13 : Courage

1687 Kata
Tamparan itu hampir berkali-kali mendarat di pipi Juna. Tapi ia hanya diam, menunduk. Seolah epidermis kulitnya tak menerima rangsangan apapun. Rasa perih itu sama sekali tak terasa. Pikiran Juna melayang entah kemana, ia terlihat memandang dashboard mobil dengan pandangan kosong. Juna merasa semuanya benar-benar gelap. Tak memiliki satu titik cerah, untuknya keluar. Dan ia sendiri menyadari itu, bahwa sejak lahir, takdirnya memang begini. Memiliki segelintir masalah dari mulai yang spele hingga yang benar-benar membuatnya depresi. "Lo bangun, dong! Bangun!" Rinjani menepuk pipinya sekali lagi. Meskipun ia tahu, wajah Juna sudah memar-memar. Perempuan itu terlanjur geregetan melihat Juna yang seolah tak memiliki gairah hidup. "Sampai kapan lo mau kaya gini terus?" Rinjani menyadarkan punggungnya sejenak pada kursi mobil. Menyerah. Di satu sisi, Rinjani merasa ada separuh rasa peduli untuk Juna, tapi di satu sisi, Lama-lama ia sendiri juga kebingungan, bagaimana membuat Juna bisa bangkit. Rasanya kesal, ketika melihat satu orang menindas dan satu orang tertindas. Yang mau tak mau kadang mengingatkan Rinjani pada masa lalu. Karena yang bisa menghentikan mereka semua adalah dirinya sendiri. Juna sendiri. Bukan Rinjani, bukan siapa-siapa. "Liat gue!" Rinjani mencengkram bahu Juna, memutarnya agar mereka bisa saling menghadap. "Lo tuh t***l!" Tapi cowok itu menunduk. Membuat rasa iba itu mencuat lagi, ketika Rinjani melihat bercak darah di kerah seragamnya, memar dimana-mana dan rambutnya yang lengket terkena cola. "Harusnya lo, tuh ngelawan.." Nada suaranya merendah, Rinjani mengangkat lengan Juna, memperlihatkan otot-otot yang selama ini dimilikinya. "Lo nggak sadar, lo bisa balik ngehajar Arsen. Tapi, lo tetep ngerasa kalau lo cewek, yang harus diem aja... Lo salah." Rinjani berjengit. Ketika Juna menepis tangan perempuan itu kasar. "Berhenti buat jadi orang sok bijak. Sumpah, itu jijik banget buat gue!" Juna menahan napas. Memalingkan wajahnya, memperhatikan area parkir yang terlihat tak menarik. Hampir lima belas menit lebih, setelah Rinjani menariknya keluar gedung sekolah. Mereka berdua berdiam diri di dalam mobil Juna. Jujur, Juna tak menyukai itu. Perempuan itu datang seolah seperti pahlawan kesiangan. Datang tiba-tiba, Menampilkan sisi ramahnya, Bertingkah sebagai teman padahal ia adalah lawan. Siapa yang tahu? Membuat Juna ragu, siapa Rinjani sebenarnya, dan dalam rangka apa perempuan itu tiba-tiba mendekatinya? Kenyataannya, setiap orang yang ada di dekatnya, nggak ada satu pun dari mereka yang benar-benar menjadi teman. Tapi, dibalik keraguan itu. Ada sesuatu yang mendorong Juna untuk tetap percaya pada Rinjani. Percaya bahwa perempuan itu bukanlah ilusi. Bukan teman palsu. "Lo harus ke rumah gue." Kata Rinjani, lalu ia mulai menyalakan mesin mobil. "Kenapa ke rumah lo? Kenapa nggak ke rumah gue?" Juna bertanya dengan nada tinggi. "Ya, karena yang deket sini itu rumah gue! Nggak usah banyak ngomong makanya!" Juna melipat kedua tangannya di depan d**a. "Terserah. Lo yang nyetir." "Ya iyalah! Gue yang nyetir! Lo lagi bonyok gini mana bisa nyetir coba?!" "Ya udah nggak usah nyolot!" "Ya udah, gue juga biasa aja!" "Ya ud—" "Udah, diem." Rinjani mengakhiri perdebatan murahan