11 : Trouble

1449 Kata
Sebelum amarahnya meluapkan. Bunyi peluit dari Pak Ramdan, selaku Guru Olah Raga mereka langsung membuat seluruh siswa berkerumun membantu untuk membawa Juna ke UKS. Beberapa orang ada yang menghela nafas lega karena pelajaran olah raga dihentikan saat itu juga. Tapi tetap saja, mereka semua keterlaluan. Menertawakan Juna terlebih dahulu, barulah membawa tubuh lemas Juna setelah mendapat perintah. Kali ini, Rinjani membiarkan teman-teman yang lain mengurus Juna sedangkan perempuan mungil itu berjalan ke arah Arsen yang berdiri ditengah lapangan dengan tampang tak berdosa. Menyadari keberadaan Rinjani, Arsen menatap perempuan yang lebih pendek dengannya itu dengan alis terangkat. "Apa?" "Lo-" "Nih, sepatu lo." Sebelum Rinjani meluapkan emosi, Arsen terlebih dahulu menyodorkan sepatu kets milik Rinjani yang tadi mengenai punggungnya. "Lo, tuh-" "Kenapa? Mau gue pakein?" "Nggak." Rinjani terpaksa harus kembali menelan kata-katanya. Ia meraih sepatunya kasar dan berjongkok disitu juga untuk langsung memasangkan sepatu tersebut ke sebelah kakinya yang hanya tinggal kaus kaki putih. Hal tersebut membuat Arsen mendengus bosan dan hanya melenggang pergi ke kantin dengan santainya untuk membeli sebotol air minum. *** Tak puas sampai disitu, Rinjani berbelok ke salah satu koridor sekolah dan berhenti pada satu ruangan yang hanya boleh dimasuki oleh anak cowok. "Anjir! Ngapain lo disini?" "Kok ada cewek, sih?" "Rin? Ngapain disini?" Rinjani mengabaikan pekikan kecil teman-teman cowoknya yang bertelanjang d**a untuk mengganti baju olah raga. Dengan wajah memerah menahan emosi Rinjani memasuki ruang ganti laki-laki untuk mencari seseorang. "Mana Arsen?!" "Nyari gue?" Arsen menampakan wajah sambil mengenakan kaus putih polos sebelum memakaikan seragam putih. "Gue mau ngomong sama lo," Rinjani menarik tangan Arsen keluar bahkan sebelum Arsen mengancingkan seragam putihnya. . "Maksud lo apa, sih?" "Gue? Kenapa?" "Lo, kan?! Yang tadi tendang bola kena kepala Juna?!" "Kalau iya, kenapa?" Masih dengan ekspresi datar, Arsen berujar. Membuat Rinjani mengepalkan tangan di samping rok abu-abunya. "Lo mikir nggak, sih? Kalau sampai dia kenapa-napa gimana? Lo mau tanggung jawab?! Kalau lo dendam sama gue soal bunga waktu itu, lo bisa gangguin gue. Lo nggak perlu ngelibatin Juna!" Arsen tertawa sinis. "Serius, gue bahkan udah lupa sama masalah itu. Tapi kenapa, ya? Rasa malunya itu masih kerasa sampe sekarang?" Pertanyaan itu entah ditujukan lebih kepada diri Arsen sendiri atau memiliki maksud lain; menyindir Rinjani. Tapi perempuan yang berdiri di depan Arsen itu menghela nafas pelan. "Ya udah, gue minta maaf soal itu. Bener-bener minta maaf, karena waktu itu gue nggak tau harus ngapain, disisi lain gue nggak bisa ngelanjutin hubungan kita, karena gue paling nggak bisa pura-pura. Tapi, bisa nggak, sih lo mikir panjang? Lo tuh keterlaluan sama Juna-" "Dan, bisa nggak, sih lo mikir panjang juga? Lo nggak mikir bakal semalu apa gue waktu itu? Lo juga nggak mikirin resiko apa yang lo ambil waktu lo dengan entengnya mempermalukan gue di depan semua orang? Lo nggak mikir, hm? Lo tau gue tipe orang pendendam, yang bisa ngelakuin apa aja ke orang yang gue mau? Lo nggak pernah kepikiran hal itu?" "Ya udah kalau gitu gue minta maaf, udah berapa kali gue bilang, gue minta maaf. Waktu itu situasinya nggak tepat, Sen! Jadi gue minta maaf," Rinjani menundukkan wajahnya, ekspresinya berubah sayu. Kata maaf yang terucap berulang kali itu justru membuat Arsen berdecih. "Gue tau lo masih punya perasaan sama gue, tapi sorry... gue nggak bisa, bahkan buat sekedar pura-pura gue nggak-" "Diem, b***h!" Rinjani lantas mengangkat wajahnya dengan ekspresi yang sulit terbaca. Menatap Arsen tajam dan tanpa diduga Arsen juga balik menatapnya