14 : Ragu

1474 Kata
Rinjani menarik sebuah kotak kayu—seukuran kotak sepatu—dari dalam lacinya. Berisi puluhan cat kuku warna-warni koleksinya, botol cairan pembersih dan alat-alat lain untuk perawatan kuku. Jujur saja, baru-baru ini Rinjani mulai menyukai kreasi seni untuk kuku tangan dan kaki. Dulu, perempuan itu tak begitu memperhatikan bagaimana rupa kukunya. Mereka duduk di atas kasur empuk. Rinjani membiarkan Juna memegangi tangannya agar cowok itu bisa dengan leluasa berkreasi dengan kukunya. "Lo suka pake cat kuku?" Juna mengangguk. Ia mulai memulas kuku jari telujuk milik Rinjani dengan warna ungu pucat. "Pernah. Tapi, langsung buru-buru gue hapus sebelum bokap gue tau." "Kalau suatu saat nanti.. bokap lo tau tentang kelakuan lo, gimana?" "Dia udah tau, kok kelakuan gue yang kaya gini," Juna mengangkat bahu. Lalu mencelupkan kuas kecil ke dalam botol cat kuku untuk mewarnai jari selanjutnya. "Gue juga di tampar, di hina, di bilang anak cowok nggak guna, lah. Yang katanya udah lahir dari rahim p*****r, terus malu-maluin keluarga karena lekong dan Gitu-gitu, deh." "Darimana Bokap lo tau? Terus, lo pernah bilang, bokap gue tau, tapi nggak peduli." Rinjani memperagakan bagaimana Juna berbicara beberapa waktu lalu. "Gue udah pernah cerita belum, sih? Kalau Arsen itu..." Juna mengangtungkan kalimatnya, ia menatap Rinjani sejenak dengan tatapan sarat akan keraguan. Tapi Rinjani kemudian memiringkan kepala dan tersenyum. "Lo nggak cerita, tapi Arsen yang cerita, Gue udah tau, bahkan sebelum lo cerita tentang latar belakang lo sendiri. Sorry, gue nggak maksud, kok." Diam-diam Juna ingin mengepalkan tangannya. Merasa malu, entah karena apa. "Gi-Gimana? Arsen yang cerita? S-Segampang itu? Maksud gue, I-Itu, tuh menurut Arsen aib paling besar yang dia tutup rapet-rapet dari kecil, dan sekarang?" Dengan begitu, Rinjani menghembuskan nafas kasar. "Gue juga ngerasa bersalah, kadang-kadang. Karena Arsen pernah ngasih gue kepercayaan. Gue yakin, curhatan tentang keluarga itu nggak bisa sembarang orang ceritain." "Akhirnya lo tau juga, kan? Alesan yang lebih logis kenapa Arsen segitunya sama gue?" Rinjani mengangguk samar. "Tapi tetep aja, itu keterlaluan menurut gue," "Arsen yang kasih tau kelakuan gue di sekolah sama Bokap. Sering video-in gue kalau lagi joget di kelas waktu SMP, dan poin pentingnya, Bokap gue juga pernah liat gue langsung pas lagi nyoba main kosmetik, terus gue digampar, deh. Lucu, ya?" "Dulu lo suka dandan emang?" "Pernah nyoba, tapi sekarang nggak lagi." Rinjani diam sejenak, membayangkan kira-kira pertanyaan apa lagi yang harus diutarakan untuk mengisi kekosongan diantara mereka. "Apa lo.. benci sama gue?" Juna mendongak. Menatap Rinjani untuk beberapa detik, lalu menggeleng. "Jangan ngomongin sesuatu yang serius, Please. Gue lagi nggak mood." Rinjani mengangguk, mengerti. Lagipula, Juna seringkali heran mengapa perempuan itu kerap menanyakan hal-hal canggung. Selanjutnya tak ada kalimat diantara mereka. Perempuan itu terus menancapkan pandangannya pada Juna yang terlihat telaten saat mewarnai kuku-nya. Bagaimana pun juga, di mata Rinjani, Juna adalah seorang laki-laki. Oke. Ia akui. Juna ganteng, banget. Hanya saja, banyak orang memandangnya sebelah mata karena tingkah feminimnya. Juna tetap laki-laki, bagaimanapun cowok itu mengingkari fakta. Rinjani dapat merasakan bagaimana tangan Juna yang kasar saat memegangi tangannya seperti sekarang. Jari-jarinya yang panjang dan tegas tetap menunjukkan bagaimana secara fisik Juna adalah seorang laki-laki. "Kenapa ngeliatin gue?" Rinjani berkedip, begitu menyadari bahwa pandangan mereka bertemu. Juna lalu mengalihkan perhatiannya dan mulai fokus kembali pada acara mengecat kuku perempuan di depannya. "Tangan kiri lo, mana?" Rinjani menurut, dan mulai memberikan tangan yang satunya. Perempuan itu memandangi jari tangan kanannya yang sudah di poles. Sederhana. Tapi menarik. "Lo jago juga, ya?" Tapi Juna tak menjawab. Entah respon umum bagi orang yang merasa di puji atau emang Juna sedang mengabaikannya. Biasanya gitu, kan? Kalau orang sedang di puji, mereka selalu memberikan respon aneh-aneh. Pura-pura tak mendengar, salah satunya. Juna sudah berusaha mengendalikan diri. Menetralkan detak jantungnya yang mulai terasa sampai telinga saking kerasnya. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Ini kali pertama untuknya memegang tangan seorang perempuan. Kenapa rasanya beda? Padahal, waktu di Panti Asuhan dulu, Juna sering banget main kutek dengan teman-teman perempuannya. "Kadang... gue benci sama lo, sih." Juna mulai bersuara, tanpa mengalihkan fokus kegiatannya. Jawaban itu, yang sejak tadi Rinjani tunggu-tunggu. "Kenapa?" "Aneh aja, kenapa lo pengen sedeket ini sama gue? Kan... pantes dicurigain?" Juna melepaskan tangan Rinjani. Memilih menyudahi aktivitasnya. Padahal tersisa jari manis dan jari kelingking yang belum selesai. "Atau jangan-jangan, lo suruhan Arsen juga? Lo sama Arsen udah deket dari dulu?" Rinjani tertawa. Kesimpulan yang Juna ambil terkesan seperti tuduhan dalam sebuah kasus. "Astaga. Jadi, selama ini lo pikir gue stranger?" "Bisa jadi," Juna memalingkan wajahnya. Dan ini sebenarnya situasi yang nggak Juna harapkan. Entah mengapa, ragu itu muncul berulang kali, lalu kemudian hilang, dan muncul lagi. Juna benci keraguan itu. Ragu itu sebenernya nggak pasti. Rinjani bertopang dagu, memiringkan kepalanya untuk menatap Juna lamat-lamat. "Lo nyadar nggak, sih? Lo, tuh unik." "Unik atau aneh? Itu sama aja, kan?" Rinjani menarik tangan Juna, meremasnya agar lebih meyakinkan cowok itu bahwa mereka adalah teman. "Asal lo tau, pertama kali gue pindah ke sekolah itu, lo adalah orang pertamanya yang menarik perhatian gue. Lo satu-satunya cowok yang paling menonjol karena sering ngaca di kelas, sampe gue pengen banget ngajak ngobrol lo untuk kali pertama. Dan sesuai fakta, lo emang beneran asik, persis seperti yang gue kira." Untuk beberapa saat. Juna terdiam, seperti di pukul mundur ke beberapa bulan yang lalu. Saat dimana seorang perempuan dengan rambut hitam lurus yang terurai sampai bahu masuk ke kelasnya. Murid baru, dari kota sebelah. Perempuan yang diam-diam selalu memperhatikannya. Perempuan yang selalu tersenyum, meskipun Juna tak pernah membalasnya dan Perempuan yang selalu peduli, meskipun Juna sendiri mengabaikannya. Pertama, menurut Juna semuanya atas dasar rasa tulus. Hingga perlahan, Juna mulai terbiasa dengan sapaan hangat perempuan itu di kantin, kelas dan luar sekolah. Tapi, image tulus itu perlahan pudar, begitu Juna tau.. sebulan setelah kedatangannya, Rinjani menjadi trending topic sekolah perihal statusnya yang langsung menjadi pacar Arsen. Saat itu juga, entah kenapa, Juna berpikir bahwa antara Rinjani dan Arsen sama saja. Semua orang di sekitar Arsen adalah orang-orang yang hanya membawa pengaruh buruk baginya. Tapi, sekuat apapun pikirannya memaksa bahwa Rinjani juga orang yang sama dengan cowok beringas itu, Hatinya selalu berkata, bahwa Rinjani berbeda. Selama ini, sudah berulang kali Juna menjauhi perempuan itu. Pada akhirnya, mereka kembali dekat. Kembali berteman. Dan Rinjani yang selalu memulai untuk mengulurkan tangan. "Juna?" Rinjani melambaikan tangannya di depan wajah Juna. Cowok itu langsung berkedip dan menatapnya bingung. "Lo percaya, kan?" Percaya? Percaya untuk apa? Percaya bahwa Rinjani adalah teman? atau justru percaya bahwa Rinjani adalah lawan? "Nggak tau." "Kita temen, Jun. Lo harus percaya sama gue. Bahkan kalau gue harus yakinin lo sampe ratusan kali," Juna dapat merasakan, bagaimana hangatnya tangan perempuan itu saat semakin kuat menggenggam tangannya. *** "Hei, Hei.. kita liat, siapa yang dateng pagi-pagi gini?" Juna langsung melangkah mundur, bersembunyi di balik tubuh Rinjani. Niat mereka datang pagi-pagi agar bisa ke kelas bersama-sama ternyata tak seperti yang di harapkan. Arsen ternyata bisa lebih pagi berada di sekolah. Perkiraan Juna ternyata meleset. "Minggir," Arsen berdecih. Lalu memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Kayanya dunia udah ke balik, ya? Bukannya cowok harusnya ada di depan cewek, ya? Kok lo ada disitu, sih? Kaya curut banget badan lo." Juna semakin meringkuk di balik tubuh perempuan yang lebih pendek beberapa senti darinya. Sedangkan Rinjani terus menahan Juna di belakanganya, agar Arsen tak menyentuh Juna sama sekali. "Tumben sendirian? Mana temen-temen lo? Biasanya lo main keroyokan, kan?" Arsen tertawa. Ia tak akan pernah berhenti untuk menghalangi jalan mereka sekalipun harus cekcok di tengah koridor seperti sekarang. "Gue nggak harus bawa banyak temen buat ngehadapin dua cewek lembek kaya kalian." "Lo lupa? Juna cowok!" Beberapa detik. Arsen tak kuat lagi menahan tawanya hingga cowok itu terbahak sambil memegangi perut saking gelinya. "Haha. Dia? Cowok?" Arsen memiringkan senyumnya, ia hampir bisa menarik tubuh Juna yang terus bersembunyi itu kalau saja perempuan ini tak menghalanginya. "Jangan pegang dia!" Deg. Kini, gantian Rinjani yang mulai bergetar. Senyum Arsen terlalu ambigu, selangkah demi selangkah cowok beringas itu mulai membuatnya mundur. Termasuk Juna yang makin erat memegang tas yang ada di punggung Rinjani. Tangan Arsen mulai menangkup pipi Rinjani, hampir menariknya mendekat. "Kalau gitu, gue boleh pegang lo, kan?" . . . . . "b******k!" Entah ada dorongan dari mana, tiba-tiba Juna melemparkan tas berwarna ungu yang sering ia sampirkan di bahu ke kepala Arsen. Arsen langsung memegangi kepalanya yang cukup pening. Tas tersebut cukup berisi dan membuat kepalanya seakan di hantam batu. Berisi kurang lebih buku-buku tebal yang sering Juna bawa. Dan kini semua isi tas itu berserakan di lantai. "Sialan!" Tanpa memperdulikan barang-barangnya, Juna langsung menarik tangan Rinjani. Berlari secepat mungkin di sepanjang koridor yang masih sepi saat pagi hari. Keduanya sama-sama berlari, saling bergandeng tangan agar tak ada yang saling tertinggal. Dan.. diam-diam senyum di wajah Rinjani merekah. *** "Stop! Stop! Gue capek!" Juna menghela nafas, masih berusaha untuk menstabilkan hembusan nafas yang menderu. Cowok itu memegang lututnya yang masih mati rasa karena saking cepatnya berlari. Rinjani mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat. Mereka berhenti berlari ketika sampai di taman belakang sekolah. Rinjani mengerutkan dahinya. Melihat tangan Juna yang gemetar. Perempuan itu menarik dan menggenggam tangannya. "Tangan lo? Kenapa?" "Hh?" Juna masih terlalu kaku untuk menjawab, yang pasti ada naluri aneh bercampur rasa takut ketika secara reflek ia melempar tas-nya ke wajah Arsen. "Ng-nggak tau." Rinjani mengusapnya lembut, menggenggamnya erat. "Lo nggak papa? Lo kayanya panik banget." "A-apa lo yakin, setelah ini gue nggak bakal kenapa-napa? Lo liat, kan? T-tadi gue ngapain?" Ah. Rinjani mengerti. Juna ketakutan. Perempuan itu tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Nggak papa." "Arsen p-pasti bakal ngabisin gue. G-gimana, dong?" Bayangan tentang Arsen yang akan membuatnya lebih terpuruk, atau yang lebih parahnya, bayangan tentang Arsen yang akan membunhnya melintas di benak Juna. Pelan-pelan, Rinjani berjinjit, meraih pundak Juna yang lebih tinggi darinya itu agar bisa ia peluk. Rinjani menepuk punggungnya lembut. "Nggak papa, lo udah ngelakuin hal yang bener. Semuanya bakal baik-baik aja." Degupan jantung itu muncul lagi. Bukan. Bukan karena rasa takut akan bayang-bayang Arsen yang nantinya mungkin semakin brutal terhadapnya. Sesuatu yang membuatnya tenang ada di setiap detakan jantung yang ia rasakan. Setidaknya, sekarang Rinjani tau. Naluri itu mulai tumbuh dari dalam diri Juna. Naluri untuk melindungi seorang perempuan, juga untuk melindungi diri sendiri. . . . (TBC)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN