•••
"Ini apaan?"
"Memori masa kecil gue ada disini semua," Juna tersenyum dan menarik lebih jauh sebuah laci raksasa di bawah ranjang. Ternyata, dibawah tempat tidurnya, Juna menyimpan semua barang-barang feminim yang ia punya.
Ah. Rinjani mengerti. Terlalu nekat jika Juna berani memajang semua barang-barang perempuannya secara terang-terangan. Semua barangnya berantakan. Ada banyak sekali alat-alat untuk mengecat kuku, botol-botol BB Cream dan perawatan khusus pelembab kulit yang sudah tak terpakai, beberapa majalah fashion dan boneka-boneka barbie yang tak utuh.
"Lo suka main barbie?" Rinjani mengambil satu boneka Barbie dengan rambut pirang yang bekas terbakar juga tanpa lengan.
"Dulu," Juna mengangguk. "Itu rambutnya kebakar, soalnya pernah mau di buang sama bokap gue, tapi gue rebut lagi... lagian, rimbil, sih.. orang gue beli juga pake duit sendiri."
Rinjani memukulkan boneka itu ke kepala Juna. "Lo tuh nggak pantes nyimpen kaya ginian."
"Sirik mulu, kaya nggak pernah pegang kaya ginian." Juna mencibir sekaligus memutar bola mata.
"Emang," Rinjani terang-terangan mengakuinya. "Mama sama Papa nggak pernah ngasih gue mainan. Dari kecil, gue udah terbiasa sama game di gadget gitu."
"Sok modern,"
"Ih, beneran," Rinjani membelai rambut boneka yang ia pegang. "By the way, orang tua lo tau kalau lo suka pake barang cewek?"
"Tau. Tapi nggak peduli," Raut muka Juna berubah murung membuat Rinjani merasa tak enak karena mengungkit hal yang seharusnya tidak ia tanyakan. "Bisa dibilang, gue korban broken home, itu sebabnya gue pengen misah dari mereka."
"Eh, malah lebih parah dari korban broken home kali, ya? Gue lebih ke- anak yang tidak dinginkan." Juna meringis sekaligus meralat ucapannya.
Rinjani tersenyum, lalu menyimpan kembali boneka yang sejak tadi ia pegang ke tempatnya dengan hati-hati. Perempuan itu tahu beberapa sisi lain Juna dari ucapan Arsen waktu itu, ia hanya ingin mendengar pernyataan versi Juna sendiri. "Terus, alasan lo tertarik sama dunia perempuan apa?"
Juna mengangkat bahu. Lalu mulai duduk bersila, mebuka ceritanya. "Karena gue ngerasa, jadi perempuan itu istimewa."
Seperti ada gaya tarik tak terlihat, Rinjani mendekatkan posisi duduknya di depan Juna, membuat cowok itu diam-diam mundur beberapa inci. Juna hampir tak bisa berkedip melihat ekspresi penasaran tersirat dari wajah Rinjani yang kini sedang bertopang dagu di depannya. Ditatap seperti itu, membuat Juna risih dan berdecak sambil benar-benar memundurkan posisi duduknya. "Ngeliatinnya biasa aja,"
Rinjani menghela nafas, lalu menegakkan tubuh dan duduk ala kadarnya. Ia merasa kalau Juna adalah tipe cowok yang terlalu sensitif, atau mungkin gampang bawa perasaan?
"Jadi mau cerita nggak?" Rinjani menatap Juna bosan.
"Iya. jadi, jadi.." Cowok itu mendengus, dan beralih untuk mengambil sebuah kotak sepatu lama yang sudah tidak terpakai. Juna menaruhnya di tengah posisi duduk mereka, agar Rinjani juga bisa melihatnya. "Jadi ini itu—"
"Ini apaan?"
Juna memutar bola mata. "Iya, kan gue mau ngejelasin ini apaan! Makanya jangan nyerempet mulu!"
Mendengar intonasi nyolot dari Juna hampir membuat Rinjani menelan ludah karena benar-benar seperti tokoh antagonis cewek dalam sinetron. "Ih, judes banget, sih mbak!"
"Gue, kan bilang dengerin dulu, ini barbie mau cerita!" Juna menunjuk-nunjuk kotak sepatu di depannya geregetan, lalu selang beberapa detik ia membuka penutupnya.
Kaget? Enggak juga.
Karena ternyata isi kotaknya hanyalah sebuah kumpulan foto yang tak terhitung jumlahnya. Tapi, untuk Juna, ini bukan hanya kumpulan foto, karena semua dunia dan memorinya tersimpan di balik potret-potret yang tercetak disana.