dengan mata berkilat. Cowok itu menoleh ke sekitar, memastikan tidak ada satu pun orang yang menguping pembicaraan mereka. Barulah dengan berapi-api Arsen memojokkan Rinjani ke dinding. Membuat Rinjani berkedip beberapa kali. "Gue bahkan mikir beberapa kali kenapa bisa gue suka sama cewek murah kaya lo. Sampe gue kadang jijik nginget-nginget kalau gue pernah ngejar dan ngajak balikan waktu itu-" Rinjani mendorong tubuh Arsen hingga ia mundur beberapa langkah. "Jaga mulut lo, ya! b******k!" "Lo pake pelet apa, ya? Sampe bisa-bisanya waktu itu gue ngejar lo segitunya." Arsen geleng-geleng kepala, dan menyeringai sinis. Rinjani mengepalkan tangannya kuat-kuat. Lalu melepas kepalan tangan itu dan gantian mendaratkan satu tamparan perih tepat di pipi kiri Arsen. "Mulut lo, tuh emang bener-bener-" "Makanya! Jadi cewek nggak usah sok. Lo itu anak baru disini. Dan lo juga nggak bisa sembarangan ngelakuin sesuatu sama gue! Ngerti?" Rinjani menarik nafas panjang, menahan seluruh letupan emosi yang sejak tadi ingin diluapkan. Tapi, entah mengapa rasanya sulit setelah Arsen mengeluarkan kalimat-kalimat tajam yang langsung menohok bagian terdalam hatinya. "Ya udah! Bagus kalau lo udah terlanjur nggak suka sama gue. Kita emang lebih baik nggak usah punya hubungan baik! Dan seumur-umur gue bahkan nyesel pernah kenal cowok kaya lo! Brengsek." Tanpa ada aba-aba lagi, Rinjani langsung memutar tubuhnya. Berbalik meninggalkan Arsen disana sampai sebuah tangan menahan Rinjani dan perempuan itu sejenak berhenti. Ia melemparkan tatapan tajam ke arah Arsen. "Lo masih inget kata-kata gue, kan?" Arsen menaikkan kedua alisnya. Namun ekspresi cowok itu terlihat serius. "Gue nggak cuma bakal ngejatohin Juna. Tapi juga orang-orang yang ngelindungin dia." Rinjani menghentakkan tangan Arsen. Tapi justru Arsen mempererat cengkramannya karena ia belum selesai bicara. "Gue juga bakal ngancurin, orang-orang yang dia sayang. Segimana dia ngancurin orang-orang yang gue sayang." "Asal lo tau! Keluarga lo hancur itu bukan salah Juna-" "Gue mau ke kelas," Arsen melepaskan tangannya. Melenggang pergi meninggalkan Rinjani dengan perasaan yang masih tak karuan. Sepanjang koridor, Arsen menata hati dan pikirannya. Menghembuskan nafas berkali-kali dan memantapkan hati bahwa ini adalah tindakan yang paling benar. Tapi ragu itu muncul kembali, antara benci atau sakit hati. Otaknya terus mensugesti; Arsen membenci Rinjani. Iya, Arsen benar-benar membenci Rinjani. Tapi diam-diam Arsen juga masih dapat mendengar, hati kecilnya bersuara pelan; Kalau kebencian itu muncul hanya karena Arsen masih menyimpan rasa sakit hati. *** Rinjani mendorong pintu UKS pelan agar tidak seorang pun terganggu dengan kedatangannya. Ia berjalan melewati tiga ranjang yang ternyata kosong karena tirainya dibiarkan terbuka. Dan hanya ada satu ranjang dengan tirai tertutup. Berarti Juna disana. Rinjani tersenyum penuh arti. Lalu pelan-pelan menyelinap dan tiduran di ranjang ketiga setelah menutup tirainya rapat. Meskipun tidak terlalu yakin bahwa Juna yang ada di sebelah ranjangnya, Rinjani tidak peduli. Perempuan itu menyalakan ponselnya dan membuka chat LINE-nya dengan Juna semalam. Rinjani : masih di uks? Butuh waktu lebih dari lima menit untuk menunggu balasan dari Juna. Rinjani menggapai ujung tirai dan mengintip siapa yang ada di ranjang ke empat ruangan UKS ini. Hanya sekedar memastikan, sih. Benar. Itu Juna. Cowok itu masih tertidur pulas disana. Dengan kaus olah raga almamater yang belum diganti sejak jam pelajaran olah raga. Rinjani kembali merapatkan tirainya. Mengetikkan beberapa kata di ponselnya. Rinjani : beneran masih di uks? Dua menit. Juna : iya. Tanpa Rinjani sadari, gadis itu menarik kedua sudut bibirnya dan tersenyum lebar sambil mengetikkan balasan. Rinjani : letoy bgt si. Kena bola dikit langsung pingsan. Kali ini, sepuluh detik saja Rinjani sudah menerima balasan. Juna : pusing pala Janed. Rinjani : najis nyet. Tiga menit. Hanya ada tanda read saja yang langsung membuat Rinjani geregetan. Perempuan itu mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan jari telunjuk, bosan. Bales dong. Baleesss! . Juna membetulkan posisi bantal di ruangan UKS yang justru membuat kepalanya semakin pusing. Cowok itu akhirnya menggunakannya sebagai penyangga agar punggungnya bisa bersadar ke kepala ranjang. Setelag ragu untuk beberapa detik. Juna akhirnya menyentuh tombol hijau di layar ponselnya sampai nomor yang ia tuju memberikan nada sambung. Dua detik, disaat yang bersamaan dengan terdengarnya nada sambung, Juna mendengar suara ponsel bergetar dari arah yang tidak jauh. Cowok itu semakin yakin setelah suara ponsel yang bergetar itu semakin jelas dari ranjang sebelahnya yang hanya dibatasi oleh tirai putih. Tanpa pikir panjang, Juna menyingkap tirai putih yang biasanya menjadi sekat antara satu ranjang dengan ranjang yang lainnya di ruangan UKS ini. Lalu, Juna mendapati Rinjani dengan ekspresi panik sambil memegang ponselnya. Wajah Rinjani pias, persis seperti maling yang tertangkap basah saat itu juga. Juna mendengus dan segera membatalkan panggilan ke nomor Rinjani karena perempuan itu ternyata ada di dekatnya. Sangat dekat, malah. "Lo disini?!" "I-Iya," Rinjani menelan ludahnya dan berdeham untuk menjernihkan suaranya yang sedikit serak. Ia lalu memasukkan ponselnya ke saku, duduk menyamping agar bisa leluasa memperhatikan Juna karena sekarang tirai putih yang menjadi penghalang obrolan mereka sudah Juna buka lebar-lebar. "Di kelas nggak ada guru soalnya. Dan kayanya habis ini pulang, deh. Kan sekarang jam pelajaran terakhir." "Oh," Jawab Juna seadanya. Cowok itu memiringkan posisi tidurnya ke arah Rinjani meskipun tetap terasa pusing. Tapi, bakal lebih nggak enak kalau seandainya Juna justru tidur memunggungi Rinjani. Oh, doang? Rinjani merutuk dalam hati. Lalu berusaha untuk mencari bahan obrolan lain. Ngomong-ngomong, sejak kapan mereka jadi canggung begini? "Masih pusing?" "Masih." "Terus tadi di UKS ngapain aja?" "Tidurlah, bego." "Nggak minum obat?" "Nggak, ah. Lagian ini bukan pusing karena migran atau apa." Rinjani berdecak. "Arsen emang keterlaluan." Mendengar nama Arsen disebut, Juna melengos. Merubah posisi tidurnya menjadi terlentang, memandangi langit-langit ruangan UKS yang serba putih. Cowok itu memejamkan mata. "Nggak usah diungkit lagi, lah. Males gue dengernya." Rinjani menghela nafas dan memandangi Juna dalam diam. Beberapa detik, matanya menelusuri tiap inchi wajah Juna, entah mengapa saat memejamkan mata, Image gemulai-nya itu seolah hilang tertiup angin. "Lo nggak balik ke kelas?" Juna bersuara, tanpa membuka sama sekali matanya. Membuat Rinjani tersadar dan langsung berkedip. "I-ini mau, kok. Lo nggak langsung pulang aja? Gue tungguin." Juna menggeleng, membuka matanya perlahan. "Duluan, gue masih pengen disini." "Oh, Yaudah." Rinjani mengangguk. Tapi tubuhnya belum juga beranjak sampai Juna kembali menutup matanya. Heningnya ruangan UKS membuat deru nafas beraturan Juna sampai terdengar. Rinjani tersenyum samar, menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga dan mulai menuruni ranjang yang ia duduki. Perempuan itu mendekati Juna, menarik selimut hingga sebatas d**a lalu kembali menutup rapat tirai putihnya. Setelah terdengar suara pintu tertutup, Juna membuka matanya dalam satu detik. Cowok itu menetralkan degup jantungnya yang terdengar sampai telinga dan menghela nafas beberapa kali. Juna memegangi dadanya sendiri, bahkan ia bisa merasakan bagaimana jantungnya berpacu. Ah, ya ampun d**a gue.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN