Arsen keluar dari ruangan BK dengan perasaan campur aduk. Tangannya mengepal, mengindikasikan kalau emosinya sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Baginya mungkin skors lima hari bukanlah sesuatu yang berarti, tapi bagi Juna... ini adalah satu ancaman paling mematikan.
Arsen kira, peringatannya beberapa minggu lalu bisa membuat Juna mengurungkan niat untuk melaporkan keterlibatan Arsen dalam Geng Motor yang belakangan ini menjadi buronan polisi. Namun ternyata, Arsen salah presepsi. Bahkan jauh sebelum Arsen memberi Juna peringatan sore itu, Juna sudah jauh-jauh hari mengirimkan surat laporan dan bukti bahwa Arsen terlibat dalam anggota Geng Motor.
Kabarnya, beberapa anggota Geng Motor tersebut menjadi buronan polisi karena terlibat kasus Begal dan Balap liar. Meskipun Arsen tidak terlibat secara langsung, namun untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, maka pihak sekolah memutuskan untuk menskors Arsen jika ia tidak keluar dari komunitas ilegal tersebut.
Poin pentingnya, pihak sekolah nggak akan semudah itu tahu jika Arsen masuk dalam Geng Motor tersebut kalau bukan dari seseorang. Dan dengan mudahnya, Arsen bisa menduga siapa dalang dibalik ini semua.
Mulut sialan Juna.
Sekaligus, Arsen harus menyiapkan diri untuk menghadapi Papanya malam ini. Karena berita ini akan secepat kilat sampai ketelinga Papanya melalui staf-staf sekolah.
***
Arsen membuka penutup kaleng minuman bersoda dan meneguknya. Yang ia harapkan adalah emosinya bisa segera terminimalisir, namun itu tidak akan pernah terjadi ketika mata elangnya langsung menangkap dua orang yang membuat seluruh tubuhnya panas.
"Lo mau makan apa?"
"Apa aja,"
"Bakso, yuk?! Mantep, nih."
Arsen dapat melihat Juna mengangguk dengan ekspresi yang menurutnya menjijikan. Juga Rinjani yang bersemangat menuju kios Pak Kardi, si penjual bakso.
"Minumnya mau apaan?" Rinjani menolehkan kepalanya ke arah Juna.
"Es campur aja,"
"Sip." Rinjani mengacungkan jempolnya dan meninggalkan Juna di meja kantin paling pojok untuk beberapa saat.
Arsen meneguk minuman bersoda-nya sekali lagi, tanpa peduli dengan efek oksida yang menyerang hidungnya. Mata cowok itu tak pernah teralih sedikit pun dari Juna, persis seperti seekor Singa yang mengintai mangsanya.
Bahkan saat Rinjani kembali ke meja itu sambil membawa dua gelas Es Campur, Arsen tak mengurungkan sedikit pun niatnya untuk tetap menghampiri Juna meskipun ia tahu, kalau Rinjani pasti akan menghalanginya.
Bahkan ia juga bisa menyerang Rinjani sekalian, jika perempuan itu terlalu menyebalkan.
Hal pertama begitu Rinjani melihat kedatangan Arsen, perempuan itu langsung berdiri karena ia tahu sesuatu akan terjadi. Rinjani bahkan selalu ingat, Arsen tidak akan pernah main-main dengan ucapannya.
Seperti dugaannya, cowok itu langsung menumpahkan minuman bersoda yang berupa cola itu ke kepala Juna hingga ia berjengit saking kagetnya. Plus, Arsen melemparkan kaleng kosongnya tepat mengenai kepala Juna dengan mata berkilat. "Anjing lo,"
Belum puas dengan itu, Arsen menarik kerah seragam Juna menggeretnya dan menghempaskan tubuh loyo cowok itu ke meja makan hingga membuat semua penghuni kantin, termasuk para penjaga Kios menoleh ke arah yang sama.
"Udah berapa kali gue bilang berhenti ikut campur urusan gue, anjing!"
Satu tinjuan yang tepat mengenai sudut bibir Juna membuat semua perempuan yang ada disana memekik, termasuk Rinjani yang tepat berada di depan kejadian langsung itu mengepalkan tangan karena gemetaran.
Arsen terus meninjunya di atas meja makan, lalu membanting tubuh Juna ke lantai hingga membuat beberapa kursi berantakan. Juna tidak berani membuka matanya sekalipun untuk menatap wajah Arsen. Yang ia lakukan hanya menghindar, tanpa melawan.
Membiarkan pukulan demi pukulan itu terus mendarat di rahang dan sekitar wajahnya. Karena Juna tahu, Arsen takkan pernah berhenti. Sampai kapan pun, Pola pikir Arsen takkan pernah sejalan dengan pola pikirnya.
Satu tetes air mata itu langsung menetes melewati sudut mata Juna yang bengkak akibat pukulan. Arsen menendangnya dan membenturkan tubuh Juna kebeberapa meja. Sekalipun Arsen tahu, Juna takkan pernah melawannya, Arsen tak pernah berhenti.
Dan yang membuat Rinjani miris; karena tak ada satupun dari mereka yang peduli dengan Arjuna. Mereka justru menjadikan kelemahan Juna sebagai bahan tertawaan. Bahkan mereka semua sama-sama menyadari, bahwa Juna hanya membutuhkan satu orang saja untuk berada disampingnya.
Namun, saat itu juga Rinjani sadar. Bahwa satu orang yang Juna butuhkan saat ini adalah Rinjani sendiri. Satu-satunya orang yang mengulurkan tangan pada Juna sebagai teman.
Tinjuan itu tidak juga berakhir, Arsen membenci segala sesuatu tentang Arjuna. Keberadaannya dan Kelahirannya ke dunia membuat angan-angan Arsen terampas. Sekali saja, Arsen hanya ingin satu permintaan selain Arjuna lenyap dari muka bumi;
Bersikap layaknya bukan siapa-siapa dan tidak saling mengurusi urusan masing-masing. Hanya itu.
"Arsen! Berhenti!" Rinjani nekad masuk ke lingkaran perang dengan segala keberanian yang masih tersisa. Perempuan itu menarik ujung seragam Arsen hingga robek saking kuatnya.
"GUE BILANG! BERHENTI ARSEN!" Rinjani berteriak, hingga tenggorokannya sakit.
Dilepaskannya cengkraman tangan itu dari leher Juna dan membiarkan tubuh Juna tergeletak di lantai. Ketiganya sama-sama tidak peduli dengan puluhan pasang mata yang menjadikan mereka pusat perhatian. Beberapa anak cowok mendengus karena aksi pukul Arsen berakhir, dan anak ceweknya justru tetap disana, beberapa ada yang mencibir Rinjani dengan embel sok berani, dan beberapa lagi masih tetap membekap mulut sendiri karena melihat bagaimana babak belurnya Juna disana.
"Lo mau pukulin dia sampai mampus juga nggak bakal ngembaliin keadaan, b******k!" Rinjani mengangkat dagunya, menantang. Meskipun jauh didalam sana, jantungnya berdegup kencang. "Lo mau Juna kaya gimana supaya lo puas, hah?!"
Arsen tertawa bengis. Atmosfir kantin yang tadinya hangat berubah menjadi sedingin Es. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun kecuali antara Arsen dan Rinjani yang perang verbal. "Eh, diem, ya! Gue nggak punya urusan lagi sama lo! Lo mau gue tonjok juga, atau gimana?!"
Rinjani mendorong d**a Arsen hingga cowok itu mundur selangkah. "Kita emang nggak ada urusan, tapi selama itu berhubungan sama Juna. Itu jadi urusan gue."
Kalimat itu sontak membuat Arsen merenyahkan tawanya. Wajah cowok itu tak terluka sedikit pun karena Juna tak melayangkan tinjunya sebagai perlawanan. "Ah, gue tau... lo kaya gini karena lo suka sama Juna, kan?!"
Deg.
Seisi kantin langsung tertawa. Entah itu menertawai omongan ngawur Arsen atau justru menertawai Rinjani yang bisa-bisanya suka dengan cowok sejenis Arjuna. Rinjani mengepalkan tangannya kuat-kuat meredam segala emosi yang akan sia-sia jika ia buang untuk Arsen.
"Lo semua sekarang liat, kan? Tipe cowok Rinjani itu rendahan. Cowok yang cupu, loyo dan b**o kaya dia! Liat, deh, Bahkan mau sampe gue robek celananya pun dia nggak akan mampu ngelawan! Juna itu nggak lebih dari cowok freak yang udah nggak pantes ada di sekolah lagi! Emang dasar banci, sih, ya?!"
Kali ini tawa yang lebih keras terdengar hingga memecahkan suasana yang tadinya tegang.
"DIEM LO SEMUA! NGGAK ADA YANG NYURUH KJUNAAN KETAWA!" Rinjani berteriak. Ia balas menatap Arsen sengit. "Dan lo, Arsen. Jaga, tuh mulut!"
Rinjani menarik nafas, kata-katanya belum selesai. "Gue nggak bilang kalau gue suka Juna, ya? Dan asal lo tau, yang banci itu elo! Sebenarnya, lo tuh cowok, Tapi mulut sama sikap lo yang emang kaya cewek!" Rinjani tersenyum kecut. "Suka bully sana-sini, tanpa tau, orang yang lo bully itu bisa kapan aja bikin lo mampus! Jadi, kurangin kebanyakan nonton sinetron, biar idup lo nggak mendramatisir."
Arsen mematung. Kata-kata itu nyaris membuatnya skak mat di tempat. Tapi, ia tak kehabisan kata-kata. "Eh! Lo jangan asal—"
"Kalian semua! bubar, bubar!"
Seluruh siswa yang tadinya berkerumun membentuk lingkaran dan menjadikan insiden ini sebagai tontonan otomatis berbalik badan dan kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun ada beberapa yang masih bertahan untuk sekedar mencibir dan melihat kondisi Juna yang mengenaskan.
Ibu Farida, Guru BK yang dikenal killer langsung melotot begitu melihat Juna terkulai dilantai sambil memegangi perutnya. "Astagfirullah, Juna?! Kamu—"
"Maaf, Bu. Hari ini izinin saya bawa Juna pulang ke rumah. Boleh, ya. Bu?" Rinjani buru-buru membantu Juna berdiri. Mengalungkan tangannya ke pundak Rinjani agar Juna bisa berdiri dengan seimbang.
Ibu Farida menimbang sejenak dengan alisnya yang saling bertaut. "T-Tapi, kalian—"
"Saya janji, nggak akan bolos kemana-mana. Saya mau bawa Juna pulang, boleh? Besok Ibu boleh panggil saya sama Juna ke ruangan Ibu. Saya janji,"
Ibu Farida berdecak. "Ya udah, Ya udah. Jangan lupa obatin luka-lukanya, keburu jadi infeksi." Wanita itu menatap Arsen dengan tatapan sengit. "Kamu juga! Kamu itu baru aja keluar dari ruangan saya, sekarang udah buat ulah lagi?! Sini kamu!"
"Ikut ke ruangan saya sekarang!" Arsen hanya menghela nafas panjang dan mengekori Ibu Farida untuk masuk ke ruangan BK, lagi. Dan ia yakin seratus persen kalau hari ini juga wanita itu akan langsung menelfon Papa.
Arsen menatap nanar siluet tubuh Juna yang tergopoh-gopoh berjalan melintasi koridor dengan bantuan Rinjani. Membuat cowok itu mendengus jijik, sialan.
Rinjani tak peduli dengan pandangan prihatin dan aneh. Mereka semua hanya melihat dari sisi yang lain—tidak semua sisi. Rinjani yang tahu, Juna bukanlah sosok yang di katakan orang-orang. Bukan sosok yang selama ini diam saja ketika di caci maki. Ia yakin, ada sosok lain yang bersembunyi di balik sosok feminimnya. Sosok seorang laki-laki yang gentleman, yang lebih dari Arsen dan semua laki-laki yang pernah Rinjani bayangkan.
Rinjani tau. Ada saat dimana nanti Juna menguak semuanya.
Diam-diam Juna merasa sesuatu dalam dirinya hilang. Terbawa angin. Entah itu nyawa-nya, atau justru harga dirinya.
.
.
.
(TBC)