"Mereka keluarga gue," Ujar Juna.
Rinjani menatap Juna sejenak, tangannya mengambil selembar foto yang menampilkan potret beberapa anak yang tersenyum ke arah kamera dengan pakaian yang sama. Kebetulan, Rinjani menyukai anak kecil, hingga ia tiba-tiba tersenyum ketika tak sengaja melihat seorang anak laki-laki yang tertawa dengan gigi ompongnya. "Ih, sumpah yang ini ngakak, deh. Siapa, sih ini?"
"Gue! Mau apa emang?" Juna melotot dan merebut paksa selembar foto yang Rinjani pegang.
"Ya udah, sih. Lagian kalau lo tau kecilnya gue kaya anak gembel juga pasti lo bakal ngeledek juga, kan?" Rinjani mendengus, lalu mengambil selembar foto yang lain. Ia melihat wajah anak lelaki yang sama, tapi kali ini anak itu berfoto dengan seorang wanita paruh baya. Sedikit mengingatkan Rinjani pada cerita Arsen.
"Ini nyokap lo?"
"Bukan," Juna menggeleng. "Itu Bunda Sarah, Yang ngurus Panti Asuhan waktu gue di Bandung."
Karena Rinjani sudah mendengar pernyataan yang sama dari Arsen ia tidak terlalu terkejut juga, tapi sebisa mungkin Rinjani bersikap seperti tidak tahu apa-apa. "Lo anak Panti?"
Juna mengangguk, seperti tidak keberatan dengan fakta itu. "Iya, dan gue nggak nyesel jadi bagian dari mereka. Kalau gue bisa, gue pengen balik lagi sama mereka, meskipun jauh dari keluarga."
"Kenapa?"
"Soalnya, orang bilang, keluarga itu rumah dari kecil sampe kita tua nanti, tapi yang gue rasain, keluarga justru jurang paling curam yang bisa ngebunuh gue kapan aja, makanya gue pengen jauh dari mereka—keluarga gue maksudnya."
Rinjani menepuk punggung Juna, lalu nyengir lebar untuk mencairkan suasana. "Tenang, ada gue, kok disini. Lo bisa jadiin gue pelarian, kok. Hehe."
"Nggak usah sok asik, itu jijik banget buat gue." Juna mencibir, menyingkirkan tangan Rinjani dari punggungnya.
Setiap gesture yang Rinjani lakukan kepadanya, entah kenapa membuat Juna aneh sendiri. Seperti bukan perasaan biasa, tapi Juna tidak tahu apa tepatnya itu.
"Yee, dibaikin juga," Rinjani memutar bola mata sinis, menyimpan lembar foto yang tadi ia pegang dan gantian mengambil selembar foto yang menampilkan beberapa wajah anak perempuan dan satu wajah anak laki-laki di tengah mereka. "Yang ini elo?"
Juna mengangguk, karena jari Rinjani memutari garis wajah anak laki-laki yang terpotret disana. "Yang ini, Nana. Ini si kembar Juli sama Joana. Terus yang rambutnya dikuncir itu, Dinda. Yang pake baju kuning, Dita. Dan... ini gue."
"Cowok sendiri?"
"Temen gue emang cewek semua. Gue nggak suka temenan sama cowok."
"Kok gitu? Emang disana nggak ada anak cowok?"
Juna mengangkat bahu. "Ada, sih. Yaa imbang, lah. Cuma, gue lebih suka main sama cewek. Main barbie, main masak-masakan gitu, Oh! Atau main Mama-mama-an itu seru banget sumpah demi apapun! Gue selalu kebagian jadi Bapak dan dipasangin sama Dinda. Tapi guenya nggak mau,"
"YA AMPUN KOK NGAKAK, SIH?!"
"Gue nggak mau jadi Bapak, soalnya nggak asik. Jadinya, gue pengen jadi Ibunya dan ceritanya gue punya anak dua, gitu.."
"Terus siapa yang jadi anaknya?"
"Yaa, si kembar tadi. Mereka masih kelas satu SD, kan.. jadi masih pantes, lah jadi anak gue. Kita sering main gitu, bikin rumah dari sarung dan mainan pake uang-uangan gambar Berbi. Seru, deh!" Juna tertawa beberapa kali sambil menggali satu memori yang paling menyenangkan diantara memori kelam yang ia punya.
Mata Rinjani menatap Juna lekat-lekat. Rinjani hampir menemukan alasan wajar mengapa Juna bisa memiliki perilaku yang condong ke sisi perempuan. Salah satunya adalah karena;
Pergaulan.
Pergaulan yang salah. Yang mungkin bisa menjadi faktor utama diantara faktor lain yang bisa menumbuhkan kebiasaan dan perilaku menyimpang dalam diri seorang Arjuna.
"Kenapa nggak coba gabung sama anak cowok? Main bola, atau main apa... gitu?"
Juna bergidik. "Ih nggak mau,"
"Kenapa?"
"Mainanya nggak asik. Palingan main bola, kalau nggak gitu main layangan. Kayanya laki-laki nggak punya sesuatu hal yang asik buat dilakuin. Dan, Menurut gue perempuan punya banyak hal yang bisa mereka lakuin kalau lagi bosen," Juna merapikan tumpukan foto polaroid tadi dan memasukannya kembali ke dalam kotak sepatu. "Perempuan punya banyak variasi, nggak kayak cowok yang gitu-gitu aja. Hidupnya flat dan—"
"Kasih gue satu alesan aja, kenapa lo tertarik sama dunia perempuan?" Rinjani menginterupsi. Karena ini adalah satu alasan yang sering kali mengganggu pikirannya.
Awalnya Juna diam. Merasa gondok karena beberapa kali omongannya diserempet oleh Rinjani. Tapi pada akhirnya, cowok itu tersenyum samar dan memandang langit-langit apartemen sebelum memandang Rinjani tepat pada kornea.
"Karena perempuan itu selalu penuh kasih sayang,"
"Se-simpel itu?"
"Iya, sesimpel itu," Juna mengangguk pelan. "Sebelum gue di kirim ke panti asuhan, gue tinggal sama bokap beberap hari. Di umur gue yang masih 10 tahunan, gue digebukin gara-gara gue keluarga mereka hancur. Ya, sekedar spoiler, gue ini anak haram, kali ya?"
Ada getaran aneh ketika mendengar ini langsung dari mulut Juna. Biasanya seorang cowok nggak mudah dalam masalah curhat kecuali sama orang yang benar-benar mereka percaya luar dalam. Rinjani hanya menarik nafas dan menatap Juna lamat-lamat, kedua telingan siap untuk mendengar semua cerita Juna. Apapun itu.
"Terus, terus?"
Juna diam sejenak. Memalingkan wajahnya untuk mengapus beberapa tetes air mata yang keluar tiapkali Juna mengingat fakta ini. Rasanya, Juna nggak sanggup untuk bercerita lebih mengenai sisilah keluarganya. "S-Sorry,"
Rinjani tersenyum maklum dan menepuk punggung Juna keras. Cowok itu masih menyembunyikan wajahnya karena ketahuan menangis. Rinjani sendiri juga tahu, kalau cowok memang jarang—atau nggak pernah nangis karena hal-hal kecil. Biasanya mereka menangis hanya karena beberapa hal; menyangkut keluarga, dan orang-orang yang mereka sayangi terluka.
"Nggak papa, kok. Nangis itu manusiawi. Lo nggak harus ceritain apa yang nggak bisa lo ceritain,"
Juna mengapus sisa air mata terakhir dan tertawa hambar. "Ya ampun, alay banget, ya gue?"
"Nggak papa... normal-normal aja, kok."
"Jadi, dulu, tuh.. Gue sering di gebukin, beberapa kali gue juga sering liat Mama dipukulin dan karena nggak sanggup akhirnya Mama milih kabur ninggalin gue sama Laki-laki b******k itu. Disana juga ada Nyokap tiri gue yang sekarang juga sama-sama kabur, gue sering ngeliat Mama ditampar, dijambak, dibilang b***h lah, dihina sama Nyokap tiri gue. Dan pada akhirnya, mereka berdua sama-sama kabur ngejauh dari laki-laki b******k itu.
"Sampai gue di kirim ke panti asuhan gara-gara bawa masalah besar, dan Bokap bilang gue emang aib banget dan nggak pantes hidup. Lo bayangin aja, umur gue masih 10 tahun, kelas 5 SD, udah denger kata-kata yang tajem banget dari Bokap gue sendiri." Juna mengepalkan tangannya beberapa kali, perpaduan antara gemas, dendam dan kesal. Lalu ia melanjutkan;
"Sejak saat itu gue pendiem. Gue trauma sama pukulan. Bahkan yang seharusnya gue jadi anak nakal dan punya ambisi untuk bunuh Bokap gue gara-gara dendam, Gue justru sebaliknya, gue jadi pendiem karena udah takut duluan. Udah ngerasa kalau gue lahir itu artinya masalah buat semua orang. Gue nggak percaya diri, dan pengen nemuin hal-hal baru."
.
.
.
(TBC)