Tujuh tahun lalu, Juna masih mengingatnya dengan jelas. Bagaimana seorang anak perempuan dengan satu kepangan rambut diantara helai rambutnya yang dibiarkan terurai sampai bahu menghampiri Juna yang duduk sendirian di Bangku.
Hari dimana pertama kali Juna diasingkan ditempat yang membuatnya merasa semakin buruk. Dinda, namanya. Perempuan itu tersenyum manis dengan gigi kelincinya sambil membawa sebuah boneka barbie.
"Kamu anak baru, ya?" Suara itu adalah sapaan terhangat yang pernah Juna dengar. Intonasinya lembut dan halus begitu mendarat sampai telinga. Jauh berbeda ketika Papa dan Mama tirinya meneriaki Juna dengan hinaan.
Juna menggeleng, mengangguk, menggeleng lagi dan pada akhirnya diam karena tidak tahu harus menjawab apa. Tapi Dinda justru tetap memasang senyum dan duduk di sebelah Juna. "Umur kamu berapa tahun?"
"Sepuluh," Juna kecil menjawab seadannya. Karena ia tidak ingin terlalu dekat dengan banyak orang.
"Wah, kita seumuran dong. Namaku Dinda, kamu siapa?"
"Juna,"
"Juna?"
"Iya." Juna mengangguk. Lalu kedua bocah polos itu tidak mengeluarkan kata-kata lagi selain sama-sama melempar pandangan ke arah lapangan bola yang gawangnya dibentuk dari dua pasang sendal yang diberi jarak sekitar satu setengah meter.
Banyak anak laki-laki disana. Bermain bola sepak sambil sesekali berteriak ketika ada yang curang. Jantungnya kembali berdegup ketika melihat ada satu anak yang jatuh tersungkur oleh satu teman lainnya. Mereka adu tonjok ala anak umur belasan tahun, meski begitu Juna tetap tidak bisa melihatnya. Juna kecil memejamkan mata dan memilih untuk tidak melihat semuanya.
Pandangannya berubah, ia merasa bahwa semua laki-laki tidak memiliki sisi lembut sama sekali. Mereka semua selalu menyelesaikan masalah menggunakan kekerasan untuk membuktikan kehebatan masing-masing. Dinda menarik tangannya, bocah pemberani itu menarik Juna untuk melihat bagaimana Adrian-anak kelas 6 SD-dipukuli oleh Erik, yang seumuran dengannya. Dua anak ini memang biang onar di Panti Asuhan, sampai Bunda Sarah kewalahan mengurus mereka berdua saking bandelnya.
Mereka semua membentuk lingkaran untuk menjadikan Adrian dan Erik bahan tontonan. Dinda menarik Juna ke jajaran paling depan hingga Juna bisa melihat dengan jelas bagaimana pukulan demi pukulan mendarat di wajah masing-masing. "Aku nggak mau liat!"
Dinda memegang tangannya. Dan dengan sigap anak perempuan itu menarik Juna keluar dari kerumunan persis setelah Bunda Sarah datang dengan wajah panik. "Kita main yang lain aja, yuk! Jadi anak cowok emang nggak asik."
Juna dibawa masuk kedalam satu ruangan yang disana banyak sekali anak perempuan. Mereka asik bermain dengan barang warna-warni yang kelihatan menarik. Saat Juna bergabung, mereka menyambutnya dengan tawa dan lembut. Membuat Juna merasakan kasih sayang untuk pertama kali selama sepuluh tahun dalam hidupnya.
Bersama mereka-teman-teman perempuannya-Juna bisa melupakan sisi terkelam yang pernah ia punya. Lupa tentang fakta mengenai kelahirannya, Lupa tentang Mama yang nyatanya adalah seorang w***********g yang menyukai uang laki-laki kaya, Juga lupa tentang hinaan yang pernah mendarat ditelinganya.
Bersama mereka semua, Juna bisa melewati hari-harinya seperti anak kebanyakan. Bermain boneka, masak-masakan, Mama-Mama-an juga berkreasi dengan beraneka ragam cat kuku warna-warni.
Sekalipun Juna tahu, bahwa Juna terjebak di dunia yang salah. Sebenarnya ia ingin lepas dari tubuhnya, tapi ia sudah terikat hingga tak ada cara lain kecuali merubah.
Dan berubah adalah pilihan paling sulit untuk Juna. Semuanya sudah terlanjur melekat, membuatnya nyaman dengan hidupnya yang sekarang.
Dinda adalah anak perempuan yang pertama kali membuatnya merasa tenang. Figur anak paling lemah lembut yang pernah ia temui. Dua tahun di panti asuhan rasanya seperti dua jam saja. Intinya, ia harus berterimakasih pada Dinda yang telah mengenalkan Juna ke dunia yang baru. Dunia yang tidak sembarang bisa dimiliki oleh orang lain.
"Gue pengen ketemu Dinda, kira-kira sekarang udah gede gimana wajahnya, ya? Pasti cantik." Juna menerawang keluar jendela yang berjarak beberapa meter dari tempatnya duduk. Wajahnya terkena silauan matahari Sore yang perlahan mulai menyelinap melalui kaca jendela yang tetap terbuka.
Selepas Juna mengucapkan rentetan kalimat itu, ada rasa mencelus aneh yang Rinjani rasakan karena secara tidak langsung... Juna memuji perempuan masa kecilnya. "Lo suka sama Dinda, ya?"
"Dulu," Juna mengakui terang-terangan. Meskipun waktu kecil Juna sering bermain boneka dan hal-hal yang lebih condong ke sisi perempuan tidak juga mengubah arah perasaan dan kodrat untuk tetap menyukai lawan jenis. Juna pernah diam-diam memperhatikan Dinda saat rambutnya di kepang oleh Bunda Sarah, saat memoleskan bedak bayi ke wajahnya dan saat bermain lompat tali dengan rambut tertiup angin. Pokoknya, waktu masih kecil dulu, dimata Juna, Dinda perempuan paling cantik.
"Sekarang udah enggak, kan?" Rinjani menginterupsi. Seolah menginginkan jawaban itu.
Juna diam, menatap Rinjani bingung sebelum akhirnya mengangguk. "Enggak, pasti dia udah punya cowok yang lebih pantes selain gue."
"Kok lo ngomong gitu? Berarti lo masih..." Rinjani mengantungkan kalimatnya, tidak ingin membahas lebih lanjut. "Udah, deh. Lupain aja."
"Terus Bokap lo gimana? Kalau seandainya dia tau lo kaya gini... Ya, maksud gue-"
"Gue digebukin, dihina abis-abisan, nggak di akuin anak," Juna menjawab tepat sasaran. "Dan itu udah terjadi sama gue, itu juga yang bikin gue ada di apartemen ini sekarang. Sebenernya gue nggak sudi banget tetep pake uang bokap buat keperluan ini-itu, tapi gimana pun juga gue tetep butuh fasilitas dari Bokap gue yang b******k itu,"
Rinjani menepuk lengan Juna. "Nggak boleh gitu, ah. Gitu-gitu juga, dia itu Bokap lo. Lo nggak bakalan ada kalau seandainya nggak ada dia lo nggak bakalan lahir."
"Gue lebih milih nggak lahir aja sekalian, malah."
"Terus, kalau seandainya lo di lahirin dari keluarga yang beda? Lo mau apa?"
"Di lahirin sebagai cewek atau cowok, nih?" Juna mengangkat kedua alis.
"Takdir lo itu cowok, Juna.."
"Umm," Juna menimang-nimang, memutarkan pandangan kesekeliling ruangan seolah berpikir keras meskipun ini bukanlah jawaban yang sulit. "Intinya, kalau gue bisa jadi cowok tulen, gue nggak pengen jadi cowok se-b******k Bokap gue. Dan kalau dilahirin jadi cewek, gue nggak mau se-murahan Nyokap gue,"
"Gitu?"
"Iya," Juna menangguk mantap. Detik selanjutnya ia merubah posisi duduk sila-nya menjadi selonjoran. "Sisi lain dan positifnya, gue rasa... banci lebih mending daripada cowok tulen tapi b*****t, seenggaknya gue lebih bisa ngendaliin diri, kan?"
Rinjani menyentil bibir Juna gemas. "Ih! Siapa yang bilang lo banci?! Lo bukan banci!"
"Iya, Bukan..." Juna terkekeh pelan.
Kali ini, Untuk pertama kalinya Juna mulai membuka satu benteng untuk satu orang yang membuatnya bisa merasa aman dan nyaman. Seseorang yang awalnya asing, ternyata kini sangat Juna butuhkan untuk sekedar berbagi cerita dan menjadi pendengar yang baik.
Sore itu, Mereka berdua sepakat untuk membuat dua cangkir teh hangat sambil menunggu matahari terbenam dari depan jendela. Tertawa, jika salah satu diantara mereka melempar lawakan murahan. Dan saling pukul ringan, Jika menurut Rinjani, Juna mengeluarkan kata-kata menyebalkan.
"Juna?"
"Apa?"
"Hari ini, kita temen, ya?"
Juna hanya mengangguk. Dan untuk kali ini Juna tidak ingin memiliki hubungan lebih dari sekedar teman. Perasaan takut itu tanpa disadari muncul lagi; Takut jika suatu saat nanti, Juna bakal menyakiti perasaan Rinjani.
Nggak mungkin, karena Juna berjanji mereka akan tetap menjadi sekedar teman.
***
"Kok nggak ikut main bola?"
"Lo tau, kan? Gue nggak suka main kaya gituan?"
Rinjani mendengus, ikut duduk sambil menyelonjorkan kaki di pinggir lapangan. Sekarang masuk jam pelajaran olah raga, beberapa anak ada yang malas mengikuti permainan klasik seperti Basket dan Sepak Bola atau Voli kecuali ikut pemanasan. Selebihnya anak cewek lebih suka duduk berkelompok buat ngobrolin hal-hal yang sifatnya gosip, sedangkan anak cowoknya main Bola, meskipun beberapa ada yang bermain basket.
Lain lagi dengan Juna yang justru duduk diam di sisi lapangan. Ikut nimbrung dari jauh untuk mendengarkan gosip yang dibicarakan oleh Ashey dan Tara. Juna hanya duduk beberapa meter dari sekumpulan anak cewek yang bergosip karena takut membuat mereka terganggu oleh keberadaan Juna. Sampai Rinjani memilih untuk memisahkan diri dan menghampiri Juna.
"Main Voli, yuk?"
"Voli? Gue nggak bisa, ah." Juna menggeleng tegas, memperlihatkan ekspresi tak berminat.
"Ih, coba main aja dulu."
"Nggak mau ah, panas," Juna membetulkan posisi bandonya. Kening cowok itu sedikit berkeringat, kendati hanya duduk manis disisi lapangan. "Males banget kalau udah panas-panasan."
"Eh? Lo beli bando baru lagi?!" Rinjani membulatkan matanya. Menyadari bahwa Juna kembali mengenakan bando hitam-mengembalikan kebiasaannya dulu. Seingat Rinjani, bando hitam Juna yang lama udah Arsen rusakin waktu insiden yang nggak ingin Rinjani ingat-ingat lagi. "Jangan pake ginian, ah! Jelek!"
Rinjani melepas bando hitam di kepala Juna, kasar. Perempuan itu mengacak-acak rambut Juna hingga berantakan. Untuk beberapa detik, Rinjani sadar bahwa ia baru saja memberikan sentuhan sederhana yang membuat Juna berganti aura. Aneh aja, gitu.
"Kalau gini, kan kece." Tanpa bisa Rinjani cegah, ia memuji Juna.
"Balikin nggak?! Rambut gue lepek!"
"Nggak! Gue bilangin nggak usah pake ginian!"
"Rin! Balikin!"
"Nggak! Gue aja yang pake!" Rinjani melepas kuncir rambutnya, padahal sehabis olah raga gini enaknya pakai kuncir rambut supaya nggak gerah. Tapi, Rinjani justru mengurai rambutnya sampai bahu, memakai bando hitam tadi untuk poninya. "Puas?"
Setelah benda itu berpindah kepala. Juna tak berani menyentuhnya. Ia memperhatikan Rinjani lamat-lamat, lalu tertawa remeh. "Nggak nyadar, ya? Lo itu jenong banget."
"Ih, enggak! Siapa bilang?"
"Iya, Lo itu-"
Dug.
Detik yang sama, semua anak memusatkan perhatian pada Juna yang memejamkan mata rapat-rapat sambil memegangi kepala yang terasa pening. Bahkan sangat pening. Pandangan Juna perlahan mengabur dan perutnya mual.
Bola yang ditendang mengenai kepalanya itu menggunakan tendangan yang tidak biasa karena menimbulkan efek tersendiri begitu membentur tulang tengkorak Juna.
Efeknya tidak bisa dipandang spele. Saking seriusnya, Juna merasa semuanya mengabur dan pada akhirnya tubuh cowok itu terkulai di pinggir lapangan. Rinjani langsung bangkit berdiri, menatap beberapa anak cowok yang tertawa ngakak melihat Juna yang langsung lumer hanya karena terkena tendangan nyasar.
Tapi bagi Rinjani, itu bukanlah tendangan nyasar yang dilakukan tanpa sengaja. Beda lagi, jika cowok berpostur tubuh tinggi dengan kaus olah raga yang sekarang justru hanya menyeringai kecil melihat pemandangan ini.
Pandangan mereka saling menusuk untuk beberapa detik sampai Rinjani melepas salah satu sepatu kets-nya dan melempar tepat sasaran mengenai punggung Arsen yang hampir berbalik untuk menghindari tatapan.
Rinjani mengangkat dagunya, menantang. "Banci lo."
.
.
.
(TBC)