itu dan langsung melanjukan mobil Juna keluar dari halaman parkir sekolah. Selama perjalanan, hening. Sesekali Rinjani mencuri pandang, melihat ke sisi kiri untuk memastikan Juna baik-baik saja. Juna memejamkan matanya sambil melipat kedua tangannya dibawah d**a. Bahkan memar di wajahnya tak membuat cowok itu kehilangan satu persen pun ekspresi manisnya. *** Suara pintu kamar mandi membuat Rinjani mengalihkan  perhatian dari ponselnya. Rinjani langsung merubah posisi tidurannya menjadi duduk disisi ranjang ketika melihat Juna keluar dari kamar mandi dengan rambut basah plus handuk kecil di kepala. Sesampainya di rumah Rinjani, si pemilik rumah langsung menyuruh Juna untuk segera masuk ke kamar mandi sebelum rambutnya benar-benar lengket. Berulang kali Juna merengek karena takut luka lecetnya akan terasa perih begitu terkena air, tapi Rinjani tak peduli dan tetap memaksa cowok itu. Rinjani melemparkan ponselnya ke kasur. Berdiri menghampiri Juna dan mengambil handuk kering untuk membantu mengeringkan rambutnya. Ada adrenalin aneh begitu Juna berada sedekat ini dengan perempuan; Rinjani berjinjit untuk menggapai kepala Juna, menggosok-gosok rambutnya dengan handuk agar cepat kering. Rinjani meraih kepala Juna supaya sedikit menunduk, sehingga Rinjani bisa mencium aroma rambutnya. "Baunya masih nggak enak, ntar begitu sampe rumah, lo keramas lagi, ya?" Juna mengangguk samar. Lalu menatap wajah Rinjani dalam. Ketika pandangan mereka bertemu untuk sepersekian detik, Rinjani menghentikan gerakannya di kepala Juna. "Gue bisa sendiri," Rinjani berkedip. Segera menyerahkan handuk kecil tadi pada Juna. "Oh," "By the way, ada Hairdryer nggak?" Tanya Juna, berusaha mencairkan suasana kembali. "Ish," Rinjani mengacungkan kepalan tangan, seolah mau meninju Juna saat itu juga. "Nggak usah pake yang gituan! ntar juga kering sendiri, kok. Cowok itu kece kalau rambutnya lagi basah." Juna mendengus, lalu mengikuti langkah Rinjani, duduk di sisi ranjang perempuan itu yang di balut dengan seprai cokelat muda bermotif gravity. Sedangkan Rinjani justru dengan santainya tiduran di ranjangnya, dan nggak ada yang tahu, kalau Juna tidak nyaman dengan situasi kamar Rinjani. "Lagi nge-contact siapa?" Tanya Juna, sekedar basa basi, lalu melilit handuknya di kepala, layaknya cewek yang sedang nunggu giliran potong rambut di salon. Rinjani menatap Juna sekilas. "Nge-LINE si Tara buat nganterin tas gue sama lo kesini," Juna baru tersadar akan sesuatu, kalau mereka pulang tanpa membawa sesuatu kecuali nyawa dan tubuh sendiri. "Lo deket sama Tara?" Rinjani mengangguk, lalu kembali bangkit dari kasur dan berdiri untuk kedua kalinya. Aneh, mendadak kasurnya menjadi tidak nyaman untuk ditiduri. "Tara, satu-satunya temen cewek yang akrab sama gue. Lo emang nggak akrab sama dia?" "Dikit, sih." "Sini, deh," Rinjani berjalan, mendekati pintu kaca dan menggesernya supaya terbuka. Ajaib, dan Juna berani bertaruh kalau dia bakalan betah dirumah kalau kamarnya di desain senyaman ini. Kamar Rinjani nggak bisa dibilang mewah juga, sih. Cuma, desainnya yang minimalis mungkin membuat kamar Rinjani terkesan elegan. Kamar dengan nuansa cokelat tanah dipadukan dengan warna netral; putih. Lantainya terbuat dari kayu, dindingnya tidak terlalu banyak ditempeli ornamen-ornamen dan sebagian besar dibiarkan putih polos kecuali dihiasi oleh figura foto koleksi Rinjani sendiri dan beberapa poster band favoritnya. Yang menarik, Dinding sebelah kirinya terbuat dari kaca, menerawang langsung ke sisi kolam renang berukuran sendang. Airnya jernih, sisi sekitarnya ditumbuhi rumput pendek dan pasti mendukung banget buat sekedar santai disini. Ayahnya sendiri yang mendesain ruangan Rinjani, sengaja langsung di hubungkan ke Kolam renang karena seminggu sekali, Rinjani melakukan olah raga air. "Lo suka renang emang?" Rinjani mengangguk bangga. "Iya, gue anak air!" "Duduk, sini!" Perempuan itu melambaikan tangannya, membuat Juna mengekori langkah Rinjani yang kini mulai duduk di pinggir kolam dengan lutut yang sudah tenggelam oleh air. "Biar rambut lo cepet kering." Sebelum ikut bergabung, Juna menggulung celana seragam abu-abunya sampai lutut dan membuka lilitan handuk yang tadi ada di kepala. Lalu mulai mencelupkan kakinya ke dalam kolam. Merasakan sensasi dingin di tengah terik matahari pukul dua siang. "Anjir. Seger banget, demi apa!" "Nggak usah Alay!" Juna nyengir. "Hehe." Hampir beberapa menit terjadi keheningan di antara mereka. Atmosfer yang melingkupi mendadak berubah menjadi gugup, meskipun mereka sering ngobrol di luar jam sekolah. "Gue boleh ngomong sama lo?" Rinjani mulai bersuara. "Ngomong aja," Awalnya Rinjani ragu. Tapi, rasa penasaran itu sudah terlanjur menggelitik pikirannya untuk terus menggali lebih dalam sosok Juna. Rinjani menunggu dua detik sebelum mengutarakan pertanyaan itu, mengayunkan kakinya di dalam air. "Lo... kapan mau kaya gini terus?" Hening. Juna tak menjawab. Apalagi bersuara. Atau berusaha melihat wajahnya. Saat itu juga, Rinjani mengatupkan mulutnya. "Eh? Gue salah ngomong, ya?" "Nggak," Juna menolehkan kepalanya. Menatap Rinjani dengan ekspresi yang sulit di artikan. Ia tersenyum, tapi Rinjani nggak ngerti maksud dari senyum itu. "Lo nggak salah ngomong, kok. Mungkin lo juga salah satu orang yang mulai nganggap gue aneh, ya?" Rinjani menghela nafas. Masih mengayunkan kaki-kakinya di bawah air. "Nggak, kok. Cuma.. gue bingung, mungkin gue bisa ngehargain tingkah feminim lo. Tapi, apa lo tetep diem aja meskipun Arsen bakal berulang kali ngehajar lo?" Juna terdiam. Masih berusaha menyimak pertanyaan yang ia ajukan. Juga, Juna ingin mengukur, seberapa dalam Rinjani penasaran terhadap sosoknya. Rinjani berdecak. "Maksud gue, tuh ya.. lo nggak harus diem aja waktu lo di bully, di palakin, di pukulin. Seenggaknya, lo punya jiwa cowok buat balik ngelawan dia. Gue sendiri sebagai cewek pun pasti bakal punya naluri buat ngelawan Arsen. Gue tau, Arsen tipikal orang yang nggak akan pernah mau berhenti, sebelum dia dikalahin sama orang lain." Juna tertawa. Membuat Rinjani mendengus kesal. Beneran, deh. Kali ini Rinjani sedang ingin serius. "Tapi sayangnya gue nggak punya naluri itu." "Juna—" "Stop!" Juna menunjukkan lima jarinya di depan wajah Rinjani, bermaksud agar perempuan itu mendengarkannya sejenak. "Yang gue rasain, nih ya.. gue itu cewek yang  harus kalem ngehadepin cowok kaya Arsen. Ya mungkin lo bener, sih.. kadang gue juga kesel kalau Arsen udah keterlaluan. Tapi, dari yang gue liat di sinetron, kalau ada cowok yang ngeganggu cewek itu tandanya dia suka—" "Segitu ter-obsesinya, ya lo sama cewek?" Juna benar-benar tidak menganggap topik ini serius. Buktinya, ia masih menanggapi pembicaraan canggung ini dengan santainya. Singkat kata, Juna mengangguk. Dari yang Rinjani amati selama ini. Juna bukanlah tipe orang pendendam. Beberapa saat ketika Juna emosi dan kehilangan kendali, beberapa saat kemudian juga, dengan mudahnya cowok itu bisa mendapatkan tawa. Entahlah, Rinjani nggak ngerti, Juna menganggap semuanya berat dan enteng di waktu yang bersamaan. Kini, Juna mengangkat kakinya naik ke atas lantai kolam. Jari-jarinya mulai merekah karena terlalu lama berendam. Cowok itu akhirnya menekuk lututnya dan memandangi Rinjani yang masih betah merendam kakinya. "Sekarang gantian, gue mau nanya," "Nanya apa?" "Hmm," Juna memandangi sekitar, sambil berpikir tentang pertanyaan seperti apa yang ia ingin ajukan pada seorang perempuan. Mungkin aja, ada salah satu hal yang ia lewatkan tentang perempuan. Selama ini, Juna mengetahui fakta unik perempuan hanya lewat internet dan buku-buku saja. "Menstruasi itu.. rasanya gimana, sih?" Rinjani tergelak. "Hah? Gi-gimana?" Juna merubah posisi duduknya menjadi bersila. "Iya, Menstruasi itu.. rasanya gimana?" Tak ada rasa canggung atau malu ketika secara frontal Rinjani menceritakan semuanya. Sekedar sharing dan mungkin dengan hal-hal seperti ini ia akan lebih dekat dengan cowok itu. "Ngilu, apalagi kalau di hari pertama itu banyak banget. Gue paling males, soalnya itu ngerepotin." Juna bergidik. Meskipun wajahnya bonyok abis, tapi ekspresi polosnya tetap kentara. "Emang nggak sakit, ya? Kan keluarnya darah. Lo nggak ngerasa kebunuh apa?" "Nggak separah itu, sih. Darah yang keluar itu, kan darah kotor. Yang bikin sakit itu di daerah perutnya, cuma mules tapi bukan mules kaya kebelet buang air, lebih ke ngilu gitu. Dan lo tau apa? Kalau cewek lagi Menstruasi itu nggak boleh di ganggu!" "Kenapa?" "Mereka sensitif, gampang baper, gampang marah-marah juga. Yang paling nyebelin, kalau lagi menstruasi itu harus duduk kalem. Nggak boleh banyak tingkah, ntar kemana-mana. Tapi, kalau duduk juga harus senyaman mungkin, kadang gue pernah sampe guling-guling di kasur karena nggak bisa nemuin zona nyaman. Serba nggak enak, deh." Juna mengangguk-ngangguk. "Perempuan hebat, ya? Itu salah satu alasan kenapa gue pengen kaya perempuan. Mereka hebat!" Rinjani tersenyum. "Lo nggak harus jadi perempuan buat dipandang hebat. Cowok juga punya cara sendiri biar keliatan hebat." "Iya juga, sih.." Juna mengangguk lagi. "Eh, tapi yaa.. gue malah nggak pernah ngerasain sakit yang kaya lo rasain pas menstruasi—" "Lo lupa? Lo, kan cowok!" Ah. Juna terdiam. Menghela nafas, lalu pada akhirnya ia tertawa hambar. Seolah ia kecewa menyadari sebuah fakta. "Eh, Iya, ya?" Dari sorot matanya, Rinjani melihat kekecewaan itu. Tapi, itu sangat nggak wajar untuk mengecewakan sesuatu yang sudah menjadi takdir. "Lo kenapa?" Juna mengerjap. "Nggak, kok. Nggak papa." "Lo mau liat koleksi cat kuku gue nggak?" Saat itu juga Rinjani tau, bagaimana cara mengembalikan mood Juna. Meskipun cara tersebut malah menjauhkan potensi bahwa Juna bisa kembali seperti seorang laki-laki. . . . (TBC)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN