?" Beberapa detik, sebelum mulut Juna terbuka untuk memberi jawaban, Rinjani berusaha meralat pertanyaannya. "Eh, maksud gue... lo tinggal sendiri gitu?" Juna berkedip beberapa kali. "Lo... tau darimana?" "Berarti bener? Lo tinggal sendiri?" Juna mengangguk pelan. "Iya," Tebakan Rinjani benar. "Sejak kapan?" "Emang kenapa, sih? Lo tuh terlalu kepo banget sama hidup gue." Juna mendesah. Karena lama kelamaan ia juga kesal dengan sikap Rinjani yang kadangkala membuatnya aneh sendiri. Rinjani merengut. "Yaa, nggak gitu... gue, kan cuma nanya doang. Lagian itu juga artinya gue—" "Dari sebulan atau dua bulan lalu, gue emang tinggal sendiri di apartemen punya bokap." Juna memotong ucapan Rinjani, to the point. Rinjani mengatupkan mulutnya. Dan pernyataan barusan yang ia dengar persis seperti apa yang Arsen katakan. Itu juga tidak menutup kemungkinan bahwa mereka sebenarnya satu Ayah. Rinjani menatap Juna lama, dan tidak sadar kalau Juna langsung merasa tak nyaman tiap kali pandangan mereka bertemu. Menurutnya, tidak ada kesamaan antara Arjuna dan Arsen. Kecuali alis tebal dan bola mata hitam pekat, juga tatapan tajam yang mereka sama-sama punya. Meski begitu, antara Arjuna dan Arsen adalah dua cowok dengan kepribadian yang saling bertolak belakang. Arsen dengan sikap kasarnya, dan Juna dengan keluguannya. "Besok lo mau sekolah?" Juna menolehkan kepalanya. Lalu mengangkat kedua bahu. "Nggak janji," Rinjani mendesah. "Kenapa harus ngehindar, sih? Gue tau, lo nggak sekolah pasti gara-gara kemarin. Iya, kan?" Juna diam, dan Rinjani masih belum puas mencecarnya dengan omelan. "Nggak perlu takut gitu, Jun.. Yang lo butuhin itu cuma keberanian. Toh, lo sama Arsen juga sama-sama manusia, kan?" "Lo nggak akan ngerti, Rin. Jadi mendingan diem. Gue bisa ngatasin ini sendiri." Setelah kalimat itu, Rinjani bungkam. Tak bersuara. Dan kalau dipikir lagi, bisa saja Juna malas berteman dengannya karena sikap sok tau, cerewet dan Kelewat kepo yang ia punya. "Ya udah, gue diem." . Untuk satu jam kedepan. Rinjani kebosanan karena tidak tahu harus melakukan apa selama di dalam Bus. Biasanya ia selalu bisa mengatasi rasa kantuk dan bosan selama perjalanan pulang, tapi kali ini nggak. Entah karena apa. Baru saja Rinjani ingin mencoba mengobrolkan sesuatu yang lain dengan Juna, perempuan itu mengurungkan niatnya. Ternyata, Arjuna tertidur. Saat matanya tertutup, image feminim itu mendadak terbang entah kemana. Cowok itu begitu manis dengan alis tebal dan bulu mata lentik yang panjang. Lagi, ia melihat earphone putih tersumpal di kedua telinganya, seolah Juna tertidur bersama dengan alunan musik yang berasal dari ponselnya. Katanya, sikap dan perilaku asli seseorang dapat dilihat saat ia sedang tertidur. Dan Rinjani menangkap sisi ketegasan dalam ekspresi wajah Juna. Seperti perkiraannya, bahwa Arjuna bukanlah sosok yang lemah. Suara dentuman kecil membuat Rinjani hampir tertawa lepas kalau ia tidak mengontrol diri untuk menahan tawanya sejenak. Beberapa kali kepala cowok itu membentur kaca ketika Bus melaju, dan ia tetap tidak terjaga dari kantuknya. Rinjani menarik kepala Juna, agar kepalanya bisa bersandar ke kursi dan tidak membentur kaca. Setelah itu, Rinjani membiarkan Juna tetap terlelap dan tak menyentuhnya sama sekali. Dua detik. Tanpa sengaja, Rinjani merasakan sebuah rambut halus mengenai lekukan lehernya. Dan ternyata kepala Juna justru jatuh di pundak Rinjani. Perempuan itu bisa merasakan hembusan nafas beraturan milik Juna. Sekarang, Rinjani tidak harus melakukan apa-apa untuk melawan kantuknya. Karena dengan begini, otomatis membuat Rinjani tidak bisa memejamkan mata barang sedetik. Rinjani sibuk mengatur dan menetralkan degupan jantungnya yang terus bergemuruh. Entah karena apa. *** "Ih, masa gue baru tau kalau Arsen udah jadian?" "Serius?! Sama siapa?" "Anak baru di kelas gue. Ih anjir, belagu banget lagi orangnya. Dulu aja, sok-sok an berani sama Arsen. Lah sekarang? Kemakan juga, kan?" "Namanya siapa?" "Rinjani, baru pindah sekitar dua atau tiga minggu yang lalu, lah. Lo tau, kan? Cewek yang ribut sama Arsen di kantin waktu itu?" "Hmm, gue inget. Ngebela Juna, kan? Ya ampun, apa banget, sih.." Suara orang ngedumel yang sayup-sayup terdengar dari sisi kanan membuat Juna mempererat cengkraman pada pintu loker. Matanya menatap kosong ke dalam loker yang berisi barang-barang juga bukunya yang tak beraturan. Juna mengurungkan niatnya mengambil sebuah tisu basah setelah mendengar kesimpulan dari obrolan dua cewek yang berada beberapa meter di sebelahnya ini. Vanya dan Inez. Dua cewek yang ia tahu memang hobi menggaet cowok populer di sekolah. Bukan itu masalahnya. Hanya saja; rentetan kata yang ia dengar membuat hati Juna tercubit. Arsen sama Rinjani pacaran? Vanya dan Inez langsung buru-buru merubah posisi begitu mendengar suara pintu loker yang dibanting. Mereka mengganti gestur seperti pura-pura mengambil buku dan memeriksa loker masing-masing. Mereka kira, Juna keki karena namanya di sebut-sebut. Dan insiden di kantin itu juga belum terlalu lama. Sekitar seminggu yang lalu, atau mungkin lebih. *** Juna membuka sepatunya ketika mulai memasuki ruang baca. Menyisakan kaus kaki putih yang melekat di kaki. Kali ini, Juna memilih membaca di ruangan baca sebelah, yang hanya berupa karpet hangat untuk duduk sambil membaca buku juga beberapa rak pendek. Sekedar informasi, perpustakaan sekolahnya memiliki dua ruangan khusus; untuk membaca dan mengerjakan tugas—di ruangan yang sengaja di taruh meja dan kursi. Kebetulan, Ruang baca tidak terlalu ramai hari ini. Beberapa orang terlihat membaca sambil tengkurap, ada yang tertidur dengan wajah di tutupi buku dan ada pula yang duduk manis dengan beberapa tumpuk buku di pangkuannya. Yah, ini memang lingkungan Juna. Juna meletakkan dua buku di pangkuannya. Dan membuka satu buku tebal yang ia ambil dari rak Sastra. Bau khas buku lama langsung menyeruak begitu Juna membuka halaman yang mulai kekuningan karena jamur. Selama dua puluh menit membaca, tak ada satu materi pun yang masuk ke dalam otaknya kecuali suara Vanya dan Inez yang masih terngiang di otaknya. Arsen dan Rinjani pacaran. Sekarang, Juna merasa benar-benar sendirian. Juga, menyesal. Karena saat Rinjani berusaha dekat, Juna tak menariknya mendekat, melainkan terus mendorongnya menjauh hingga perempuan itu sekarang benar-benar jauh. Jauh, karena sekarang Rinjani sudah berada dalam lingkaran Arsen. Juna mendengus dan menutup bukunya dalam sekali tepukan. Mengumpulkan tiga buku yang secara random ia ambil untuk menetralkan mood  yang sempat memburuk. Cowok itu menenteng tiga buku tadi dan memakai kembali sepatunya untuk mengembalikan buku ke rak. Saat meletakkan buku terakhir di rak khusus buku Sejarah. Dari sela-sela rak, ia dapat menangkap sebuah siluet wajah. Perempuan yang sedang fokus membaca buku sampai tidak menyadari seseorang memperhatikannya dari balik rak. Diam-diam, Juna memperhatikannya. Wajah Rinjani yang sebagian terhalang oleh susunan buku-buku diseberangnya. Untuk beberapa menit, entah kenapa Juna ingin terus berada dalam posisi seperti ini. Dan ia baru menyadari, jantungnya berdegup lagi. Dua kali lebih cepat dari biasanya dan dua kali lebih bergemuruh dari biasanya. Perasaan kecil, aneh dan menggelitik yang sampai sekarang belum Juna akui. . Lalu ia tersadar akan sesuatu. Objek yang dipandanginya adalah milik orang lain. Milik Arsen. Seseorang yang sampai kapan pun takkan bisa ia lawan dengan tangan kosong. Juna menarik wajahnya dan kembali meletakan buku tadi pada tempatnya. Lalu melenggang pergi keluar perpustakaan tanpa Rinjani sadari. . Faktanya, dari dulu sampai sekarang, nggak ada satu orang pun yang benar-benar menjadi temannya. Kalaupun ada, pasti dia nggak bertahan lama di samping Juna. Selalu pergi duluan, sebelum Juna benar-benar meminta uluran tangannya. Semua itu karena Arsen. Yang membuat Juna seakan seperti bakteri yang harus di jauhi. . . . (TBC)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN