15 : Unclear Feelings

1467 Kata
Hari ini, Kantin sedikit lenggang. Tidak terlalu sesak seperti jam istirahat pertama. Sekitar pukul setengah dua siang bel istirahat kedua berbunyi, membuat Rinjani menghela nafas dan meletakan pulpennya di kotak pensil. Ia melirik ke arah Arsen, sebentar. Cowok itu masih duduk tegap di sebelahnya dengan kedua tangan terlipat dan kepala di tolehkan ke arah bangku paling pojok. Lebih tepatnya, ke bangku yang duduki oleh Arjuna. "Kenapa, sih?" Rinjani menegur Arsen, risih. "Masih dendam sama dia soal tadi pagi?" "Bukan urusan lo," Arsen memalingkan wajahnya dengan tatapan setajam pisau. Cowok itu balik membereskan buku-bukunya yang berantakan di meja. Rinjani hanya menarik nafas panjang, dan mengitari beberapa bangku untuk menghampiri bangku Juna. Perempuan itu membantu Juna merapikan buku-bukunya dan memasukannya ke dalam tas. "Kantin, yuk?" Juna melirik Arsen sekilas, untuk beberapa detik ia bisa terhindar dari tatapan tajam Arsen sejak pagi tadi. "Ng—" "Kenapa, sih? Arsen?" Rinjani mengikuti arah pandang Juna dan tepat karena Arsen menatap mereka berdua dengan tatapan yang tajam seperti menyimpan sesuatu di baliknya. "Udah, nggak usah takut. Ayo!" Ketika mereka berdua melenggang keluar kelas, Arjuna sadar, kalau Arsen mengikuti mereka juga. Arjuna pun juga sadar, kalau sesuatu akan terjadi detik ini juga. Ia selalu ingat, Arsen tidak pernah main-main dengan kata-katanya. *** "Ngomong-ngomong, tadi pagi lo berani banget! Gue sampe nggak nyangka kalau lo bakal berani banting tas ke muka Arsen!" Rinjani setengah berteriak, memaksa agar perhatian seluruh kantin terfokus kearah mereka. "Terusin aja! Biar Arsen tau, kalau lo juga berani sama dia!" "Apa, sih Rin..." Juna menggumam, mencubit lengan Rinjani pelan dan menunduk untuk menghindari tatapan seluruh mata yang tertuju ke arahnya. "Sampe kapan, pun Juna tetep Juna. Banci, ya tetep banci juga!" Suara itu. Membuat Rinjani yang tadi tersenyum puas langsung memudarkan senyumnya. Juna sudah menduga, kalau Arsen akan ada disini untuk membalas secuil perlawanan Juna. Karena ia tahu, kalau Arsen takkan pernah membiarkan Juna berontak barang sedikit pun. "Kok tiba-tiba disini?" Rinjani mengerutkan dahinya. Bertanya pada Arsen dengan intonasi biasa. "Gue punya urusan," Bersamaan dengan itu, satu pukulan telak mengenai sudut mata Juna hingga memperlihatkan daerah kebiruan yang membekas. Lagi-lagi, suara gedubrak yang besar membuat seluruh perhatian kantin tertuju pada mereka berdua. Tapi kali ini Rinjani tak tinggal diam, Ia menarik baju Arsen agar berhenti dan mendorongnya hingga terus mundur beberapa langkah. "Lo tuh nyadar nggak, sih?! Hal yang lo lakuin itu terlalu sepele!!" "Diem, ini urusan gue!" Arsen mendorong tubuh Rinjani untuk menyingkir, tapi Rinjani masih tetap berdiri di tempatnya. "Lo tuh nyadar nggak, sih?! Hal yang lo lakuin itu terlalu sepele!!" "LO BISA MINGGIR NGGAK, SIH! INI URUSAN GUE SAMA DIA!" "Dia temen gue, jadi gue juga berhak ikut campur." "Nggak usah lebay!" "Lo yang lebay, dude!" Rinjani berseru dengan seringaian remeh di wajahnya. "Juna cuma nampar muka lo pake tas, reaksi lo kaya gini?! Lebay banget, sih lo?" "Eh, lo itu—" "Rinjani, udah," Arsen yang belum menuntaskan kalimatnya, terpaksa mengatupkan mulut. Dengan sedikit tergopoh dan memegangi pelipisnya, Juna memegang lengan Rinjani. "Anter gue ke UKS." Rinjani menyingkirkan tangan Juna, pelan. "Nggak. Urusan gue sama dia belum sele—" "Udah, Ayo! Keburu Ibu Farida kesini!" Juna berbisik keras. "Kali-kali! Cowok tengil kaya dia emang harus di kasih pelaj—" "Udahlah... Rin..." Juna semakin erat mencengkram lengan Rinjani agar mundur. Tak jauh berbeda dengan respon sebelumnya, ia hanya menyikut lengannya agar cengkraman tangan Juna terlepas. "Diem," "Eh! Inget ya! Gue peringatin sama—" Buru-buru, Juna merangkul leher Rinjani, mengapitnya di lengan dan menyeret perempuan itu keluar dari pusat perhatian. Rinjani masih terus melotot, bahkan dari kejauhan ia masih terus mengumpat dan menunjuk-nunjuk wajah Arsen. "Awas, ya lo! b******k!" Dan Arsen takkan pernah menggap peringatan itu sebagai hal yang serius. Baginya, Juna dan Rinjani tak lebih besar dari kotoran yang terselip di kuku kakinya. Kecil, cetek, dan menjijikan. *** "Lepas! Lepas! Ah! Apaan, sih lo! Nggak asik!" Rinjani menggerutu, lalu berusaha melepaskan lehernya dari lengan Juna yang terasa mencekik. "Ya, lagian lo ngapain—" "Ngapain?" Rinjani membulatkan matanya, menarik nafas dan berharap ia masih memiliki kadar kesabaran yang tersisa. "Justru lo yang ngapain?! Kenapa lo diem aja waktu dia nonjok lo? Kenapa lo nggak ngelakuin hal kaya tadi pagi? Sebenernya disini, tuh emang lo yang b**o atau—" "GUE NGGAK BISA!" Juna berteriak. Juna merasakan adrenalin yang kuat begitu ia berteriak untuk kali pertama dalam hidupnya pada seorang perempuan. Rinjani tidak dapat bergerak, statis. Seluruh syarafnya terkunci, kecuali ia hanya berkedip begitu Juna berteriak di wajahnya. "Lo tau gue nggak bisa?! Jadi nggak usah maksa! Lo mau temenan sama gue?! Jadi terima gue apa adanya! Gue emang kaya gini, Gue emang banci! Puas?!" Setelah kata-kata terakhir itu, Juna membuka pintu UKS dimana mereka berdiri saat ini. Meninggalkan Rinjani yang masih mematung dengan sel-sel otak yang tak kunjung terkoneksi. Dua detik setelahnya, Rinjani menghela nafas dari mulutnya. "A-Apaan, tadi? G-Gue di bentak? Oh My..." *** Arsen menaruh bokongnya di sebuah kursi besi, menoleh ke sekitar sebelum merogoh sebungkus rokok dari dalam sakunya. Cowok itu mengapitnya di sudut bibir sebelum menyalakan api dan membakar tembakaunya. Satu hisapan dan satu hembusan asap yang keluar dari mulut dan hidungnya langsung membuat Arsen menyandarkan punggungnya ke kursi, berharap menemukan ketenangan yang bisa memberikan sedikit efek rileks. "Lo tuh nyadar nggak, sih?! Hal yang lo lakuin itu terlalu sepele!!" "Lo tuh nyadar nggak, sih?! Hal yang lo lakuin itu terlalu sepele!!" Kalimat demi kalimat yang Rinjani teriakan di wajahnya masih terngiang di benak Arsen seperti kaset rusak. Kadang, beberapa kali Arsen sering menganggap semua yang ada dalam hidupnya sia-sia. Rasanya, Arsen nggak punya gairah hidup lagi. Semuanya hambar, tak berasa. Beberapa kali juga Arsen pernah mengakui, kalau yang ia lakukan terhadap Juna hanya untuk melampiaskan emosi yang selama ini terpendam. Karena ia tahu, sampai Juna mati di tangannya pun, itu takkan merubah apa-apa. Kehangatan yang ia cari takkan pernah kembali. "Anjrit," Arsen berdecak dan menatap perempuan yang seenak jidat menepis puntung rokoknya hingga jatuh ke tanah itu dengan tatapan tajam. Sungguh, kadar emosi dalam dirinya belum sepenuhnya ternetralisir. Tara, namanya. Perempuan itu menginjak puntung rokok tadi dan menggilasnya dengan sepatu hingga tembakaunya hancur. Ia kemudian tersenyum masam ke arah Arsen dan duduk di sebelahnya dengan ekspresi tanpa dosa. Arsen menatap Tara tajam. "Kesurupan lo?!" Tara menoleh ke arah Arsen sembari tersenyum tipis. "Gue kasih tau, ya. Juna itu bukan orang yang pantes  buat lo cemburuin." "Lo nggak tau, jadi nggak usah sok tau—" "Rinjani udah milih Juna, jadi lo harusnya terima. Mau segimana lo maksa Rinjani buat suka sama Lo, itu nggak akan bisa, Sen. Karena disini bukan Juna yang milih buat disukain Rinjani. Tapi, Rinjani sendiri yang milih buat suka sama Juna," "Ini bukan soal perasaan lagi, Ra. Lo nggak usah sok tau." Arsen memalingkan wajahnya, menghindari tatapan mata almond milik Tara. "Lo masih ngelibatin perasaan lo, Sen. Disini poinnya lo dendam sama Rinjani, lo masih sakit hati sama dia, itu sebabnya juga lo nggak akan mau berhenti buat ganggu Juna. Karena Arjuna itu alasan kenapa sikap Rinjani kayak gitu sama lo. Dia udah punya perasaan duluan sama Juna. Gue tau, lo nggak bisa bales dendam sama Rinjani, makanya lo nyerang Juna," Hipotesa yang sedemikian rupa dirangkai oleh Tara membuat Arsen bungkam. Perempuan dengan rambut cokelat bergelombang sampai bahu itu menekan bahu Arsen agar bisa saling berhadapan. "Gue tau lo, Sen. Gue juga tau Juna. Kita satu SMP, dan gue ngerti segimana bencinya lo sama Juna. Lo lupa? Dulu, orang pertama yang lo curhatin itu gue. Tapi sekarang lo berubah, lo lebih milih mendem semua sendirian dan ngelampiasin langsung ke orangnya. Itu salah, caranya nggak gitu—" "Jadi sekarang lo juga ikutan belain Juna?! Terus aja, biarin semua orang ngebelain anak sialan itu!" "Eh, Denger, ya! Ini di luar masalah keluarga lo, Sen. Lo sendiri yang bilang dari dulu pengen anggep Juna orang asing. Tapi yang gue liat, dari SMP sampai SMA, lo yang selalu mulai duluan buat nyerang Juna. Gimana, sih?" Arsen diam. Menatap Tara untuk beberapa detik sampai pada akhirnya cowok itu bangkit dari kursi dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Udah, ah. Capek gue dengernya!" Saat Arsen melenggang pergi, Tara diam-diam tersenyum kecut dan kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. Ini yang nggak pernah hilang dari diri lo, Sen. Kekanakan, Lebay, Dramatis, dan nggak berpikir panjang. *** Rinjani memantapkan hatinya sebelum memutar knop pintu UKS. Kedua tangannya memegang sebuah mangkuk alumunium berukuran sedang yang isinya dua buah batu es yang perlahan akan mencair jika Rinjani terus saja berdiri di depan pintu. Sepuluh menit, akhirnya Rinjani membuka pintu setelah berperang mental. Kakinya menyurusi tiap ranjang yang tirainya dibiarkan terbuka. Pasti Juna ada di tempat yang sama seperti beberapa waktu lalu—Ranjang ke empat, paling pojok. Rinjani menyingkap tirainya, dan menyimpan mangkuk alumunium itu di meja. Cowok itu membaringkan tubuhnya di ranjang dengan mata terpejam dan wajah penuh luka memar yang belum diobati. Tanpa keraguan, Rinjani mengambil es batu yang ukurannya kurang lebih segenggaman tangan dan menempelkannya ke tulang pipi Juna. "AH!" Siapapun juga tahu, rasanya ketika sensasi dingin mengenai area memar akan membuatnya terlonjak dan langsung melotot diwaktu bersamaan. Juna terduduk dan menepis tangan Rinjani hingga es batu tadi jath ke lantai dengan suara gemeletuk. Sebal, Rinjani memukul lengan Juna tanpa peduli ada luka memar di area yang sama. Yang dipukul hanya meringis dan menggerutu pelan. "Lo tuh—" "Lo tuh juga mikir! Mau ngompres muka itu es-nya di bungkus kain atau apa gitu kek! Punya akal nggak, sih?!" Juna meluapkan emosinya sebelum Rinjani duluan menguluarkan sepatah kalimat. "Ish! Kenapa, sih?! Hari ini lo ngeselin banget!" "Lo yang ngeselin! Nggak tau apa gue lagi PMS!" "Mana ada cowok PMS?!" "Ada! Gue!" Juna setengah berteriak. "Gue cowok pertama yang bisa PMS, mau apa lo?!" "Mau ngambil lap!" Rinjani mulai beranjak, menjauh dari ranjang Juna dan melangkah ke arah lemari kaca di sudut kanan ruangan UKS. Dan tidak menanggapi pertanyaan Juna sebagai candaan. "Buat apaan?" "Buat ngompres muka lo lah! b**o!" "Kok pake lap, sih?!" Saking emosinya tak tertahankan, Rinjani melemparkan satu bungkus tisu yang ada di dalam lemari kaca. "Ya udah diem aja babi!" . . . (TBC)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN